Bukannya sok pintar ingin mengkritik fase kehidupan kaum sendiri. Dan bukannya sok jagoan tak memihak bangsa sendiri. Justru aku merasa bodoh dan ingin terus diam. Bungkam atas segala kepicikan yang tersajikan di depan mata kepala sendiri. Dan justru aku disini menggigil ketakutan. Tak berani bergerak maju karena terlalu banyak yang menyerang. Lucunya, orang - orang ini malah saling menyerang. Bersembunyi di balik status dan berlomba menyerang yang statusnya beda. Nyatanya, mereka semua lupa kalau kita ini satu kaum. Satu bangsa. Kudapati ini lucu, tapi bibirku terdiam tanpa sedikitpun senyum atau tawa.
Memang benar kata orang, dunia itu panggung sandiwara. Siapa yang bisa berakting paling baik, dialah yang akan capai puncak tertinggi. Siapa yang tidak bisa berakting, bersiap - siap saja untuk jatuh ke lembah terdalam. Katanya politisi yang ingin memajukan bangsa, tapi akhirnya berakting juga. Katanya eksekutif muda yang sukses berbisnis, tapi ujung - ujungnya bermain peran. Bilangnya pahlawan tanpa tanda jasa ingin mencerdaskan bangsa, tapi bermain akting demi dapat lebih banyak lembar uang. Bilangnya ingin membawa bangsa ini selangkah lebih maju, nyatanya tak bisa maju kalau kantong pribadi belum terisi penuh. Ironis memang.
Konklusiku, kedewasaan itu sebuah kedok. Untuk menutupi pretensi - pretensi yang, sengaja atau tidak, pernah tersampaikan. Menjadi dewasa itu berarti menjadi mahir. Mahir dalam bermain peran. Mahir dalam memutar balik perkataan agar fakta bisa jadi cerita belaka, dan fiksi jadi nyata. Lucu mungkin, tapi untuk saat ini, aku belum bisa tertawa di atas semuanya ini. Belum saatnya. Bukannya pepatah bilang sepandai - pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga? Mungkin saat tupai - tupai jatuh dan suara gedebuk terdengar seperti musik di telingaku, saat itulah aku tak lagi bisa menahan tawa. Tertawa lihat semua kedok terbongkar.
http://andantebuoyant.wordpress.com