Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

SOAL PKI: TERIMA KASIH, PAK HARTO!

30 September 2010   17:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:49 1080 0
Pasti banyak yang antipati pada Soeharto, mantan presiden RI era Orde Baru itu. Sejak kejatuhannya dari kursi kepresidenan, hampir-hampir tidak ada "kisah indah" yang ditulis orang tentang tokoh yang satu ini. Mereka yang menuliskan sisi positif dari kebijakan politiknya akan selalu menuai kondite sebagai pendukung status quo.

Banyak orang berusaha "menulis ulang" sejarah (politik), khususnya peristiwa G30S yang mengesankan bahwa peristiwa tersebut hanya "akal-akalan" politik Soeharto. Bahkan sampai saat ini, setidaknya ada 5 versi yang ditulis orang mengenai peristiwa tersebut, yang sebagian muaranya "merekomendasikan" agar PKI seharusnya tidak dipersalahkan, apalagi dibubarkan.

Terlepas versi mana yang benar atau dibenarkan orang, bagi saya PKI memang selayaknya tidak hidup di Indonesia. Bila saja benar bahwa bubarnya PKI dengan berbagai peristiwa yang dianggap sebagai tragedi sejarah yang menyertai merupakan hasil karya Soeharto, maka saya wajib menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya.

Sebagai orang Madiun, keluarga saya adalah sedikit di antara keluarga di negeri ini yang merasakan kegetiran yang teramat dalam akibat sepak-terjang PKI. Berdasarkan penuturan para tetua keluarga perihal pengalaman mereka selama pemberontakan PKI 1948 dan sesudahnya, banyak anggota keluarga kakek saya beserta tokoh-tokoh agama dan penentang PKI mengalami siksaan yang jauh lebih kejam dari yang digambarkan dalam film G30S/PKI karya Arifin C. Noer itu.

Satu-satunya deskripsi yang paling mirip dengan cerita para leluhur keluarga kami adalah kisah kekejaman komunisme di negeri-negeri tetangga, seperti Vietnam dan Kamboja. Selain ditandai dengan monumen Kresek yang diidentifikasi sebagai "ladang pembantaian", sebagian besar dari mereka tak jelas diketahui di bagian mana dikuburkan.

Meski tidak sampai mengulang peristiwa '48, berbagai teror dan kekejaman kembali dilancarkan oleh PKI dan para pendukungnya, terutama pada masyarakat muslim dan pemilik tanah sejak PKI kembali eksis kembali melalui Pemilu '55 hingga '65. Keterbatasan ruang gerak PKI pasca peristiwa '48 menjadikan berbagai aksi para pengikut PKI hanya terhenti sebatas tindak kekerasan yang berujung pada bentrok fisik dengan rivalnya kaum pergerakan muslim.

Ancaman terulangnya peristiwa '48 yang tak jelas penyelesaiannya itu begitu jelas menghantui masyarakat, khususnya muslim. Pada akhirnya, kekhawatiran itu mendapat pembenaran dengan terjadinya peristiwa G30S, yang saat itu diyakini digerakkan oleh PKI, terlepas secara organisasi atau perorangan.

Oleh karena itu, penumpasan PKI dan para pengikutnya merupakan peristiwa yang teramat disyukuri oleh masyarakat kami. Meski tak semua kebijakan Soeharto disukai masyarakat kami, tetapi perannya dalam penumpasan PKI adalah anugerah terindah bagi kami. Terlepas dari cara yang dilakukan melanggar hukum, HAM atau apapun, PKI dan gerakan komunis lainnya pantas, bahkan wajib dihapuskan dari bumi pertiwi.

Secara diskursif, komunisme memang tidak selalu identik dengan atheisme, tetapi faktanya gerakan komunisme tidak memiliki daya pikat tanpa atheisme. Penerapan land reform yang mereka lakukan sepihak jelas tertuju pada tokoh agama yang pada umumnya sekaligus merupakan para pemilik tanah.

Sebagaimana gerakan Islam radikal yang patuh pada pan-Islamisme, Komunisme juga hanya patuh pada komintern. Agenda politik mereka jelas, yang menempatkan penghargaan terhadap demokrasi dan ideologi nasional hanya menjadi jalan politik sementara. Setelah mereka kuat, dan apalagi berkuasan, kebebasan dan kemanusiaan hanya masa lalu belaka.

Sebagaimana terorisme kontemporer yang nota bene merupakan buah dari radikalisme, komunismetelah menampilkan dirinya sebagai kelompok (paham) politik intoleran. Dalam praktiknya di berbagai negara komunis, visi politik komunis hanya memungkinkan partai tunggal yang dominatif dan menafikan yang lain.
Evidensi empirik paling jelas dapat dicermati pada sejarah negara-negara komunis. Sekali pemerintah komunis berkuasa, pasti disertai dengan serangkaian kekejaman yang mengabaikan nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan. Bila dengan menguasai satu kota (Madiun) saja sudah sedemikian besar kengerian yang mereka timbulkan, maka sulit dibayangkan bagaimana kalau seluruh kota negeri ini dikuasai oleh PKI? Bukan tidak mungkin tragedi kemanusiaan yang jauh lebih parah dibanding pengalaman negeri-negeri tetangga yang mengalami jalan sejarah "naas" akibat dikuasai kaum komunis terjadi pula di negeri ini.
Belajar dari sejarah kelam komunisme di negara-negara lain, tampaknya lebih baik membangun menumen PENUMPASAN PKI dibandingkan menumen KEKEJAMAN PKI. Kalau ada yang merasa perlu merehabilitasi keluarganya akibat kebijakan Orde Baru perihal keterlibatan seseorang sebagai tersangkut gerakan PKI dan menuntut hak yang sama sebagai warga negara, itu merupakan hak masing-masing orang, tetapi tidak dengan sendirinya harus mengubah pandangan bahwa komunisme layak diberi tempat dalam perikehidupan sosial dan politik negeri ini.

Mereka yang tidak menghargai kebebasan orang lain, tidak selayaknya diberi tempat untuk hidup nyaman bersama orang lain. Bilamana masih ada yang berpendapat bahwa komunisme perlu dibiarkan hidup dan membuat partai, maka sama halnya dengan memberi kesempatan bagi para pengikut Amrozi dan Imam Samudra untuk melakukan hal yang sama.

Terima kasih, pak Harto!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun