Diskursus ini akan menjadi topik ketika perdebatan mengisi ruang panjang antara ide, ideologi, bahkan kepentingan yang dibawa mengatasnamakan kebenaran. Karena sejatinya kebenaran yang maha mutlak tersebut akan terus menerus meninggi dari jangkauan pikir manusia, Semakin kebenaran itu dipertahankan melalui aras pikir dan kepentingan sepihak.
Melihat fenomena-fenomena sosial yang terjadi belakangan, ironis merupakan ungkapan yang sesuai bagi kebersesuaian apa yang terjadi dewasa ini. Gembar-gembor kebenaran dengan dalil penguatan klaim “kebenaran” seringkali menghasilkan output pembantaian, bentrokan dan sisi agresi lainnya. Kasus kisruh di Ambon, Maluku, Papua dan bentrokan beberapa golongan aliran maupun agama tertentu dapat menjadi sample konkrit ketidakberlakuannya kebijaksanaan yang acap kali dituding sebagai biang nomor satu dari paradigma doktrinal suci. Agama-agama pembentuk peradaban manusia yang seharusnya humanis. Tidak hanya melajur vertical tetapi juga mampu Membentang horizontal.
Tak hanya berkaca pada fenomena sosial secara makro, tetapi lingkaran itu juga sebenarnya membiangkai lingkungan mikro disekitaran kita. Banyak jajak pendapat, argumentasi tidak berdaya guna dan nilai. Ketika argumentasi dilakukan bukan untuk mencari titik temu sebuah kebenaran tetapi argumentasi yang dilakukan untuk melakukan pembenaran diatas klaim sebuah kebenaran.
Mengapa banyak hal yang terjadi di negeri ini, negeri yang subur dengan penamaan “Nusantara”, adalah jauh dari dasar filosofis nusantara. Mengapa ada berbagai macam warna kulit, ras, suku, bangsa, budaya, status ekonomi, agama, dan keanekaragaman ciri khas lainnya. Bahkan secara sisi humanis terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Yaitu kepribadian, jalan pikir, karakter dan hal-hal yang sifatnya individual. Mengapa semua orang memiliki otak dengan serabut-serabut neuron dalam otak berbeda satu sama lainnya. Maka sangat wajar apabila jalan pikir maupun pendapat menjadi beda. Apakah menjadi salah ketika berbeda, sedangkan semua yang tercipta pun hakiki penuh dengan keanekaragaman.
Minoritas, pihak tertindas, inferioritas. Semua adalah implikasi dari pemaksaan klaim kebenaran yang selama ini tendensius “pembenaran”. Diusung melalui kepentingan, egoistik, dan ambisi menjadi si pembenar dalam segala hal. Padahal jika semua orang mampu untuk mencoba mengerti bahwasanya perdamaian dan kebermaknaan akan suatu hidup bangsa dan Negara dimulai dari paradigma yang berasal dari pemahaman-pemahaman akan kebenaran dan kebijaksanaan individu.
Meminjam konsep Plato tentang Negara. Persis dengan Socrates yang menjadi pendahulunya, bahwasanya tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eundaimonia/well-being). Namun untuk hidup yang baik tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa adanya unsur polis atau suatu Negara. Maka untuk hidup yang baik, dituntut Negara yang baik pula. Sedangkan Negara yang baik dibentuk oleh masyarakat yang baik juga, hingga pada stratifikasi terkecil masyarakat yang baik bersumber pada individu yang baik dan individu yang baik memahami dan memiliki aras pikir yang baik pula.
Untuk itu, semua membutuhkan integralisasi. Yang menyatukan segala macam unsur baik itu psikologis, sosiologis, biologis, kosmologis dan ontologisme guna membentuk sebuah kesatuan dan ditarik pada garis persesuaian dalam satu bingkai kacamata dan dilihat dari bermacam-macam mata. Hal ini dapat menjadi sintesa agar pemaknaan akan sebuah ide maupun pandangan dapat terealisasi tanpa pandangan yang sempit dan dari sebelah mata saja.
Dengan adanya pemahaman-pemahaman yang holistik lagi komprehensif, hal ini yang akan membuka ruang kesadaran masyarakat secara luas, dan individu secara pribadi akan pentingnya memandang sebuah kebenaran dalam bingkai relativisme, dan kebenaran mutlak hanya dimiliki yang maha memiliki. Sadar akan bingkai relativitas kebenaran manusia hendaknya mencapai jangkauan tersebut dengan cara yang khidmat dan beretika pula. Tidak dengan klaim “kebenaran versi golongan”, maupun versi egosentrisme individu.
Tentu Tuhan tidak akan pernah menciptakan sesuatu yang berbeda tanpa maksud dan tujuannya, sangat mampu baginya untuk menjadikan sesuatu dalam kesamaan, namun pada realitasnya semua diciptakan dalam perbedaan.
Hanya dengan rasa dan nilai-nilai humanis semua dapat terealisasikan. Jalan dialektika sebagai lintasan perdamaian tampaknya menjadi hal yang solutif. Tidak serta merta menghakimi sebuah perbedaan dalam kacamata dan frame yang orang lain tidak mampu menggunakannya. Setidaknya memanusiakan manusia dapat menjadi dasar yang kuat untuk menjangkau sang metafisik dengan tanda-tandanya yang maha agung.