Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Peraih Keadilan

24 Februari 2021   20:58 Diperbarui: 24 Februari 2021   21:18 452 7
Sejak kecil, aku selalu ingin pergi makan di restoran yang mewah.
Sejak kecil, aku selalu ingin menaiki mobil yang mahal.
Sejak kecil, aku selalu ingin hidup mewah dan bahagia seperti mereka.
Dan sampai sekarang, itu semua hanyalah kata 'andai' .
 
Dzamira Riyya Shadiqah, itu namaku. Ibuku bilang arti dari namaku adalah perempuan pemberani yang baik dan memiliki sifat jujur. Memang, sejak kecil aku selalu ditanamkan sifat kejujuran oleh kedua orang tuaku. "Mau kamu salah atau tidak, tanamkan selalu sifat kejujuran, Zira!" Nasihatnya yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku.
 
Jika kalian bertanya, apakah aku terlahir dalam keadaan yang bahagia. Aku bisa mengatakan dengan lantang, bahwa aku terlahir bahagia, karena memiliki kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Apalagi ketika ibu melahirkan lagi dua orang anak kembar, rasanya kebahagiaanku bertambah. Walau keadaan ekonomi kami bisa dikatakan cukup, kami tetap mensyukurinya.
Saat ini, aku menginjak bangku kelas 2-SMA, serta kedua adikku Dara dan Zara, berada di bangku kelas 6-SD, yang sebentar lagi akan menginjak bangku SMP. Apa kalian terkejut, kenapa kami bisa bersekolah setinggi ini, padahal untuk makan saja terkadang hanya nasi bercampur garam?
Bapakku memanglah lelaki yang tangguh. Rela banting tulang, demi menyekolahkan kami. Setiap pagi, dia berangkat mencari ikan di sungai untuk dijual, terkadang dia menjadi kuli bangunan. Uangnya selalu dipakai untuk keperluan rumah tangga, sekolah kami bertiga, dan menabung. Memang gajinya tak banyak seperti karyawan pabrik. Namun, rezeki sudah diatur. Maka dari itu, kami bisa hidup berkecukupan sampai sekarang.
 
Hari ini senin, hari yang sangat sibuk bagi para pekerja dan pelajar. Sudah rutinitas setiap pagi, aku menontoni Dara dan Zara yang selalu ribut. Entah itu berebut tas, meributkan alat tulis, bahkan merapihkan tempat tidur.
"BAPAK!!!!!!" Teriak Dara di dalam kamar. Bapakku, yang sedang meminum kopi tampak tenang mendengar anaknya yang berteriak seperti toa masjid. Sosok itu berwajah kusut dengan menjinjing sebuah tas gendong, menghampiri seorang pria paruh baya yang tampak tenang meminum secangkir kopinya di teras depan rumah.
"Bapak!!! Lihat tas Dara sobek!" rengeknya. Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum dan menjawab "iya nanti bapak beliin ya, untuk sementara pakai yang ada dulu, pakai punya Zara atau kak Zira" ucapnya yang sangat tenang, membuatku malu sendiri. Karena sudah mengumpat Dara di dalam hati. Bagaimana tidak, masih pagi sudah mencari masalah.
"Gak mau pak!, kak Dara  jorok. Lihat! tasnya aja sobek" tanggap Zara sembari berjalan menuju ruang makan. "Tuh kan pak, Zara orangnya pelit. Dia sendiri aja jorok kok, semua alat tulis sudah sering dihilangin sama dia!" Timpal Dara. Zara yang tak mau kalah, membalasnya dengan sedikit berteriak "Heh kak, yang lebih jorok itu kakak. Enak aja, bawa-bawa aku. Kakak aja yang gatau nyimpennya dimana." Bapakku yang mendengar itu melerai mereka yang sedang beradu mulut. "Sudah, jangan bertengkar. Masih pagi ini" Namun hanya sia-sia belaka. Mereka tak mendengar sama sekali perkataan bapak.
 
Aku yang sedari tadi menyiapkan peralatan sekolah dan membantu ibu menyiapkan sarapan, hanya mampu menyimak pertengkaran mereka. "HEH DARA JANGAN MENTANG-MENTANG LAHIR DULUAN, KAMU JADI SEENAKNYA YA SAMA AKU" Ucap Zara, yang tampaknya keadaan mulai memanas. Haduh, dasar pertengkaran bocil. Rasanya aku sudah tak tahan dengan perkelahian mereka, aku pun berniat menjewer telinganya masing-masing, namun... "AWWW!!!" Teriak Zara yang sudah dijewer oleh ibu. Disusul oleh teriakan Dara, karena jeweran ibu melayang pula pada telinganya. "Rasain!" Ucapku pelan pada Dara dan Zara.
"Kalian ini saudara, kembar pula, muka sama. Masa iya gak akur, gimana sih!" Ucap ibu. "Bukannya bantuin, malah sibuk sama hal gak penting. Zara, kalau Dara kesusahan itu bantuin, jangan pelit sendiri. Saudara pasti saling membutuhkan. Kamu juga Dara, jangan jorok kalau dipinjemin barang sama orang lain tuh" Ucap ibu menasihati mereka. Aku hanya bisa menertawai dan meledek mereka. "Kamu juga Zira, kenapa disaat mereka ribut kamu malah diam saja, seakan-akan ngedukung mereka untuk bertengkar!" Ucap ibu dengan nada kesal. Yah tamat deh riwayatku, dibawa-bawa pula.
 
Makanya kalau di pagi hari jangan sampai membuat keributan. Nanti ibu marah, kalau kata pepatah sih, seperti membangunkan singa yang sedang tidur.
Dan akhirnya, Dara memakai tas milikku.
Setiap berangkat ataupun pulang, kami selalu berjalan. Karena jarak dari rumah menuju sekolah lumayan dekat, sekitar 10 menit untuk berjalan kaki.
Aku dan kedua adikku, bersekolah di sekolah yang biasa. Maklum, sekolah di kampung tak ada spesialnya sama sekali. Hanya sekolah dengan beberapa kelas, yang muridnya tak lebih dari 200 orang. Selain itu SD, SMP, dan SMA disana memang berdekatan. Namun, ada persamaan sekolah kami dengan sekolah di kota lainnya. Setiap hari senin, semua murid diwajibkan mengikuti upacara.
 
Setelah selesai, kami masuk ke kelas masing-masing. Kami memulai pelajaran dengan pelajaran bahasa indonesia. Guruku terkenal dengan lemah lembut dalam menjelaskan setiap materinya. Gayanya yang anggun, dan kacamatanya yang bulat membuat kami tak sabar untuk memulai pelajarannya "Baik anak-anak, pelajaran hari ini adalah 'Apa yang kulakukan saat 5 tahun ke depan?' " ucap ibu, dengan menulis kata tersebut di papan tulis. Kami bertanya-tanya, maksud dari tugas tersebut apa. Namun, belum sempat ada yang bertanya, beliau menjelaskan "jadi, kalian harus menceritakan apa yang akan kalian lakukan 5 tahun ke depan, misalnya menikah dengan seorang pengusaha, menjadi seorang yang bergelar sarjana, atau menjadi seorang milyader, dan lainnya. Minggu depan, kalian harus mempresentasikan cerita kalian di depan kelas. Jika ada yang mau bertanya, pintu jawaban untuk kalian terbuka lebar" ucap ibu dengan ceria. Lain hal dengan aku yang bingung mengenai tugas tersebut.
"Apa yang harus kulakukan 5 tahun ke depan?" Ucapku dalam hati. Sepanjang jalan menuju pulang, aku terus memikirkan hal tersebut. "Kalau aku menikah, dengan siapa? Sampai sekarang aku belum pernah berpacaran. Bekerja? Bekerja apa ya? Kuliah? Hm, aku tidak ingin ibu dan bapak terbebani" ucapku yang sedari tadi terus memikirkan hal tersebut.
"Kak Zira!" Ucap Zara yang membuatku terkejut. "Astagfirullah dek, kamu hampir buat jantung kakak copot, untung kakak enggak punya penyakit jantung" Eh mereka malah menertawakan aku, karena berhasil membuatku terkejut. "habisnya kakak bengong dari tadi, mikirin apa sih kak?" Ucap Dara.
 
"Enggak kok, kakak gak mikirin apapun" ucapku setengah tersenyum. Walaupun sebenarnya sedang memikirkan tugas yang benar-benar membuat otakku terus terpikirkan. Baru kali ini, aku dibuat pusing oleh tugas Bahasa Indonesia. Eh, dua kali.
"Eh Zara, mau beli eskrim gak?"
"Enggak kak, kan kita harus nabung. Gimana sih kak"
"ih aku cuman nawarin doang"
Aku jadi berpikir, bagaimana kalau aku minta bantuan mereka aja ya. Yaudah aku tanya aja adik-adikku yang manis ini tentang rencananya atau cita-citanya.
"Eh dek, apa sih cita-cita kalian?" Tanyaku pada mereka. Sembari berjalan untuk pulang ke rumah, kami menceritakan cita-cita masing-masing.
"Kalau Dara, ingin jadi polwan. Terus, nikah sama dokter, dan hidup bahagia" ucapnya dengan lantang dan percaya diri.
"Kebalik kak, masa cowoknya dokter, ceweknya polisi" timbal Zara dengan tawanya, aku pun jadi terbawa suasana.
"Gapapa dong, itu kan cita-citaku, iri? Bilang mbak." Ini dua bocah kenapa selalu ribut ya. Aduh kok malah jadi kacau rencana ini.
"Kok malah ribut? Kan kakak nanya cita-cita kalian, bukan mau ngadu domba kalian" ucapku sedikit kesal.
"Hehe maap kak. Kalau Zara ingin jadi pengusaha restoran, yang pastinya punya restoran makanan cepat saji sendiri. Namanya mau dinamain 'Restoran Zara Cantik Imut', terus hidup bahagia deh sama pangeran dan punya anak-anak yang enggak kalah lucu dari mamahnya." Ucap Zara dengan khayalannya yang lancar.
"Aduh Zara, khayalanmu itu terlalu tinggi. Cita-cita itu yang masuk akal atuh. Masa iya, di dunia nyata ada pangeran, pangeran adanya di dongeng aja." Ucap Dara meledek adik kembarnya itu. "Padahal kamu sendiri yang bilang 'iri? Bilang mbak' " ucapnya dengan menirukan gaya bicara Dara.
 
"Allahuakbar! Kakak ini bertanya dengan membawa sebuah bendera kedamaian loh, bukan bendera tanda berperang!" Ucapku dengan emosi.
"Sabar dong kak, nanti dataran tinggi!" Ucap Zara, yang dipukul pelan oleh Dara. "Darah tinggi, jauh banget salah ucapnya"
"Emangnya cita-cita kakak apa?" Ucap Zara dengan nada penasarannya. Aduh bingung, aku harus jawab apa pertanyaan Zara ini.
"Ehm...gatau sih, cita-cita aku apa ya?" Ucapku yang malah balik bertanya pada kedua adikku ini.
 
"Lah kenapa kakak nanya ke kita?" Ucap Dara. "Ayo kak, apa kakak mau jadi bidadari? Putri Salju? Cinderella? Oh... atau istri yang sholehah?" Ucap Zara menerka-nerka.
"Ya ampun dek, bisa jadi sih. Gatau, kakak masih bingung apa cita-cita kakak. Dan apa yang bakal kakak lakuin 5 tahun ke depan"
"Yaudah deh, nanti kalau kakak udah kepikiran. Jangan lupa, kasih tau Dara" ucapnya yang dibalas spontan oleh Zara "jangan lupa kasih tau Zara jugaa ya kak"
"Iya pasti. Eh, kalian pulang duluan saja. Kakak mau pergi ke toko Pak Fu dulu, mau baca novel yang kemarin" ucapku yang dijawab 'iya' oleh mereka.
Kegiatan rutinku memanglah pergi ke toko Pak Fu, hanya untuk membaca buku-buku yang terdapat disana, walaupun terkadang disuruh membantunya merapihkan buku-buku yang disana. Pak Fu, nama aslinya adalah Fuad Jamiliah merupakan lelaki paruh baya yang memiliki toko buku yang lumayan dekat dengan sekolah. Dia sangat ramah, dan sudah seperti bapakku sendiri.
 
"Assalamualaikum pak Fu, wah udah seger nih. Udah sembuh pak?" Ucapku dengan ramahnya. "Wallaikumsalam Zira, alhamdulillah sudah sembuh, Pak Fu cuman masuk angin kok" jawabnya dengan senyuman tulus.
"Jangan lupa obat tolak anginnya, biar Bejo" ucapku dengan mengacungkan jempol, dan dibalas acungan jempol juga. "Eh pak, novel yang kemarin aku baca masih ada?" Tanyaku. "Tenang, Pak Fu umpetin. Soalnya tadi ada yang mau beli novel ini nih. Apa ya judulnya? Ehm...Hu.. Hujan?"
"Haha iya pak judulnya Hujan, seru aja gitu bacanya. Kemarin aja sampai lupa waktu" ucapku "Tapi pak, ada buku yang nyeritain tentang cita-cita, atau hal yang harus dilakukan 5 tahun ke depan gak?" Tanyaku yang teringat dengan tugas.
"Sebentar... Pak Fu cari dulu ya." Ucapnya yang langsung masuk ke dalam tokonya untuk mencari buku yang kumaksud. Jika kalian ingin membayangkan bagaimana bentuk tokonya, toko Pak Fu berukuran sekitar 3x5 meter, dengan cat berwarna coklat kayu, ditambah lampion-lampion kayu buatannya sendiri yang dia gantung di depan tokonya, lalu plang dengan ukuran sedang bertuliskan "KEDAI BUKU AMAL PAK FU". Sungguh menarik perhatian. Tokonya memang tak seramai toko buku lain, tapi setiap hari Jum'at, toko tersebut ramai oleh anak-anak jalanan yang sengaja Pak Fu suruh agar mereka belajar di tokonya.
 
Tak heran, kadang di hari Jum'at aku membantunya membereskan buku-buku yang sudah dipakai oleh mereka.
"KAKAK!!!" Teriak dua orang, sontak aku menoleh ke arah mereka yang berlari ke arahku. "Zara Dara, kenapa kalian lari-lari?" Tanyaku yang sedikit khawatir. "Kak...Bapak kak..." ucap mereka dengan nafas yang tidak teratur.
"Bapak? Bapak kenapa?" Tanyaku yang khawatir dan penasaran. "Bapak ditangkap polisi" ucap Zara sembari menahan tangisnya, walaupun setetes air mata sudah keluar dari pelupuk matanya.
"Astagfirullah, kenapa bisa?" Aku pun tak sadar, air mata sudah keluar walau sudah ditahan untuk tidak menangis. "Kami kurang tahu" ucap mereka.
Pak Fu yang datang membawa buku-buku, sedikit terkejut. Karena melihat kami yang tegang "kalian kenapa?" Tanyanya. "Pak Fu, Zira pulang ya. Bapak ditangkap polisi" ucapku berpamitan. "Astagfirullah, iya. Semoga keluargamu baik-baik saja ya" ucapnya.
Kami pun berlari menuju kantor polisi, yang lumayan jauh dari rumah. Karena tadi Zara dan Dara berkata bahwa ibu pun sudah ada disana. Untungnya aku ada sedikit uang, untuk bisa menaiki angkot. Agar tidak memakan banyak waktu.
 
Ketika sampai, aku tak bisa menahan tangisanku. Melihat bapak yang berada di penjara, sedangkan ibu duduk di bangku sembari termenung, yang ditemani beberapa tetangga kampungku. "Ibu, bapak kenapa?" Tanyaku sembari menangis. Ibu tak bisa menjawab, mungkin aku juga yang salah menanyakan hal yang membuat ibu sangat sedih.
Ibu Euis, tetanggaku menyuruhku untuk keluar kantor polisi dahulu. Aku pun keluar bersamanya. "Zira, jangan tanya ibumu disaat seperti ini. Ibumu masih terkejut berat, tadi dia pingsan beberapa kali" ucap ibu Euis dengan nada prihatin. "Iya ibu, Zira minta maaf. Tapi kenapa bapak bisa sampai masuk penjara?" Tanyaku penasaran.
 
