Lalu virus apa yang menyerang paru-paru dunia, yaitu beragam kegiatan Ilegal dan kebijakan pembangunan yang rakus ruang. Kegiatan ilegal logging, ilegal mining, perambahan, pembangunan jalan dalam hutan, pemburuan satwa liar, dan kegiatan ilegal lainnya yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Tidak heran kemudian jika bencana alam banjir, longsor, dan kebakaran hutan terus terjadi, tidak hanya di Aceh juga semua daerah yang ada di Indonesia.
Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul.
Berdasarkan pengamatan WALHI Aceh, Aceh memiliki riwayat banjir yang tinggi dibandingkan daerah lainnya. Ini tidak terlepas masih terjadi sengkarut ruang yang harus secepatnya diperbaiki.
Celakanya lagi, selama 2016-2022 total DAS rusak seluas 2,8 juta hektar  dari total 7 juta hektar lebih. Artinya sekitar 40 persen tutupan hutan sudah hilang.
Sedangkan DAS yang paling kritis terdapat 20 DAS, yaitu  1,9 juta sejak 2016-2022 rusak dari totalnya 4,4 juta hektar, artinya 43 persen mengalami kerusakan parah atau dalam kondisi kritis.
DAS yang paling kritis sekarang DAS Singkil rusak seluas 820,243.69 hektar, DAS Jambo Aye seluas 214,377.93 serta Peusangan seluas 184,087.84 hektar.
Permasalahan lingkungan harus menjadi tanggungjawab bersama. Semua komponen harus memainkan perannya sebagai upaya bersama-sama memperbaiki kondisi lingkungan hidup.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sejauh ini telah melakukan upaya-upaya sesuai peran dan kewenangannya untuk menyerukan penyelamatan alam. MUI dan MPU Aceh telah mengeluarkan fatwa-fatwa, sejauh ini ada dua Fatwa MPU Aceh dan tujuh fatwa MUI yang berkaitan langsung dengan kondisi atau permasalahan lingkungan hidup saat ini, yaitu;
Pertama, Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No 4 Tahun 2019 Tentang Pemeliharaan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam. Dalam Fatwa tersebut, MPU Aceh menetapkan:
Kesatu: Lingkungan Hidup adalah suatu sistem yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya.
Kedua: Pemanfaatan lingkungan hidup untuk kemaslahatan dan tidak menimbulkan kerusakan adalah boleh.
Ketiga: Setiap muslim wajib menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Keempat: Merusak lingkungan hidup, hukumnya adalah haram.
Kelima: Tausiyah
1. Diminta kepada pemerintah untuk memperketat perizinan dan menerbitkan segala bentuk perbuatan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup yang meliputi:
a. Kerusakan hutan akibat Ilegal logging
b. pencemaran sungai dan laut
c. kerusakan tanah dan sumber mata air akibat pertambangan
d. pencemaran udara
2. Pengusaha yang terkait dengan lingkungan hidup diminta untuk mematuhi hukum adat, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
3. Masyarakat diminta untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta menanam jenis pohon yang banyak menyimpan air.
4. Pemangku kepentingan untuk mensosialisasikan fatwa dan tausyiah MPU Aceh.
Kedua, Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No 3 Tahun 2022 Tentang Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar Menurut Perspektif Syariat Islam, MPU Aceh menetapkan:
Kesatu: Perburuan adalah upaya menangkap untuk menguasai atau membunuh satwa liar yang ada di darat, laut dan atau udara.
Kedua: Perdagangan adalah kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya yang berdasarkan kesepakatan bersama.
Ketiga: Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di laut dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara manusia.
Keempat: Berburu satwa liar yang halal dimakan diluar tanah haram dan atau bukan dalam ihram hukum asalnya adalah boleh selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Kelima: Berburu satwa liar yang tidak halal dimakan adalah dilarang.
Keenam: Menangkap dan atau membunuh satwa liar yang dilindungi di darat, di laut dan atau di udara adalah tidak dibolehkan selama tidak mengancam jiwa dan harta secara pasti.
Ketujuh: Menangkap dan atau membunuh satwa liar yang dilindungi untuk kemaslahatan dan penelitian dengan seizin pemerintah adalah dibolehkan.
Kedelapan: Memperdagangkan satwa liar yang dilarang adalah tidak dibolehkan.
Kesembilan: Memerlukan satwa liar dengan baik untuk melindungi dan melestarikannya guna menjamin keberlangsungan hidupnya adalah wajib.
Selain fatwa MPU Aceh, dalam rentan 2010 - 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan tujuh fatwa yang berkaitan dengan upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, yaitu:
1. Fatwa MUI No. 2 Tahun 2010 tentang Air Daur Ulang
2. Fatwa MUI No. 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
3. Fatwa MUI No. 47 Tahun 2014 tentang Pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan.
4. Fatwa MUI No. 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan ramah lingkungan.
5. Fatwa MUI No. 43 Tahun 2012 tentang Penyalahgunaan formalin dan bahan berbahaya lainnya dalam penanganan dan pengelohan ikan.
6. Fatwa MUI No. 01/MUNAS-IX/MUI/2015 tentang Pendayagunaan harta zakat, infaq, sedekah dan wakaf untuk pembangunan sarana air bersih dan sanitasi bagi masyarakat
7. Fatwa MUI No. 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta pengendaliannya.
Tulisan ini tidak sedang membicarakan sejauh mana efektif dan dampak dari fatwa tersebut dalam menekan angka kerusakan alam. Namun, sejauh mana semua komponen yang ada di tanah air melakukan langkah-langkah nyata dalam bersinergi dan semangat kolaborasi dalam penyelamatan lingkungan hidup ditengah krisis iklim.
Banyak lembaga negara dan komponen masyarakat di Indonesia yang dapat memainkan perannya sehingga bahu membahu menyelamatkan bumi. Misalnya komponen adat, dapat mengeluarkan aturan adat terkait pelarangan merusak lingkungan. Di Aceh misalnya, lembaga adat yang dipimpin oleh Imuem Mukim dapat mengeluarkan Qanun atau Reusam. Misalnya yang pernah dilakukan oleh Imum Mukim Lutueng, di Pidie mengeluarkan Qanun terkait pelarangan menebang pohon dipinggiran sungai, meracun ikan, dan tentunya ada sanksi adat bagi siapa yang melanggar hukum adat tersebut.
Dengan demikian, isu penyelamatan bumi dari beragam pengrusakan dapat menjadi isu bersama.[]