Saudi Arabia dan Mesir hanya menjanjikan bantuan finansial skala kecil Lebanon menjanjikan senjata dalam jumlah terbatas. Hanya Syria yang berkeinginan mengikutsertakan persiapan militer yang tepat, juga membujuk tetangga Irak untuk melatih dan mengirim relawan ke Palestina.
Sebenarnya Arab tidak kekurangan relawan. Banyak orang disekitar negara Arab yang berjalan keluar dan berdemonstrasi menentang pemerintah yang tanpa aksi. Ribuan pemuda sudi mengorbankan hidupnya untuk warga Palestina. Reaksi yang luar biasanya dari rakyatnya ini justru dilarang untuk bergabung ke Palestina, terutama Mesir.
Pada sisi lain, sikap raja Abdullah dari Yordania justru memanfaatkan kondisi ini untuk mengintensifkan negoisasi dengan agen Yahudi. Agar pembagian tanah Palestina untuk warga Arab diserahkan kepadanya. Kompensasinya Yordania tidak akan bergabung dengan Liga Arab untuk membantu Palestina. Padahal saat itu Yordania memiliki pasukan yang paling terlatih.
Namun apa yang terjadi? Yahudi tetap menguasai wilayah-wilayah Palestina, membasi dan mengusir warga Arab yang menurut PBB akan diberikan kepada warga Arab. Yahudi hanya mensisakan Tepi Barat untuk Yordania. Ini yang membuat raja Abdullah semakin tegang.
Lalu Yordania ditunjuk sebagai  ketua penyerangan Liga Arab ke Yahudi di Palestina. Dengan komandan lapangan dari Irak. Padahal sejak perang dicetuskan, raja Abdullah sudah membangun aliansi diam-diam bersama gerakan Zionis. Oleh karena itulah perang Arab-Israel bukanlah perang sungguhan tetapi perang kepalsuan.
Satu-satunya perubahan yang ditemukan di seluruh Arab ketika Mandat berakhir hanya retorika dari pemimpin Arab. Genderang perang yang ditabuh lebih keras dan riuh tetapi hanya untuk menutupi kelambanan, kekacauan dan kebingungan yang terjadi dari para pemimpin Arab.