"Bapakmu dituduh mencuri motor Pak Iman, di bangunan tempat bapakmu bekerja. Ibu sih tidak percaya bapakmu sampai melakukan hal itu. Karena bapakmu orang yang sangat jujur" ucap ibu Euis yang aku sendiri pun setuju dengan perkataannya, bapakku tidak akan sampai melakukan hal kejam seperti itu. Walau beberapa hari yang lalu, dia berkata ingin membeli motor.
Aku menemui bapak, dan disusul oleh Dara dan Zara. Bapakku tampaknya sedih walau dia menunjukan senyum tulusnya. "Kalian percaya pada bapak kan?" Tanyanya yang dibalas anggukan oleh kami bertiga "Do'ain bapak ya, supaya keadilan ada di pihak bapak" Ucapnya. "Iya pak kami selalu do'ain bapak, kami selalu percaya pada bapak" ucapku menenangkannya.
Kami pun disuruh pulang bersama yang lainnya, sembari menunggu hasil penyelidikan para polisi. Di rumah, keadaan sangat dingin. Tampaknya kami semua memikirkan hal yang sama, walau tak membicarakannya.
 
Di tengah malam, aku terbangun karena ingin pergi ke toilet. Namun, aku melihat ibu sedang duduk menangis di ruang makan sendirian. Aku menghampirinya, sembari memeluknya mencoba untuk menenangkan. "Sudah bu, lebih baik kita do'ain selalu bapak semoga hasilnya menunjukkan bapak tidak bersalah" ucapku sembari menepuk pelan punggung ibu.
"Mending kita shalat tahajud aja bu, kita do'ain bapak dan tenangin diri kita juga" ucapku dengan nada tenang. Lalu, kami pun shalat dan mencoba mendo'akan bapak.
Namun, ketika dua hari kemudian. Polisi memanggil kami semua untuk mengatakan hasil penyelidikan. "Ibu, bukti sangat membenarkan bahwa bapak adalah pelakunya." Polisi itu memberitahu, kejadian dan bukti-bukti apa saja yang dapat membenarkan bapak adalah pelakunya.
 
Ibuku menangis pilu, karena tidak mungkin dengan kenyataan ini semua. Dan katanya 2 minggu lagi, bapak akan disidang. Kami berdo'a semoga bapak bisa dibebaskan dan nama baiknya kembali bersih.
 
Aku pun kembali beraktifitas untuk pergi bersekolah. Memang, selama dua hari aku dan adik-adikku tidak bersekolah. Namun, ketika di sekolah. Semua murid di kelasku, tampak aneh karena menatapku. Kenapa mereka semua menatapku seperti aku ada salah pada mereka.
Aku pun menanyakan pada teman sebangkuku, Mia. "Mia kenapa semua orang natap aku sampai gitu ya?" Mia tampak gugup mendengar pertanyaanku tersebut. "Oh, aku pun gatau Zira. Oh ya, bapakmu gimana?" Tanyanya yang membuatku terkejut, kenapa bisa berita tersebut langsung menyebar sampai sekolahku. "Bapak aku harus disidang, do'ain ya semoga bapakku tidak dituduh sebagai pelakunya. Karena aku percaya, bahwa bapak tidak akan sampai mencuri" ucapku membenarkan, supaya tidak ada salah paham diantara aku, Mia, dan yang lainnya. Semoga saja, Mia menceritakan yang baik-baik pada temanku dan ikut membantu mendo'akan bapakku.
 
Tapi, ada saja orang yang begitu mengesalkan bagiku. Tania, dia memang teman sekelasku, namun mulutnya mengapa seperti kekanak-kanakan. Tidak pernah berfikir sebelum berbicara. Seperti saat ini, ketika kami sedang beristirahat. Karena aku membawa bekal, aku makan bersama dengan Mia yang juga membawa bekal. Tania menemui bangkuku. "Hai kalian. Kalian rajin ya, bawa bekal setiap hari. Gak pernah dikasih uang jajan?" Tanyanya yang membuat Mia dan aku tampak emosi. Namun, kami meredam amarah kami.
"Iya Tania. Kami memang lebih enak bawa bekal" ucapku dengan agak ceria. Lain hal dengan Mia "hehe, lagipula kami bukan gak dikasih uang. Tapi, kami pun perlu menabung, memangnya kamu bo..." Ucapnya yang tertahan karena aku menginjak kakinya. Aku harus melerainya, kalau tidak akan menambah masalah.
 
"Ih Mia kok marah sih. Aku kan cuman bercanda. Eh Zira, kamu kenapa 2 hari ga masuk? Sakit? Tapi kayanya kamu gak ada wajah-wajah pucat. Hmm, tapi sih aku denger dari kelas sebelah, bapakmu masuk penjara ya?" Ucapnya yang membuat emosiku sedikit memuncak, namun aku harus tetap diam, karena jika aku sama-sama emosi, masalah tak akan beres.
"Tania kepo amat sih sama urusan orang. Emangnya sakit harus pucat ya?" Balas Mia yang sepertinya sudah geram. "Aku nanya ke Zira bukan kamu Mia" ucap Tania. "Eh tapi Mia kenapa kamu masih mau duduk sebangku dengan Zira, gak takut barang kamu hilang?" Ucapnya yang langsung pergi dari bangku kami. Ucapannya tadi benar-benar membuat air mataku tak tertahan untuk keluar. Bapakku bukan pencuri, kenapa dia berani menyimpulkan hal tersebut. Padahal, dia sendiri pun belum mendengar cerita dari seorang anak yang bapaknya dituduh mencuri.
Ketika pulang, aku, Dara, dan Zara tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sama-sama bersedih.
Namun, Zara akhirnya memulai percakapan dengan kami bertiga. "Kak, tadi di sekolah aku dan kak Dara disebut anak pencuri. Padahal, bapak kan gak nyuri kak. Tapi, kak Dara langsung nyubit orang yang ngatain kami" ucap Zara bercerita. "Kalau kalian dikatain seperti itu, benar harus melawannya. Tapi, jangan sampai nyakitin orang tersebut juga. Itu sama seperti balas dendam. Balas dendam kan gak boleh" ucapku menasihati mereka.
 
"Ih aku bela bapak loh kak. Habisnya mereka so tau, padahal mereka sendiripun dapat berita itu dari gosip ke gosip." Balas Dara yang membuatku terdiam, dan memikirkan ucapan Tania tadi.
"Gapapa, sekali-kali kalau udah kelewatan saja ya. Nanti jangan-jangan lagi." Ucapku dengan tenang.
2 minggu berlalu. Kami semua pergi ke tempat sidang, bapakku harus diadili. Aku yakin, bapak bukanlah pencurinya. Aku selalu meyakinkan diriku sendiri dan adik-adikku serta ibu. Oh ya, selama 2 minggu juga ibu aktif berjualan gorengan di depan rumah. Jadi, alhamdulillah masih bisa menghidupi kami semua.
Ketika pengadilan memulai sidangnya, aku sangat berdegup dengan kencang. Ternyata, suasana di dalam ruang sidang memang menegangkan. Aku tidak bisa berkata-kata melihat kecakapan seorang jaksa dan pengacara. Kata ibu, pengacara tersebut sukarela untuk membantu bapak. Karena ada kemungkinan bapakku bisa bebas.
 
Namun...
Nyatanya sia-sia, jaksa memberikan banyak bukti bahwa bapaklah yang mencuri motor Pak Iman. Oh ya, selama persidangan dimulai Pak Iman sangat percaya diri bahwa bapak adalah pencurinya. Dia sempat mengatakan hal yang sangat menyakitkan ibu. "Makanya, hidup jangan miskin, dan banyak mau ke suami. Lihat kan, akhirnya dia mencuri" ucap Pak Iman. Sungguh, jika dia bukan seorang paruh baya yang sombong karena kekayaannya, aku akan meninjunya. Beraninya berkata seperti itu pada ibu.
Hakim memutuskan, bahwa ayah akan dipenjara sampai sidang selanjutnya. Dan sidang selanjutnya akan dilakukan 2 bulan lagi.
Oh ya, aku jadi teringat tugas bahasa indonesia. Untungnya aku sudah mengerjakannya. Di esok hari, kami semua disuruh mempresentasikannya di depan kelas.
Sudah beberapa murid yang mempresentasikan. Lalu guruku memanggil namaku. Aku berdiri di depan kelas dan mempresentasikannya. "Assalamualaikum, hal yang saya ingin lakukan 5 tahun ke depan adalah lulus menjadi sarjana hukum. Dan ingin menjadi seorang pengacara demi membela keadilan dan kebenaran. Kemudian, aku ingin menaik hajikan kedua orang tua saya..." sekitar kurang lebih 5 menit aku mempresentasikannya. Mia mengatakan "hebat Zira, kenapa aku tidak kepikiran seperti yang kamu katakan ya" ucapnya. Aku hanya membalas dengan senyuman.
Aku memang sudah bertekad bulat, aku ingin menjadi seorang pengacara. Supaya hal yang terjadi pada bapakku tidak terulang oleh siapapun.
Ketika sidang kedua dilakukan kembali, hakim sudah memutuskan dengan bulat bahwa bapak ditetapkan sebagai pelaku utama, dengan motif membiayai anggota keluarganya dan harus dipenjara selama 5 tahun. Aku sama sekali tidak percaya kepada mereka semua yang mengatakan bapak bersalah. Kami menangis tersedu-sedu. Tidak dapat menahan tangisan.
 
Bagaimana ini? Kenapa mereka tidak membela bapakku? Sudah jelas bahwa bapak bukan pelakunya. Kenapa mereka bersikeras mengatakan bapak bersalah.
Sudah setahun, rumah kami tanpa bapak. Apalagi Zara yang selalu memanggil bapak, ketika bertengkar dengan Dara. Karena bapak adalah orang yang selalu membujuk Zara jika sedang menangis.
Untungnya, Dara dan Zara bisa masuk SMP dengan bantuan pemerintah. Dan sekarang, aku pun duduk di bangku kelas 12 atau 3 SMA.
Sudah saatnya aku belajar dengan giat agar dapat masuk ke perguruan tinggi yang aku inginkan. Untungnya jurusan SMA-ku sangat cocok untuk masuk ke jurusan Hukum, yaitu IPS.
 
Setiap hari, aku menemui toko Pak Fu untuk membaca materi-materi untuk nanti UTBK. Namun, ketika kali ini aku pergi untuk menemuinya. Tokonya tutup. Aku menanyakan pada beberapa orang yang duduk di warung dekat toko Pak Fu. "Punten bapak-bapak, kenapa toko Pak Fu tutup ya?" Tanyaku penasaran. "Oh neng Zira ya? Pak Fu meninggal tadi pagi neng" ucap bapak tersebut. Alangkah terkejutnya aku mendengar berita dari bapak tersebut. Aku tidak percaya.
Selama 1 tahun, Pak Fu adalah orang pengganti bapak bagiku. "Kenapa, bapak harus meninggalkan Zira pak" batinku sembari air mataku keluar.
Aku terus menangis, sembari duduk di bangku dekat toko Pak Fu. Sudah sekitar 20 menit aku menangis. Lalu, aku pun berniat pergi dari tempat tersebut. Bukan untuk pulang, melainkan menjenguk bapak. Sembari membawakan soto ayam kesukaan bapak, aku salam kepadanya.
 
"Bapak gimana kabarnya?" Tanyaku "iya Zira alhamdulillah bapak baik, teman di penjara bapak juga baik semua pada bapak. Kamu jangan khawatir pada bapak, tetap do'ain bapak selalu. Bagaimana adik-adikmu dan ibu? Mereka baik?" Ucap bapak yang tampak tidak ada kesedihan dari raut wajahnya. "Alhamdulillah pak, mereka baik. Ya walau terkadang penjualan gorengan ibu sepi." Ucapku dengan sedikit menahan kesedihan.
"Syukurlah, sebagai anak pertama kamu harus bisa menjaga keluargamu ya. Bantu ibumu, jangan buat ibu sedih selagi bapak disini. Jaga adik-adikmu kalau dia bertengkar, cepat lerain mereka semua. Jangan buat ibu stress" Ucap bapak menasihatiku.
"Iya pak, Zira pasti ingat pesan bapak. Zira juga ingin membahagiakan kalian semua. Bulan depan, bapak pasti sudah bisa kembali ke rumah. Zira yakin." Yakinku. "Iya aamiin, makanya do'ain terus hehe" ucap bapak sembari tertawa.
"Pak, dimakan ya sotonya!" Suruhku. Lalu kami menceritakan semua hal. Memang, ketika di rumah aku dan bapak jarang bercerita. Sekalinya bercerita, karena aku berbuat salah atau sedang bersedih.
 
Di esok hari ketika aku pulang sekolah, aku penasaran dengan toko buku Pak Fu. Bersama Mia, aku menghampiri toko tersebut. Ternyata toko itu sudah buka, namun yang menjaga toko tersebut adalah seorang perempuan, mungkin berumur sekitar 20-an. "Mungkin benar apa kata bapak-bapak kemarin yang berkata Pak Fu sudah meninggal, Zira" ucap Mia. Namun karena aku masih penasaran dan tidak percaya, aku tetap ingin menemui toko tersebut. "Daripada memakan banyak pendapat, mending kita tanya langsung aja." ucapku pada Mia, sembari berjalan menemui toko tersebut. "Memang ya calon anak hukum, harus serba jelas dan terpercaya omongan orang itu" gurau Mia yang kubalas senyuman.
Perempuan tersebut seperti menanti kedatangan aku dan Mia. Ketika aku sampai, dia menyapa kami. "Teh, maaf apa benar Pak Fu sudah wafat?" Tanya Mia mendahuluiku. Perempuan tersebut spontan berganti raut wajah senang menjadi sedih. "Maaf teh kami gak bermaksud membuat teteh menjadi sedih" ucap Mia menambahkan. "Tidak kok. Iya bapak saya meninggal. Memangnya kenapa?" Tanyanya yang sedikit naik pengucapannya.
"Kami turut berduka cita teh. Pak Fu orang yang baik, sudah menganggap Zira sebagai anaknya juga. Kalau aku sih baru-baru ini ke toko bukunya Pak Fu hehe untuk keperluan masuk kuliah" ucap Mia dengan nada guraunya.
"Oh begitu... kalian mau cari buku apa?" Tanya anak dari Pak Pu tersebut. Kami pun langsung mencari buku tujuan kami  yaitu buku yang berisikan soal-soal UTBK.
Sudah seminggu sejak kepergian Pak Fu, aku menjadi jarang pergi ke tokonya. Karena merasa tidak enak pada anak Pak Fu, teh Yuli namanya. Ketika aku dan Mia pergi untuk seperti biasanya, membaca dan mengisi soal pada buku yang terdapat disana. Teh Yuli berkata "Memangnya kalian tidak bisa membeli buku ini semua? Sampai harus setiap hari mengisi soal di buku itu terus menerus?" Ucapnya dengan nada juteknya.
 
Aku tidak percaya Pak Fu memiliki anak yang sangat mengesalkan. Walaupun umur dia lebih tua daripada aku, aku tidak bisa memakluminya. Awal pertemuan dan sekarang, sangat berbeda sekali cara pandang dan perkataannya.
Apalagi, jika pacarnya itu datang ke toko tersebut. Benar-benar membuatku dan Mia tidak nyaman, karena gangguannya. Terkadang pacarnya datang untuk menggoda kami yang sedang belajar, sembari mabuk, ataupun kami harus melihat mereka yang sedang berpacaran tanpa tahu batas. Sungguh memalukan.
Maka dari itu, aku sudah jarang ke toko buku Pak Fu. Selain aku dan Mia, anak jalanan yang biasanya belajar bersama disana pun sudah tidak pernah terlihat lagi. "Semoga mereka menemukan orang yang baik hati seperti Pak Fu yang rela memberikan ilmunya pada mereka" batinku berdo'a.
Ketika di kelas, aku dan Mia tampak kebingungan. "Zira, gimana dong? Kita belajar dimana lagi ya? Kemarin aku suruh bunda untuk pergi bertemu sama guru les privat, tapi dia sibuk sama kerjaannya. Apalagi, ayahku.. huh mereka cuek" ucap Mia dengan kesalnya. "Ya ampun Mia, gapapa ga usah repotin orang tuamu, mereka sedang sibuk. Gimana kalau kita minta temen ajarin kita aja." Ucapku menenangkan Mia.
 
"Bener juga sih, tapi siapa yang bisa diajak belajar bersama ya? Hm..gimana kalau Putri? Dia jago matematika juga" ucap Mia bersemangat. Aku hanya mengangguk. Lalu, kami pun pergi menemui Putri di bangkunya.
"Putri, aku mau ngajak kamu buat belajar bareng nih" ajak Mia tanpa basa-basi. Putri yang sedang mengobrol bersama yang lainnya, terutama Tania pun menjawab "hah? Kenapa ajak aku? Aku sih mau aja. Tapi sama siapa lagi selain kamu?" Tanyanya. "Aku, dan Zira, cuman kami berdua" ucap Mia.
"Ehm...gak jadi deh, takut. Mamah aku nyuruh buat ga deket-deket sama Zira hehe. Maaf ya Zira, aku bicara jujur. Biar ga dipaksa-paksa" ucap Putri yang sangat jujur. Mia yang tampak emosi, kutahan dan aku ajak untuk pergi ke bangku kita.
 
"Sombong ya, mentang-mentang pinter, memangnya kenapa kalau Zira bapaknya di penjara? Toh bapaknya bukan pencuri aslinya, hukumnya aja yang salah." Ucap Mia seolah-olah dia adalah aku yang kesal karen perkataan Putri tadi. Tapi, teman lelakiku yang mendengar perkataan Mia menjawabnya "Hukum kok disalahin. Mereka juga gak langsung main ngehukum orang seenaknya lah. Mikir makanya. Bapak Zira sampai dipenjara itu karena buktinya sudah kuat bahwa dia pencurinya" ucap Roni dengam nada puas ketika berbicara kata-kata tersebut.
 
"Kenapa kalian malah membicarakan bapakku? Cukup." Ucapku melerai mereka. Apa kalian sudah puas, terus menyakiti hatiku. Mengatakan bahwa bapakku adalah seorang pencuri, orang miskin yang tidak tahu diri dan sampai menjauhiku karena menganggapku seorang anak dari pencuri. Mengapa keadilan belum berpihak padaku dan keluargaku. Aku pergi dari kelas, menjauh dari mereka semua yang tampak jijik hanya dengan menatap wajahku.
Aku menenangkan diriku dengan meluapkan isak tangis di toilet sekolah. "Padahal aku hanya ingin menunggu keadilan bahwa bapakku bukanlah pencuri. Ya Allah tolong beri petunjuk siapakah pelakunya, kenapa bapakku yang difitnah, dan harus menanggung kesalahan yang tidak diperbuatnya" batinku berbicara.
 
"ZIRA!!!! ZIRA!!!!" Suara Mia terdengar dari balik pintu, dia mengetuk pintu sembari memanggil namaku. "Iya Mia aku gak usah disusul, kamu ke kelas aja. Aku ingin sendiri" ucapku dari balik pintu. Lalu, suara Mia pun tak terdengar lagi.
Sepulang sekolah, ibu sedang melayani pembeli yang membeli gorengannya. Aku pun salam padanya. "Zira, bantu ibu beres-beres ya." Ucapnya tampak senang "wih udah habis bu? Alhamdulillah" ucapku senang juga.
 
"Alhamdulillah laris-manis haha, oh ya nanti tolong ke warung beli sayuran untuk makan juga ya. Ibu sengaja tutup siang-siang, kita pergi ke kantor polisi ya. Kita jenguk bapak" ucap ibu dengan nada seperti biasa, tenang. Aku terdiam dan sedikit sedih "Bu..." ucapku dengan nada pelan. "Apa Zira?" Tanyanya.
"Bapak bakal pulang kan? Makan bersama kita lagi?" Tanyaku dengan sedih dan mencoba menenangkan diri sendiri. Ibu menghela nafas "Zira sayang, kamu yang tenang. Bapak pasti bakal kembali memeluk kita semua di rumah ini. Bapak pasti dapat keadilan kok. Jika di dunia bapak tidak mendapatkannya, mungkin di akhirat dia dapat. Yang penting, kita do'ain terus bapak supaya keadilan memihaknya" ucap ibu yang berhasil membuatku tenang.
Lalu datang kedua orang yang sudah kukenali suara langkah kakinya. "Assalamualaikum, lah kok kakak udah pulang?" Tanya mereka. "Emang kenapa?" Aku pun bingung dengan pertanyaan mereka.
 
"Kukira kakak pergi belajar bersama. Terus, aku tadi gak sengaja lewat juga depan toko buku Pak Fu, kok jadi sama perempuan sih terus malah berduaan sama laki-laki di toko itu. Aduh parah banget sih" ucap Dara yang dibalas oleh Zara "Nah iya kak, parah banget"
 
"Kakak belajar sendirian aja, gak enak sama anak Pak Fu kalau sering-sering kesana" ucapku dengan sedikit terkejut, bahwa mereka pun tahu mengenai Teh Yuli dan pacarnya.
"Ohhh itu anaknya Pak Fu, beda banget ya bapak sama anaknya" ucap Dara.
"Udah ah, yuk mending kita masuk. Terus makan siang deh. Kita mau nemuin bapak" ucapku. "Asik, kangen bapak nih" ucap Dara yang disetujui oleh adik kembarnya itu.
Kami pun berangkat menuju kantor polisi, tempat dimana bapak tertidur, makan, dan melakukan aktifitas seperti biasanya. Namun seperti diisolasi.
"Ya ampun Zira, ibu lupa membawa pakaian bapak." Ucap ibu yang membuat kami terkejut ketik sedang fokus berjalan. "Waduh ibu, yaudah deh Zira balik ke rumah dan ambil pakaiannya. Aku diantar Zara aja ya. Dara sama ibu" ucapku yang disetujui mereka semua.
Akupun berjalan menuju rumah, untungnya hanya butuh 2 menit untuk kembali ke rumah. "Aduh kak, jangan cepet-cepet jalannya. Zara capek...nih sampai ngos-ngosoan" keluh Zara kecapean sembari tetap memaksakan berjalan.
 
Ketika kami sudah mengemasi pakaian bapak ke dalam tas jinjing. Kami pun berangkat kembali menyusul ibu dan Dara ke kantor polisi. Tapi, ada saja hambatan disaat kami sedang buru-buru.
Mengapa pacar teh Yuli menghadang kami. "Ya ampun om, tolong minggir ya. Kami buru-buru nih. Dasar orang dewasa yang tidak sopan" ucapku dalam hati, karena tidak berani mengatakannya langsung.
"Kamu Zira kan?" Tanyanya yang tidak kubalas karena takut. Namun malah dijawab oleh Zara. "Iya kang, ini teteh aku. Kenapa? Ada apa?" Aduh Zara polos amat ya, kenapa dijawab. Gak takut apa. Daripada masalah menjadi rumit, aku segera mengakhiri percakapan ini. Memang ya om-om satu ini tidak tahu malu, sudah punya pacar masih aja menggoda anak kecil sepertiku dan Zara.
 
"Maaf kak, bukannya tidak sopan tapi kami buru-buru mau pergi ke kantor polisi." Ucapku, yang membuat dia terkejut. "Oh. Mau ngapain ke kantor polisi?" Tanyanya yang penasaran amat duh. Kenapa dia kepo sih...
"Hehe mau jenguk seseorang..." jawabku. "Hm yaudah deh, kalau kamu gak ke kantor polisi bakal aku anterin, tapi yaudah deh" ucapnya, yang langsung pergi menjauh dari kami.
"Ya ampun alhamdulillah, dasar om-om bangor" timpalku pelan. "Ih kakak, itu siapa?" Tanya Zara yang polos, walaupun aku sedikit kesal karena tingkahnya tadi tapi mau apa lagi aku jawab saja. "Gatau, gak kenal kakak. Takut kakak juga, sampai tau nama kakak. Yuk ah pergi, takut jam besuknya habis" ucapku sembari berjalan cepat agar dapat sampai ke jalan raya.
 
Aku dan Zara sampai ke kantor polisi. Disana sudah terdapat ibu dan Dara yang sedang mengobrol bersama bapak. Kami salam kepadanya. Rindu ini akhirnya terobati, karena sudah beberapa minggu tidak bertemu dengan bapak.
Bapak menanyakan soal kelanjutan sekolahku. "Gimana sekolahmu, Zira?" Tanyanya yang membuatku ketakutan dan bingung. "Ehm...Zira ingin kuliah" ucapku ragu, karena aku takut jika ibu dan bapak terkejut karena keputusanku ini. Namun, ekspetasi tidak sesuai realita. Bapak menyetujui rencanaku, serta ibu juga.
Aku bahagia, karena mereka menyetujui rencanaku ini. "Ibu yakin kamu bisa, kamu pintar. Maka dari itu, kamu harus belajar yang benar. Dan asalkan saat kuliah nanti, kamu bisa memakai kesempatan itu untuk keseriusan meraih cita-citamu." Ucapnya yang membuat semangatku membara lagi. Memang, mendengar ucapan-ucapan teman tidak ada gunanya, malah membuat motivasi menjadi turun.
 
"Makasih ibu, bapak. Semoga Zira bisa berhasil membuat ibu bapak bangga" ucapku. "Tapi, gimana dengan biaya kuliah Zira nanti? Dara dan Zara kan masih harus terusin sekolahnya" ucapku. Namun ibu dengan lantang mengatakan "Sayang, masalah rezeki tidak perlu kamu tanyakan. Sebagai orang tua sudah seharusnya mengikuti keinginan anaknya untuk meraih cita-cita, kami tidak ingin menjadi penghalang bagi mimpi kalian bertiga" ucap ibu. Kalau saja bukan di kantor polisi, aku sudah menangis karena ucapan ibu. "Terimakasih bu, Zira akan belajar dengan giat" ucapku penuh semangat.
Kemudian, bapak terdiam yang membuat jantung kami rasanya berdegup kencang. "Kenapa pak? Ada yang mau dibicarakan?" Tanya ibu was-was. Bapak dengan penuh senyuman "Gini bu, sepertinya kasus bapak akan diselidiki lagi." Ucapnya yang entah mengapa aku sudah lega duluan, karena ada harapan nama bapak bisa bersih lagi.
 
"Kenapa bisa?" Tanya ibu, yang membuatku juga penasaran. "Karena, jaksa penuntut kasus bapak terbukti menerima suap dari seorang koruptor. Polisi curiga dia pun menerima suap dari Pak Iman. Maka dari itu, kasus bapak diselidiki ulang" ucap bapak dengan tersenyum bahagia.
"Alhamdulillah, semoga ini jalan bapak mendapatkan keadilan" ucapku dengan ikut bahagia akan kabar dari bapak.
Di esok hari, tampaknya seperti ada yang berbeda dariku. Mendengar ucapan bapak kemarin, membuat semangatku sedikit demi sedikit meningkat. Semoga ini memang jalan keadilan bagi bapak. Sebuah kebohongan pasti akan terkuak. Sebuah kejujuran pasti akan selalu ditegakkan. Terimakasih Ya allah, kami berserah diri kepadamu.
 
Ketika aku pulang sekolah bersama Mia, yang memang kami sudah berencana belajar berdua. Dan kata Mia, dia mendapatkan toko buku di tempat lain yang bisa dipakai untuk belajar bersama. Namun, Teh Yuli memanggil nama kami. Alhasil, mau tidak mau kami harus menemuinya dulu.
"Kalian mau kemana?" Tanyanya dengan raut wajah seperti biasanya. Mia menjawab "Masa Teh Yuli gak lihat kita habis ngapain? Kita kan mau pulang." Aku tidak mengatakan sepatah apapun, karena sudah diwakilkan oleh Mia. "Biasanya kalian belajar disini. Kenapa sekarang tidak?" Tanyanya yang sedikit penasaran mungkin menurutku.
"Kami libur belajar dulu, belajar pun kan harus membutuhkan istirahat teh" ucap Mia mencari alasan, aku hanya bisa mengatakan dalam hati "Mia pintar...mencari alasan."
 
"Ohh... eh Zira, kemarin aku lihat pacarku bertemu denganmu, mengobrol bersama" ucapnya yang membuatku terkejut. Kenapa dia bisa tahu, pacarnya bertemu denganku. Tapi sepertinya dia salah paham, pacarnya yang menggoda aku. "Oh itu kak, kebetulan kemarin aku mau ke kantor polisi lalu pacar kakak menyapaku. Kami bertemu secara tidak sengaja." Jelasku, supaya tidak ada kesalah pahaman diantara kami. "Oh gitu, awas ya kalau berani goda pacar aku." Ucapnya lalu kembali masuk ke toko.
Aduh dasar pacar teh Yuli sih yang tiba-tiba menyapaku. Kenapa aku yang disalahkan? Eh seharusnya aku langsung pergi saja saat itu, tapi aku takut diapa-apain kalau kabur. Sudahlah...
"Wah kemarin kamu bertemu dengan pacar Teh Yuli yang pemabuk itu?" Tanya Mia. Padahal dia sudah tahu aku akan membalas apa, tapi dia malah bertanya. Aku hanya menganggukan kepalaku. "Kenapa kamu gak cerita? Aku pun waktu itu ketemu dengannya. Masya Allah genitnya minta ampun" ucap Mia dengan terlihat ber-drama. "Hah kamu juga? Kenapa ga cerita?" Tanyaku balik.
"Hehe, aku takut dibilang mengada-ngada sama kamu." Ucapnya yang membuatku keanehan. "Dasar Mia, sejak kapan aku suka bilang begitu apalagi sama kamu?" Tanyaku menjelaskan. "Ehm..gak pernah sih, mungkin itu cuman ketakutan aku doang" ucap Mia. "Udah gak usah dipikirin orang kaya gitu, mending kita pikirin UTBK." Ucapku sedikit meringis. "Huft iyaaaa" ucap Mia menambahkan.
"HAH SERIUS?!" Jerit Mia, yang membuat telingaku hampir akan pecah. Tadi aku sempat memberitahu mengenai penyelidikan ulang kasus bapak. "Iya Mi, polisi mencurigai jaksa tersebut ikut terlibat dalam penyuapan dalam kasus bapak." Jelasku. Sebenarnya kami sedang mengerjakan soal-soal untuk UTBK, sembari menyeritakan hal tersebut. Ya, Mia sih yang menanyakam kabar bapakku. Bukan aku yang sengaja menceritakannya.
 
Lalu terdengar notifikasi dari ponsel Mia. Mia yang awalnya biasa saja, mendadak berteriak "HORAY!!!! Kita masuk SNMPTN Zira....YUHUU!!" Ucap Mia, yang membuatku tidak percaya. Aku pun langsung membuka ponselku, dan melihat grup kelas. Benar saja, kami berdua masuk ke dalam daftar siswa yang dapat mengikuti SNMPTN. Kami sangat bersyukur sekali.
Oh ya, memang di kampungku ponsel tidak begitu penting karena masalah sinyal. Sinyal di kampungku memang buruk, makanya jarang orang menggunakan ponsel untuk keperluan seperti bimbel online, dan lainnya. Jika pun ingin, kami harus pergi ke dekat tower dahulu atau pergi meminta wifi. Itu pun berada di kampung sebelah. Makanya, kami belajar mengandalkan buku-buku.
 
