Bagi masyarakat tertentu, pakaian menjadi sebuah barang yang dapat meningkatkan nilai komoditas suatu negara. Sebuah kemampuan atau nilai tambah bagi negara tersebut di mata dunia. Salah satunya di belahan benua Eropa, Paris sebagai ibukota Negara Prancis yang mendapat julukan Kota Mode dunia, memutar balikkan fakta bahwa pakaian yang memiliki pola – pola, gambar – gambar, bentuk – bentuk dan warna – warna tertentu bukan lah hal biasa melainkan sebuah fashion mode. Roland Barthes seorang semiotikawan dari Prancis, pada tahun 1967 dengan bukunya yang berjudul The Fashion System atau Syteme de la Mode menggagas fashion mode pada ibukota negaranya yang dijuluki sebagai Kota Mode tersebut. Secara garis besar Barthes berbicara bahwa pakaian adalah sebuah proyek fashion atau mode kaum aristrokat untuk menunjukkan
pretise. Pakaian diproduksi dengan kegunaan yang berbeda – beda, salah satunya sebagai alat mengkomunikasikan identitas, tanda atau simbol ketika sedang berlibur, bekerja di kantor, olahraga, saat musim dingin, musim semi dan lain – lain. Di saat weekend masyarakat Prancis mengenakan pakaian dengan harga termahal dan termodis hanya untuk berjalan di gang – gang daerah rumah mereka, tentu saja untuk mendapatkan sebuah pengakuan atau pretise dari orang lain. Produksinya juga semakin berkembang mengikuti arus zaman, manusia yang mengikuti
trend akan mengejar apa yang menjadi simbol kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus mode akan dikatakan manusia
tidak fashionable atau
ketinggalan mode. Hingga saat ini Paris masih menjadi salah satu
trend fashion dunia dan digandrungi oleh masyarakat dunia sebagai pedoman atau penasihat fashion mode. Pernyataan tersebut juga sebagai kalimat pendukung mengapa Negara Prancis menduduki peringkat keenam komoditas ekonomi berdasarkan Produk Domestik Bruto-nya.
KEMBALI KE ARTIKEL