Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Jalan-jalan ke Gunung Ungaran (3)

6 September 2012   01:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52 411 0

Menikmati Kehangatan di ketinggian 2050 mdpl (3)

Puncak Gunung Ungaran berada pada ketinggian 2050 meter diatas permukaan laut. Namun, menurut GPS yang aku bawa, tempat yang sekarang lebih dikenal dan sering disambangi pendaki, ketinggiannya tidak mencapai angka tersebut yaitu 2035 mdpl. Perkiraanku, puncak satunya lagi yang kini diberi tanda tidak boleh didatangi itulah puncak 2050 mdpl. Konon kabarnya sudah beberapa kali memakan korban hingga puncak tertinggi tersebut tertutup untuk didatangi. Sejak pertama kali menyambangi tempat ini, aku tidak pernah tertarik untuk melanggar tanda larangan tersebut. Kalau celaka, susah kalau mau komplen hahaha

Puncak gunung ini tidak begitu luas. Kira-kira seluas dua kali lapangan bulu tangkis. Ada monument dan tiang bendera yang dibangun dan didirikan oleh TNI. Agak ke barat, ada areal agak landai yang berbatasan dengan hutan lebat yang menjadi titik awal jalur menuju kawasan Candi Gedong Songo. Angin masih kencang dan kabut tebal menyelimuti puncak pagi itu. Jarak pandang masih kurang dari 10 meter .

Pagi itu ramai sekali. Rombongan anak kecil dari sekolah alam masih berlari-larian, bersenda gurau bersama kawan dan pendampingnya. Dengan cepat aku mengeluarkan kamera dan meminta ijin beberapa anak untuk kuambil gambarnya. Lagi-lagi aku tersenyum melihat wajah ceria mereka dengan jaket yang kebesaran. Ada satu orang anak yang terduduk sepertinya kedinginan. Beberapa tim lain memanfaatkan waktu untuk mengabadikan momen mereka diatas monumen tersebut. Kawanku dan aku lalu mencari tempat sedikit di tepian seberang sebuah tenda berwarna biru. Kami bersiap untuk memasak sarapan pagi kami yaitu sejenis roti pancake dan teh panas manis.

Hal paling menarik ketika melakukan perjalanan seperti ini adalah mendapatkan kawan dapat dilakukan dengan mudah. Para penggiat alam bebas seperti punya adat untuk saling berbagi di alam terbuka. Pagi itu kami berbagi sarapan dengan beberapa orang lainnya. Kawan-kawan baru kami pun berbagi mi instan, roti dan berbagai macam perbekalan mereka. Obrolan hangat pun meluncur sehangat kopi dan teh panas kami. Seperti itu seharusnya bukan? Kembali ke alam mengingatkan kita sebagai manusia akan tugas kita berbagi dan hidup selaras dengan sesame. Namun, persaingan hidup di yang katanya peradaban membuat kita manusia seperti kehilangan jati diri kita sebenarnya.

Pagi itu, dalam dinginnya udara pegunungan, kencangnya angin menderu dan kabut tebal yang menyelimuti, kami menemukan kehangatan dalam persaudaraan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun