Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Polemik Ranperda Sumba Barat

7 Juli 2019   14:44 Diperbarui: 7 Juli 2019   15:15 74 2
Saya coba mengikuti perkembangan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Budaya Hidup Hemat yang diusulkan oleh Bupati Sumba Barat, sejak tahun 2017 meski sebelumnya sudah ada wacana terkait Ranperda ini.

Ranperda Hidup Hemat ini juga sudah dibedah dalam forum ilmiah yang dilakukan oleh Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Laboya (IPMALAYA) Sumba barat - Kupang dan juga pernah saya berdebat panjang dengan ayah saya terkait pro kontra perda Hidup Hemat ini.

Saya coba share beberapa poin penting berdasarkan pemahaman saya selama mengikuti perkembangan Ranperda ini.

Poin utamanya adalah Sasaran dan batasan serta parameter pelaksanaan Ranperda ini tidak jelas.

Entah saya yang kurang informasi atau tidak, saya tahu persis meski katanya sudah disosialisasikan, sasaran Ranperda Budaya Hidup Hemat tidak dirumuskan. Meski diskusi dialektika yang beredar ditengah masyarakat bahwa Budaya Hidup Hemat ini ditujukan untuk mengurangi pemotongan hewan dalam acara adat demi mengdongkrak ekonomi masyarakat.

Pertanyaannya adalah apakah pemborosan satu-satunya yang dilakukan masyarakat adalah 'tunnu teba' (Pesta adat karena peristiwa tertentu) dalam istilah orang sumba?. Lalu bagaimana dengan jenis pemborosan lain, misalnya orang cina yang berada di wilayah sumba barat yang berpesta pora bahkan kalau di kalkulasikan kedalam rupiah bahkan melebihi rupiah dalam 'tunnu teba'.

Disini terlihat bahwa Ranperda ini tidak mengakomodir semua kalangan dan tidak memiliki batasan yg jelas Budaya Hidup Hemat apa yang dimaksudkan, sedangkan banyak sekali jenis pemborosan lain selain 'tunnu teba'.

Misalnya saja biaya studi banding DPRD Sumba Barat yang terlalu besar sedangkan hasil studi banding tersebut dampaknya tidak sebesar biaya yang dikeluarkan. Apakah ini tidak masuk dalam kategori pemborosan dalam tubuh birokrasi itu sendiri ?, lalu mengapa tidak diakomodir juga dalam Ranperda Budaya Hidup Hemat?.

Anehnya, kehadiran Ranperda ini semata-mata untuk mendidik masyarakat untuk membudayakan hidup hemat dalam pergelaran adat budaya, lalu pemerintah sendiri yang mempraktekkan hidup boros dalam kemewahan, boros menggunakan uang negara yang diperas dari keringat rakyat, sudah boros Korupsi lagi untuk menghabiskan uang rakyat.

Sudahlah Bupati Sumba Barat, didik dulu bawahanmu untuk membudayakan hidup hemat dengan menggunakan anggaran seefektif mungkin dsn tidak korupsi, tanpa mencampuri kehidupan privat rakyatmu.

Ini juga yang menjadi poin penting kelemahan Ranperda ini jika benar-benar ditetapkan sebagai Perda. Berkaca pada penerapan Ranperda ini oleh Bupati periode sebelumnya, malah aneh bin ajaib, Ranperda bertujuan mendidik rakyat untuk hidup hemat, malah pemerintah yang produksi perda itu yang menlanggar sendiri yang diindokasikan dalam acara 'tunnu teba' mereka mengurbankan banyak hewan melampui batasan Perda yg ada.

Bagi kami masyarakat kelas menengah kebawah, tanpa Ranperda tersebut yah kami hitung-hitungan kalau kami acara 'tunnu teba' artinya kami tidak boros (Hemat) karena kami memang bukan orang berada. Yang mempertontonkan budaya hidup boros adalah kalangan orang kaya yang kebanyakan datangnya dari pihak pemerintah sendiri (mungkin kekayaannya hasil korupsi).

Dalam kondisi ini saya setuju dengan pendapat kk Jhonatan Aguate bahwa jika Ranperda ini betul-betul diadakan, maka disarankan terapkan terlebih dahulu pada seluruh orang dipemerintahan. Hal ini memang kenyataan dilapangan pemerintah buat perda, pemerintah sendiri yg melanggar, mungkin saja mereka mengganggap peraturan dibuat untuk di langgar bukan ditaati.

Poin berikutnya adalah, jika Ranperda ini benar2 diadakan, mampukah pemerintah untuk melakukan fungsi kontrol kepada masyarakat dalam rangka menegakkan raperda ini? Cerita yg beredar ditengah masyarakat bahwa di Sumba Tengah, diterapkan perda semacam ini, kemudian dalam prakteknya, didepan 'natara' masyakat memang potong kurban sesuai batas perda, tetapi dibelakang banyak sekali hewan yang dikurbankan melebihi batasan perda.

Indikator sebagai parameter hemat tidaknya orang dalam perda tidak jelas dan tidak menghitung semua pemborosan yang ada. Dari sisi aspek sosial budayanya, Yang trend di pahami masyarakat adalah bahwa budaya hidup hemat indikatornya adalah dengan memotong hewan maksimal 5 (misalnya), lalu bagaimana dengan belis perempuan, apa ada batasan juga ?. Selanjutnya, bagaimana pemborosan lain, misalnya dalam berpesta pora dalam acara nikah, apa ada batasan sebagai parameternya juga? Apakah ada batasan bagi kami perokok untuk merokok berapa bungkus dalam sehari dalam rangka budaya hidup hemat?.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun