Setelah adzan Sholat Dhuha usai, para jamaah wanita mulai berdiri, mengusap wajah
dengan tangan, dan beringsut menuju pintu keluar masjid. Tetapi ada sekelompok ibu-
ibu yang masih duduk berkelompok, bersenda gurau di dalam masjid. Suasana penuh
tawa dan obrolan ringan menggema di langit-langit masjid yang putih bersih.
“Gimana kabar anak-anak, Bu? Sudah besar-besar semua, ya?” tanya seorang ibu
dengan suara ceria.
“Iya, alhamdulillah. Yang sulung sekarang udah kelas 4 SD, tapi masih aja nakal. Paling
susah diatur itu, Bu,” jawab ibu yang lain sambil tertawa kecil.
Beberapa ibu lainnya menanggapi, berbagi cerita tentang anak-anak dan kehidupan
sehari-hari mereka. Sambil menyilangkan kaki di lantai, mereka saling berbicara tanpa
khawatir tentang waktu. Suasana penuh kehangatan dan persaudaraan di antara
mereka.
Namun, suara langkah kaki yang tegas membuat suasana berubah. Seorang wanita
berpakaian rapi, mengenakan jilbab lebar dengan wajah penuh ketegasan, memasuki
ruangan. Langkahnya mantap dan terdengar jelas di antara ibu-ibu yang sedang
bercengkerama.
“Ibu-ibu, maaf, boleh saya minta perhatian sebentar?” suara ustadzah itu memecah
riuhnya percakapan. Semua ibu menoleh ke arah ustadzah, terlihat sedikit terkejut.
Ustadzah itu berdiri tegak di depan kelompok ibu-ibu dengan pandangan lembut namun
tegas. “Saya paham, banyak hal yang bisa kita bicarakan setelah sholat. Tapi, mari kita
ingat kembali, masjid adalah tempat ibadah, tempat kita mendekatkan diri kepada Allah.
Apakah kita sudah menjaga adab di tempat yang mulia ini?”
Salah satu ibu tampak terkejut, “Tapi, kami hanya bercanda ringan, Ustadzah. Tak ada
yang salah dengan itu, kan?”
Ustadzah tersenyum, namun masih dengan nada yang penuh hikmah. “Bercanda
memang tidak salah, namun ada waktu dan tempatnya. Ingatlah, kita harus menjaga
keberkahan di masjid ini dengan memperbanyak dzikir dan doa setelah sholat, bukan
hanya berbicara tentang urusan dunia. Allah memerintahkan kita untuk menjaga
kesucian tempat ibadah, dan salah satunya adalah dengan menjaga lisan kita.”
Para ibu mendengarkan dengan penuh perhatian, namun tidak sedikit dari mereka yang
tampak merasa sedikit tersinggung. Salah seorang ibu, yang sejak tadi diam, tiba-tiba
mengangkat tangannya, wajahnya serius.
“Maaf, Ustadzah,” suara ibu itu terdengar agak tinggi. “Tapi saya ingin meluruskan sedikit.
Ada hadits yang mengatakan bahwa percakapan dalam masjid, bahkan percakapan
biasa, bisa menghapus pahala kita. Saya rasa itu tidak sepenuhnya benar.”
Ustadzah menatap ibu itu dengan tenang. “Hadits apa yang Ibu maksudkan?” tanya
ustadzah dengan lembut, matanya memancarkan rasa ingin tahu.
Ibu itu sedikit ragu, namun kemudian melanjutkan. “Ada sebuah hadits yang saya baca,
yang mengatakan bahwa percakapan di masjid itu akan memakan pahala seperti
binatang ternak yang memakan rumput. Jadi, jika kita bercakap-cakap dengan ringan di
sini, bisa jadi pahala ibadah kita akan hilang begitu saja.”
Beberapa ibu yang lain mengangguk-angguk, seolah menyetujui pendapat itu. Ustadzah
diam sejenak, memikirkan kata-kata ibu tersebut. Lalu, dengan suara lembut namun
penuh ketegasan, dia menjawab, “Maaf sebelumnya bu. Hadits yang ibu bacakan tadi
adalah hadits maudhu’ yang biasa disebut dengan hadits palsu. Jangan mengambil
sebuah hukum atau syariat yang bersumber dari hadits maudhu’ apalagi hadits palsu.
Atau ikut-ikutan menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu tanpa menjelaskan status
hadits tersebut. Bahkan kita bisa saja berdosa karena telah berbohong atas nama
Rasulullah SAW.”
Setelah ustadzah selesai memberikan penjelasan, suasana dalam masjid kembali
hening. Beberapa ibu-ibu yang tadinya terlibat dalam percakapan ringan mulai
menundukkan kepala, mencoba mengerti dan merenung.
“Iya, Ustadzah...” suara ibu itu berubah terdengar lebih lembut. “Saya mohon maaf jika
tadi saya salah mengartikan maksud hadits tersebut. Saya kira... saya kira percakapan
biasa di masjid itu memang bisa menghapus pahala, dan saya khawatir... kalau kita
terlalu banyak berbicara, malah bisa mengurangi keberkahan.”
Ustadzah menatap ibu itu dengan penuh pengertian. “Tidak apa-apa, Ibu. Kadang kita
perlu saling mengingatkan dan berdiskusi agar bisa lebih memahami.”
Namun ibu itu masih terlihat sedikit tidak enak hati. “Tapi tadi saya seperti membantah,
ya, Ustadzah? Saya khawatir jika perkataan saya bisa menyinggung atau membuat
suasana jadi kurang baik,” ujarnya, suaranya mulai bergetar. “Saya benar-benar tidak
bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin memastikan, karena saya juga ingin bisa
menjaga adab di sini, di tempat yang mulia ini.”
Ustadzah tersenyum lembut, langkahnya mendekat. “Ibu tidak perlu merasa seperti itu.
Justru diskusi ini sangat baik, karena membuat kita semua belajar lebih banyak. Saya
menghargai keberanian Ibu untuk bertanya dan meluruskan hal yang dirasa kurang jelas.
Tidak ada yang salah dengan mencari penjelasan.”
Ibu itu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Ustadzah. Saya
merasa sangat dihargai. Semoga saya bisa lebih berhati-hati dan menjaga kata-kata saya
di masjid ke depan.”
“Insya Allah,” jawab ustadzah dengan senyum yang menenangkan. “Kita semua di sini
untuk saling mengingatkan dan mendukung. Tidak ada yang sempurna, tapi yang
penting adalah niat kita untuk terus memperbaiki diri.”
Ibu itu pun menunduk dalam-dalam, merasa lega setelah mendapatkan pemahaman
yang lebih jelas. Hatinya terasa lebih tenang, dan dengan rasa rendah hati, ia berkata
lagi, “Saya mohon maaf sekali lagi, Ustadzah. Semoga Allah memberi kita taufik untuk
selalu menjaga adab dan keberkahan di setiap langkah kita.”
Ustadzah mengangguk, “Amin, Ibu. Allah Maha Pengampun, dan Dia melihat usaha kita
untuk memperbaiki diri.”
Seiring dengan itu, ibu-ibu lainnya mulai kembali fokus, dan suasana masjid pun terasa
semakin khusyuk. Sebuah teguran kecil yang membawa perubahan besar,
mengingatkan setiap hati untuk senantiasa menjaga lisannya di tempat yang penuh berkah.