Setelah terus belajar untuk UTBK nanti, kami pun daftar dahulu SNMPTN. Namun, kami siswa kelas 12 disuruh berkumpul di lapangan. Seorang guru mengatakan bahwasannya sekolah kami tidak boleh mendaftarkan siswa-siswinya untuk SNMPTN karena kuota sudah penuh. Hal itu membuat kami semua kecewa, apalagi beberapa murid benar-benar mengandalkan jalur SNMPTN untuk masuk ke PTN yang diinginkannya.
Aku sedikit kecewa, karena untungnya aku sudah mempersiapkan juga untuk jalur SBMPTN. Aku harus terus belajar dengan giat, supaya aku bisa meraih cita-citaku.
Sebenarnya banyak orang tua yang berlalu lalang untuk menanyakan perihal anak-anak mereka yang tidak jadi mengikuti SNMPTN. Itu dari beberapa orang tua yang tidak mengetahui lebih dalam bahwa sekolah pun mengusahakan supaya kami bisa mengikuti SNMPTN, namun pemerintah mengatakan lain.
 
Ketika pulang, aku melihat ibu sedang menangis. Namun, dia menghapusnya lagi. Ada apa dengan ibu? Kenapa dia menangis?
"Ibu, kenapa?" Tanyaku khawatir. Namun ibu mengatakan tidak apa-apa. Aku khawatir, ada apa dengan ibu. Kenapa sampai menangis seperti itu. Aku menanyakan kepada Dara dan Zara. Tapi mereka pun tidak tahu. Baiklah, mungkin ibu sedang kecapean makanya tidak ingin aku terlalu mengetahui perihal keluh-kesahnya.
Hari ini semua tampak ceria. Langit pun mendukung atas keceriaan kami, cerah. Kami sarapan dengan tenang dan lahap. Dibantu candaan kedua adikku, yang pastinya tidak menimbulkan pertengkaran. Kami membicarakan sekolah, pertemanan, dan lainnya.
 
Namun rasanya aneh. Keceriaan ini tampak menutupi sebuah hal. Aku tidak tahu, dan tidak diberi tahu. Apakah hanya aku yang tidak mengetahuinya? Ataukah ibu yang hanya mengetahuinya? Aku ingin tahu supaya kegelisahan ini pudar. Mau bagaimana pun, jika ada sesuatu atau masalah seharusnya aku pun ikut diberitahu.
Ketika sedang belajar pun, aku tampak gelisah dan tidak fokus. Selalu memikirkan keganjalan ini semua. Kedua adikku dan ibu tampak ceria sekali pagi hari ini, walau aku tahu raut wajah mereka seperti menandakan sebuah kebohongan.
"Zira kamu kenapa?" Ucapnya yang membuatku tersadar dari lamunan. "Ehm..aku pun tidak tahu apa yang aku lamunkan." Ucapku kembali melamun, namun sedetik kemudian aku mendapatkan sebuah ide "Mia, antar aku ke kantor polisi yuk! Bantu aku menumpas kegelisahan ini" Mia yang terkejut dengan perkataanku, hanya bisa menuruti perkataanku.
 
Kami pun pergi menuju kantor polisi, namun disana ternyata sudah terdapat ibu dan kedua adikku. Kenapa mereka datang ke kantor polisi tidak mengajakku? Ada apa ini?
Sebelum aku menemui mereka, aku mendengarkan sedikit perkataan ibu. "Ibu tidak berani memberitahu Zira pak, ibu takut Zira memikirkan ini, dan tidak fokus pada kuliahnya"
Aku yang terkejut akan perkataan ibu, datang yang membuat mereka semua terkejut karenaku. Ada apa ini sebenarnya? Apa yang mereka tutupi dariku?
"Kenapa bu, pak? Apa yang kalian tidak beritahu padaku?" Tanyaku penasaran. Mereka semua terdiam, tak ada yang berbicara sepatah kata apapun.
 
"Ayo jelasin bu, pak, Dara, Zara" ucapku dengan meneteskan air mata. Tapi, mereka semua tidak ada yang mampu membicarakan apapun. Aku yang tidak mampu menahan tangisan, pergi keluar untuk menenangkan diriku. "Zira mau kemana?" Ucap Mia. Aku tidak peduli, Mia mau menyusulku atau tidak.
Aku pergi sendirian, mencari tempat yang aman untuk menangis. Saat ini pikiranku sudah tidak tahu bagaimana. Aku terus memikirkan kenapa mereka semua menutupi sesuatu hal yang tidak boleh aku tahu? Apa ini?
 
Ketika pulang, ibu sedang duduk di teras depan yang tampaknya menungguku pulang. Aku salam padanya, dan langsung masuk ke dalam. Semalaman hingga di pagi hari, aku tidak mengatakan sepatah kata apapun pada ibu, dan kedua adikku. Mereka pun tampaknya tidak berani berbicara.
Kenapa ketika 2 hari sebelum UTBK, harus ada kejadian seperti ini. Aku menjadi kepikiran mengenai hal tersebut. Yang mana seharusnya aku memikirkan hanya untuk seleksi masuk kuliah.
Ketika pulang sekolah, Mia menasihatiku "Ehm..Zira tampaknya kamu dan ibumu harus berbicara. Tidak baik anak dan ibu hanya diam disaat ada masalah. Jika hanya diam, masalah tidak akan terselesaikan. Kamu mau nunggu ibumu mengatakan duluan? Tidak mungkin, jika kamu saja mendiaminya. Coba tanyakan, dan ajak dia berbicara dahulu." Ucapan Mia ada benarnya juga, aku seharusnya berbicara bukannya malah mendiami ibu.
 
Sesampainya di rumah, aku melihat ibu yang sedang melayani pembeli. Tampak malu karena aku harus memulai percakapan dahulu dengannya. Namun, aku memberanikan diri. "Bu..." panggilku dengan lembut. Kemudian ibu menoleh, wajahnya seperti tampak tenang dan tidak ada masalah. Aku memberanikan diri "Maafin Zira udah diemin ibu, maafin udah bentak ibu. Zira minta maaf." Ucapku sembari memeluknya. Ibu menahan tangisnya sembari balik memeluk, dan menatapku. "Iya ibu maafin Zira, ibu minta maaf juga ya karena tidak jujur padamu. Sebenarnya kami belum memiliki uang untuk biaya kamu kuliah nanti. Kami tidak ingin sampai kamu tidak jadi kuliah." Ucap ibu. "Oalah ibu, gapapa kok bu kalau aku tidak jadi kuliah tahun ini, masih bisa tahun depan." Sedikit lega, karena ibu bisa jujur padaku. "Tidak. Ibu akan usahakan kamu kuliah tahun ini, insha allah. Rezeki bisa dicari, tapi kesempatan jangan sampai disia-siakan." Ucap ibu yang membuatku terharu. Tak terasa air mata sudah menetes dari pelupuk mataku.
Aku memeluk ibu dengan penuh kasih sayang, ibu pun. "Cie...pelukan...kok Dara sama Zara gak diajak sih" ucap mereka yang tidak diketahui sudah pulang sekolah.
Memang semenjak aku sibuk belajar untuk persiapan kuliah, aku jadi jarang pulang bersamanya. Lalu, kami berempat jadi saling berpelukan. Datang pembeli yang mengejutkan kami "cie pelukan, manisnya keluarga bu Yanti." Ucap ibu pembeli tersebut. "Ibu mau juga dipeluk sama Zara?" Tanya Zara dengan lucunya.
Ketika di malam hari, kami makan malam bersama. Sembari mengobrol bersama, hal itu memang lumrah dan seperti kegiatan rutin kami. Makan sembari menceritakan aktifitas masing-masing. "Ehm, ibu tidak usah khawatir masalah biaya juga bu. Untuk masuk kuliah pun bisa memakai bantuan pemerintah. Bisa memakai bantuan pemerintah, Bu" ucapku menjelaskan supaya ibu tidak khawatir. Namun, Dara berkata "Uang apa kak? Bukannya ibu..." ucapnya yang dipotong oleh ibu. "Iya sayang... ibu selalu dukung penuh keputusanmu asalkan itu baik untukmu. Maksudnya gimana? Seperti bantuan pemerintah sekarang kamu di SMA?" Tanya ibu.
Tapi sepertinya aku merasa tetap ada yang menjanggal dari mereka semua. Tapi apa itu? Bukannya ibu sudah mengatakannya? Entahlah, sepertinya aku harus lebih mencari tahu apa yang mereka sembunyikan dariku.
 
