"
It's bullshit kalau
Lu bilang nggak harus memilikinya. Semua orang yang kita cintai, harus jadi milik. Itu sebabnya orang-orang, terutama orang seperti
Lu, nangis berdarah-darah ketika cinta tak bisa dimiliki dan pergi" Ucapnya datar. Dan diakhir kalimat, dia menghembuskan asap rokoknya ke udara. Sekali lagi dia hembuskan, kali ini ke wajahku. "Yang
Lu usahakan itu, belum seberapa. Masih banyak yang jauh lebih rela berkorban dibanding
Lu. Korban perasaan, korban uang, korban badan. Dan untuk apa itu semua? Untuk
bikin, orang-orang yang dicintai jadi milik,
Lu ngerti?" Aku diam. Ingatanku melayang, pada banyak percakapan-percakapan kami di awal, pertengahan juga akhir hubungan antara aku dengannya. Beberapa benda saling kami berikan, serupa tanda bukti kasih sayang. Dan dia benar, semua itu seumpama mata uang dari Negara Republik Perasaan, agar apa yang diingini, terbeli dan jadi hak milik pribadi. "Beruntunglah kalau masih bisa tetap waras, ketika mereka yang sudah habis-habisan berkorban, tetap tak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Sering, keinginan tak berbanding lurus dengan kenyataan" Aku mengusap-usap bibir cangkir kopi. Lagi dia menghembuskan asap rokoknya, kali ini dia hembuskan kuat-kuat, seperti hendak melepaskan sesak. "Dan
Lu harus berjanji untuk tetap waras.
Gue nggak mau berteman dengan orang gila cuma gara-gara cinta,
oke?" Aku tersenyum dan mengangguk, lantas meneguk kopi dalam cangkir hingga tandas. Meletakkan lembaran uang di bawah cangkir, berlalu.
KEMBALI KE ARTIKEL