Terlalu Banyak Ide – “guru yang pintar” biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan di kelasnya. Sedangkan “guru yang bodoh” mungkin hanya punya satu ide dan satu itulah yang menjadi pilihan dalam usahanya membelajarkan siswa dengan cara yang menyenangkan sambil tetap mencari metode yang lain yang lebih baik untuk diterapkan.
Miskin Keberanian untuk berubah memulai metode yang baru – “guru yang bodoh” biasanya lebih berani dibanding ”guru yang pintar”, kenapa ? Karena “guru yang bodoh” sering tidak berpikir panjang atau terlalu banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, “guru yang pintar” terlalu banyak pertimbangan dan itu yang membuatnya jadi penakut.
Terlalu Pandai Menganalisis – Sebagian besar “guru yang pintar” sangat pandai menganalisis. Setiap satu ide pembelajaran, dianalisis dengan sangat lengkap, mulai dari teori, caranya sampai pengaruhnya dikelas . “guru yang bodoh” tidak pandai menganalisis, sehingga lebih cepat memulai dan menerapkan sebuah hal yang baru di kelas.
Ingin Cepat Sukses – “guru yang pintar” merasa mampu melakukan berbagai hal dengan kepintarannya termasuk mendapatkan hasil pembelajaran yang sukses. Sebaliknya, “guru yang bodoh” merasa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.
Tidak Berani Mimpi Besar – “guru yang pintar” berlogika sehingga bermimpi sesuatu yang secara logika bisa dicapai. “guru yang bodoh” tidak perduli dengan logika, yang penting dia bermimpi sesuatu, sangat besar, bahkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai menurut lain.
Berpikir Negatif Sebelum Memulai – “guru yang pintar” yang hebat dalam analisis, sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah gaya atau hal baru dalam hal pembelajaran, karena informasi yang berhasil dikumpulkannya sangat banyak. Sedangkan “guru yang bodoh” tidak sempat berpikir negatif karena harus segera memberikan yang terbaik bagi siswanya.
Maunya Dikerjakan Sendiri – “guru yang pintar” berpikir “aku pasti bisa mengerjakan semuanya”, sedangkan “guru yang bodoh” menganggap dirinya punya banyak keterbatasan, sehingga harus bekerja sama dan dibantu elemen lain di sekolah. Misalnya orang tua, sesama guru dan kepala sekolah.
Tidak Fokus – “guru yang pintar” sering menganggap remeh kata ‘fokus’. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara “guru yang bodoh” tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada pembelajaran di kelas dan pengembangan profesinya.
Tidak Peduli Konsumen – “guru yang pintar” sering terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah oke berkat kepintarannya sehingga mengabaikan suara konsumen (orang tua siswa, siswa dan kepala sekolah). “guru yang bodoh” ?. Dia selalu menyadari konsumen seringkali lebih pintar darinya.
Abaikan Kualitas – “guru yang bodoh” kadang-kadang saja mengabaikan kualitas karena memang tidak tahu, maka tinggal diberi tahu (oleh orang tua siswa atau kepala sekolah) bahwa mengabaikan kualitas keliru. Sedangkan “guru yang pintar” sering mengabaikan kualitas, karena sok tahu.
Tidak Tuntas – “guru yang pintar” dengan mudah beralih dari kegiatan mengajar, karena menjadi guru hanya batu loncatan saja atau daripada tidak ada pekerjaan yang lain. Hal ini dikarenakan punya banyak kemampuan dan peluang. “guru yang bodoh” mau tidak mau harus menuntaskan dan berkonsentrasi pada pembelajaran dan pilihan profesinya saja sebagai guru.
Tidak Tahu Prioritas – “guru yang pintar” sering sok tahu dengan mengerjakan dan memutuskan banyak hal dalam waktu sekaligus, sehingga prioritas terabaikan. Bagi “guru yang bodoh” ? Hal-hal yang paling mengancam kualitas pembelajaran dikelasnyalah yang akan dijadikan prioritas
Kurang Kerja Keras dan Kerja Cerdas – Banyak “guru yang bodoh” yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, menjadikannya sukses dalam berkarier sebagai pendidik. Dilain sisi kebanyakan “guru yang pintar” malas untuk berkerja keras karena mengandalkan kecerdasannya.
Tidak punya kecerdasan finansial – Seorang “guru yang pintar” seringkali berperilaku bodoh denganmencampuradukan keuangan pribadi dan keuangan untuk pengembangan profesi. Salah satu tandanya adalah uang tunjangan sertifikasi digunakan untuk membeli barang secara konsumtif, dan bukan dipakai untuk hal yang dapat mengembangkan profesi, seperti mengikuti workshop/seminar pendidikan , berlangganan internet atau membeli buku.
Mudah Menyerah – “guru yang pintar” merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. “guru yang bodoh” seringkali tidak punya pilihan lain kecuali berusaha terus-menerus mengalahkan berbagai hambatan yang timbul di kelasnya. ***