Di esok hari, aku pulang sekolah bersama Mia. Dengan tampak tergesa-gesa kami harus pergi ke Warnet kampung sebelah, karena ingin mengikuti webinar mengenai perkuliahan tahun ini. Memang, aku dan Mia memiliki tujuan yang sama yaitu masuk kuliah namun jurusan kami berbeda. Kata Mia sih, dia ingin masuk ke jurusan Ilmu Pemerintahan. Sebelas duabelas dengan Ilmu Hukum lah ya...
Ingat tempat Wifi yang di kampung sebelah, sebenarnya itu adalah Warnet. Aku baru mengetahuinya dari Mia tadi siang saat dia mengajakku.
Sebenarnya kampung sebelah lumayan dekat jika harus menaiki angkutan umum. Tapi, jika harus berjalan pun jauh. Maka dari itu, kami memutuskan untuk berjalan. Hitung-hitung berolahraga.
Kami mengikuti webinar dengan penuh semangat dan penasaran. "Cepat Zira udah terlambat. Kata siapa tadi jalan kaki?" Ucap Mia dengan kesal. "Loh loh Mia, kita kan udah sepakat jalan kaki. Udah jangan marah-marah, gapapa kita terlambat juga baru 5 menit ini."
Benar saja kami terlambat mengikuti webinar, pembicaranya sudah terdengar sedang membicarakan suatu hal. Kami  dengan tampang tak tahu malu masuk melewati zoom meeting, iya aplikasi webinarnya lewat zoom. "Gapapa dong, ini hal yang positif ngapain malu." Ucapku pada Mia "yeu Zira, malunya itu terlambatnya...bukan ikut webinarnya, mana tadi ribet gak tahu cara mainin komputernya, itu kamu ya yang gak bisa maininnya" ucap Mia. Aku hanya mengangguk saja.
 
Sudah beberapa hari ini, kami mengikuti webinar-webinar secara online. Maka dari itu, setiap pulang sekolah kami selalu mampir ke Warnet. Menyiapkan selembaran 5.000 rupiah untuk membayar Warnet.
Hari dimana penyeleksian SBMPTN pun tiba, aku sangat bersiap untuknya. Aku yakin, aku pasti bisa mengerjakan tiap soalnya. Aku dan Mia, teman seperjuanganku siap untuk melewati ini semua.
 
Akhirnya selama 2 jam aku bisa mengerjakan ini semua. Aku pulang dengan percaya diri, karena menurutku soal-soal tadi tampak mudah. Aku pulang ke rumah dengan tampak bahagia. Walaupun, aku harus menunggu pengumumannya.
Namun, di rumah tidak ada siapapun. Aku kebingungan, untungnya ada tetanggaku yang memberitahu bahwa ibu dan adik-adikku pergi ke Rumah Sakit.
Segera aku pergi ke Rumah Sakit dengan sangat khawatir. Siapa yang sakit? Apa ini yang disembunyikan oleh mereka? Untuk mengetahuinya aku harus segera menuju Rumah Sakit.
Untunglah aku melihat Dara di ruang tunggu yang sedang menangis. Aku bertanya dimana ibu, dan Zara. "IGD, bapak sakit kak" ucapnya yang membuatku tampak terkejut dan ingin menangis. "Sakit apa?" Tanyaku yang masih sangat terkejut. "Tadi kata dokter, diabetes bapak sudah kronis..." ucap Dara dengan menangis tersedu-sedu.
"Ya allah astagfirullah..." ucapku tambah terkejut. Mengapa disaat kebahagiaanku bisa menyelesaikan SBMPTN, malah ada kesedihan. Aku sangat kasihan kepada bapak, setelah mendapatkan musibah yaitu dipenjara. Mengapa dia harus sakit juga. Mengapa bapak harus mendapat musibah seperti ini.
 
...
 
4 tahun kemudian, akhirnya aku bisa lulus menjadi seorang sarjana hukum. Dzamira Riyya Shadiqqah, seorang anak dari seorang bapak nelayan dan kuli bangunan, serta ibu yang hanya penjual gorengan.
Aku sangat bahagia karena akhirnya aku bisa melewati 2 tingkatan menuju cita-citaku, sebagai seorang pengacara.
Sekarang, ibu tampak membaik setelah beberapa tahun selalu tampak bersedih. Dan kedua adikku, Dara sudah beberapa bulan bekerja di sebuah kantor peralatan rumah tangga, gajinya lumayan bisa menopang kebutuhan keluarga kami. Kemudian, Zara melanjutkan sekolahnya dengan kuliah di sebuah universitas yang lumayan ternama. Sekarang dia sudah menjadi mahasiswi jurusan Manajemen.
"Bagaimana bu sudah siap?" Tanyaku dengan penuh kebahagiaan. Bagaimana tidak, hari ini kami akan berfoto. Baru pertama kali ini, kami berfoto bersama-sama. Dengan pakaian wisudaku, bersama keluarga yang aku sayangi. Yang menemaniku dari nol. Oh ya, Mia teman seperjuanganku pun lulus menjadi sarjana ilmu pemerintah. Namun, wisuda dia tidak sama sepertiku. Dia hari berikutnya.
 
"Nanti aku nyusul kakak!" Ucap Zara dengan ceria, yang kubalas anggukan "Pasti, kamu pasti bisa!" Ucapku menyemangatinya.
Fotograper pun datang, dan mengatakan apakah kami siap. Sudah pasti kami siap, walau sedikit gugup.
Aku, ibu, Dara, dan Zara sudah siap untuk berfoto. Rasanya sangat berbeda, tanpa kehadiran bapak. Padahal, ini adalah pertama kalinya kami berfoto keluarga. Andaikan bapak ada disini, mungkin rasanya kerinduan ini bisa diobati dan mungkin akan sangat lengkap pula foto keluarga ini.
Namun, kami berpikir bapak sudah tenang dan sudah sangat bahagia dengan kehidupannya. Melihatku yang sudah menjadi seorang wisudawati, kedua adikku yang tak pernah membuat kami terutama bapak kecewa.
 
Kejadian 4 tahun yang lalu, benar-benar hal yang tak bisa kami lupakan. Momen kerinduan bersama bapak, momen kehilangan, dan kembali hidup seperti biasa.
Tapi, kenangan bersama bapak selalu terbesit di benak kami. Walaupun kehidupan kami sudah berbeda dengan bapak, walaupun bapak jauh disana. Tapi, bapak tetap selalu terkenang dan tetap di hati.
 
"Oh ya, bapak pernah memberikan sesuatu pada Dara untuk kakak." Ucap Dara menyodorkan sebuah surat padaku. "Surat 4tahun yang lalu, bapak berkata aku hanya boleh memberikan pada kakak saat kakak lulus menjadi seorang wisuda." Ucapnya menambahkan.
Aku bertanya-tanya dalam hati, dan membukanya saat di rumah. Membukanya saja aku takut jika kesedihan akan kembali terbesit.
Tapi aku pun mau tak mau membacanya. Kubuka dengan perlahan dan kubacakan setiap kata di dalam hati dan penuh hati-hati.
 
"Anakku, Zira. Terimakasih sudah berjuang dan selalu percaya pada bapak. Bapak sangat bangga padamu. Bapak tak tahu harus mengatakan apa kalau bapak sangat-sangat bangga padamu. Bapak pernah bilang, sebagai seorang anak pertama harus bisa membuat keluargamu bahagia, menjaganya, dan menemani mereka semua. Jagalah selalu sifat jujur, ikhlas, dan bekerja keras. Maafkan bapak, bapak berbohong kepadamu perihal kasus bapak yang diselidiki ulang. Karena bapak tak mau kamu memikirkan itu semua, ketika kamu sendiri fokus untuk kuliah. Tapi, perihal jaksa yang menerima suap itu benar. Namun, sepertinya keadilan dunia tak memihak bapak. Bapak berdo'a supaya pengadilan akhirat yang dapat mempercayai bapak. Pokoknya semangat ya Zira, anak bapak yang sangat bapak sayangi!"
Aku tak sadar, tetesan air mata membuat surat dari bapak basah. Yang jelas, aku akan memegang janji bapak, dan aku akan terus bekerja keras untuk meraih cita-citaku. Bapak, Zira janji akan menjadi seorang anak yang membanggakan kalian semua.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun