"Rani Dit," jawab Reza dengan menghela nafas. Terlihat mata Reza berkaca-kaca.
"Ya elah Za, Rani kan udah meninggal dua tahun ini. Di ikhlasin aja Za, yang penting kamu doain aja buat dia," kata Adit lalu menyeruput kopi.
Rani adalah pacar Reza yang telah meninggal dunia sejak dua tahun lalu karena kecelakaan mobil. Mereka pacaran sudah cukup lama, sehingga masih ada rasa sangat terpukul atas meninggalnya Rani.
Adit adalah sahabat Reza, sekaligus teman kantor Reza. Ia berusaha selalu ada untuk Reza dalam kondisi apapun.
Dua tahun lalu, Rani berencana akan memberikan surprise buat ulang tahun Reza. Setelah membeli kue tart, ia langsung tancap gas ke kantor Reza. Namun naas karena dibelakang ada truk melaju cukup kencang dan menabrak mobil Rani di depannya. Itulah yang menyebabkan Rani meninggal dunia.
Reza sendiri sangat mencintai Rani. Itu lah sebabnya ia hingga kini belum mempunyai pacar lagi sebagai pengganti Rani. Bukan hanya itu, ia pun seolah bersikap dingin jika berbicara dengan wanita.
Sebenarnya kematian Rani meskipun sudah dua tahun berselang, namun masih menjadi misteri. Bagaimana tidak? Sopir truk yang dianggap telah menabrak dan menyebabkan Rani meninggal dunia terus menyangkal meskipun ia sudah ada di dalam penjara.
Sopir itu mengaku bukan dirinya yang bersalah, namun Rani yang menyetir mobil tak terkendali hingga terjadi lah kecelakaan itu.
"Eh Dit, kamu inget nggak sih kata sopir truk itu?" Tanya Reza sepulang kerja.
"Yang katanya dia nggak salah? Dia nggak bikin Rani meninggal? Udah lah Za, namanya juga sopir truk biasa tuh banyak ngelesnya biar bebas nggak di penjara," Â Adit bergidik.
"Iya sih, cuma rasanya masih ada yang ganjel aja tau nggak sih kayak ada yang nggak beres," kata Reza.
"Perasaanmu aja tuh. Makanya kenal dong sama cewek lain, biar move on sama Rani," canda Adit.
Reza menghela napas panjang. "Nggak bisa Dit, terlalu banyak kenanganku sama Rani."
"Hei Za, cewek tuh ya di dunia ini banyak banget. Ya bukan berarti ngelupain Rani, cuma masalahnya ini Rani udah meninggal loh, kamu juga harus mikir masa depanmu juga dong," nasehat Adit.
"Kalo masalah masa depan gampang lah itu Dit, belum kepikiran sampai sekarang," potong Reza.
"Iya..iya tau nggak se instan itu juga mikir masa depan, tapi seenggaknya deket dulu lah sama cewek. Nah ini sama semua cewek aja dingin banget. Banyak tuh cewek diluar sana yang mau deketin kamu jadi takut kan," cecar Adit.
Reza tertawa terbahak-bahak. "Sok tau soal cinta kamu Dit. Kamu sendiri gimana? Nah sampai sekarang juga buktinya belum punya cewek. Cerita soal cewek aja nggak pernah. Ada yang kamu sembunyiin dari aku ya Dit?"
"Aku Za? Cewek? Mmm.. ada sih deket, cuma ah mungkin karena aku jelek kali ya jadi nggak ada cewek yang mau deketin aku. Kalo kamu kan ganteng, baik, romantis lagi. Siapa sih cewek yang nggak mau sama kamu," ledek Adit.
"Bisa aja kamu Dit...Dit....," kata Reza.
***
"Siapa sih yang telepon pagi-pagi gini? Gangguin orang lagi tidur aja," Reza menggerundel karena HPnya berdering saat ia masih tidur.
"Halo, Pak Reza," kata orang di seberang sana.
"Iya Halo, siapa ya?" Tanya Reza.
"Maaf mengganggu waktunya Pak, kami dari kepolisian. Jika Pak Reza ada waktu bisa ke kantor kami Pak? Ada yang kami bicarakan terkait kasus meninggalnya Bu Rani," kata Polisi yang menelepon.
"Oh iya Pak, bisa kok. Bisa banget. Pagi ini saya ke sana," sahut Reza cepat lalu menutup telepon.
Sebelum berangkat, ia menelepon Adit terlebih dahulu. "Dit, barusan pihak kepolisian telepon katanya ada yang penting terkait kematian Rani. Tolong kamu handle semua pekerjaan kantor ya."
"Aduh Za nggak penting banget sih, itu kan kasus udah berlalu ngapain juga masih diungkit-ungkit," sahut Adit.
"Aku juga nggak tahu Dit, makanya aku harus tahu jadi aku kali ini minta tolong sama kamu ya, handle pekerjaan kantor, oke," jawab Reza cepat lalu ia menutup teleponnya.
Reza lalu menyalakan mobilnya dan menuju ke kantor polisi.
***
"Bagaimana Pak? Ada yang harus dibicarakan dengan saya terkait kematian Rani dua tahun lalu?" Tanya Reza tanpa basa-basi.
"Oh iya Pak, silahkan duduk dulu. Jadi begini orang yang menabrak Bu Rani hingga kini terus mengeluarkan asumsinya bahwa bukan kesalahannya," kata Polisi itu.
"Apa asumsinya Pak? Kita harus tahu dulu asumsinya apakah bisa diterima dengan akal sehat," Reza menarik kursi dan duduk tepat berhadapan dengan polisi tersebut.
Polisi itu terlihat menghela napas. "Justru itu saya panggil Pak Reza, jadi Pak menurut sopir truk itu, dia di bayar untuk menabrak Bu Rani hingga meninggal."
"Tunggu Pak. Apa tadi katanya? Dibayar? Siapa yang bayar? Apa tujuannya?" Cecar Reza.
Tentu saja Reza kaget dengan statement itu. Kenapa ada orang yang berniat membunuh Rani? Apa tujuannya?
"Begini Pak," polisi itu melanjutkan, "supaya lebih jelas saya panggilkan saja Pak."
Kemudian polisi itu berdiri dan memanggil sopir truk yang menabrak Rani dua tahun lalu. Tak lama kemudian sopir truk itu menghampiri Reza. Penampilannya terlihat acak-acakan, ia berjalan tertunduk.
"Maaf Pak, saya langsung saja pada intinya. Katanya Bapak dibayar untuk menabrak Rani? Benar itu Pak?" Tanya Reza dengan tatapan serius.
"Benar..Pak," jawab sopir tersebut dengan terbata-bata dan masih menundukkan kepala.
"Kalau memang benar Bapak dibayar, kenapa Bapak baru jujur sekarang setelah dua tahun berselang? Kenapa nggak dari dulu Pak?" Cecar Reza.
"Karena... karena saya butuh uang buat keluarga saya Pak, apalagi saya punya anak yang masih bayi," lirih sopir itu.
"Oke, kalau begitu bisa Bapak jujur sama saya sekarang siapa yang sudah menyuruh Bapak?" Tanya Reza tegas.
"Anu Pak, saya tidak tahu namanya, karena dia memang menyembunyikan identitasnya. Tapi saya masih menyimpan fotonya di hp saya," jawab sopir itu.
"Bisa tunjukkan sama saya fotonya?" Tanya Reza lagi.
"Bisa Pak," sahut sopir itu cepat. Si sopir lalu melirik ke arah polisi, karena selama di penjara, hp ada di tangan polisi.
"Oh hp ya? Sebentar saya ambilkan," kata polisi itu sembari berjalan menuju loker dan mengambil ponsel milik sopir itu.
Sopir itu kemudian membuka ponselnya, menggeser ke kanan galerinya. Lalu ia menemukan foto itu dan disodorkan kepada Reza. "ini Pak."
Sontak Reza kaget melihat foto itu, "Adit?"
"Bapak..Bapak jangan bercanda Pak.. Adit ini sahabat saya, teman kantor saya," ucap Reza dengan mata berkaca-kaca.
"Saya serius Pak," sahut sopir itu cepat. Kali ini ia memberanikan diri untuk menatap Reza.
"Oke.. Oke.. saya harus buktikan dulu jika ini benar," kata Reza lagi.
"Baik Pak, sebelumnya saya minta maaf baru bisa jujur sekarang karena saya sangat merindukan anak istri saya, saya ingin segera keluar dari sini," ucap sopir itu.
***
Mobil Reza melaju dengan kencang menuju kantor. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan Adit dan menanyakan kebenarannya. Saat ini di benak Reza bertanya-tanya, rasanya ia tidak ingin mempercayai kata-kata sopir truk itu. Lagi pula apa coba motivasi Adit membunuh Rani? Tanyanya dalam hati.
Setelah ia sampai kantor, dengan segera ia memarkirkan mobilnya. Dengan langkah buru-buru ia menuju ke ruangan Adit.
"Dit..." katanya tiba-tiba. Adit yang baru mengerjakan pekerjaan kantor, sontak kaget melihat kedatangan Reza.
"Eh Za, gimana? Udah selesai? Aku udah bilang kan, nggak usah lah kamu ngurusin masalah yang udah berlalu," kata Adit.
"Dit.. aku mau tanya sama kamu, apa bener kamu bayar sopir truk buat nabrak Rani?" Tanya Reza dengan tatapan serius.
"Aku?? Siapa yang bilang? Ada-ada aja kamu," sahut Adit cepat.
"Sopir truk itu, ada foto kamu di galeri HPnya, katanya kamu bayar dia buat nabrak Rani sampai meninggal," kata Reza.
"Ah itu sih alibi dia aja tuh biar bebas," kata Adit sambil menepuk pundak Reza.
"Aku serius Dit!" Gertak Reza
"Lah kamu percaya aja sih sama sopir truk itu," Adit berusaha menenangkan Reza.
"Jujur aja Dit, soal Rani meninggal aku masih kayak ada yang janggal aja. Sekarang aku mau kamu terus terang sama aku," tutur Reza menahan emosi.
"Kok kamu jadi nuduh aku sih Za, mana mungkin aku ngelakuin itu bro, kita kan udah sahabatan lama lho dari kita kecil. Masih nggak percaya juga sama aku," Adit bergidik.
"Jadi kamu masih belum mau jujur. Oke, kamu tahu nggak sopir truk itu punya buktinya. Punya bukti kamu ngasih uang sama dia sehari setelah Rani meninggal dunia," ucap Reza.
Reza mengeluarkan hp dari sakunya, lalu memperlihatkan foto yang sudah di kirim sopir itu. "Nih lihat," katanya sambil menyodorkan hp itu.
Tentu saja Adit kaget. "Itu anu Za, itu..."katanya terbata-bata.
"Stop berkilah lagi Dit, aku nggak nyangka kamu tega ngelakuin itu sama aku. Sekarang aku mau tahu alasan kamu ngelakuin itu kenapa? Pernah salah apa aku sama kamu Dit?" Ucap Reza dengan mata berkaca-kaca.
"Maafin aku Za. Mungkin kamu nggak tahu dengan apa yang aku rasain dan aku pendam selama puluhan tahun. Maafin aku kalo...kalo aku....suka dan cinta sama kamu...,"Adit pun menangis di depan Reza.
Sontak Reza pun kaget mendengar pernyataan Adit. "Jadi... kamu.... kamu..."
"Iya Za. Anggap lah aku ini nggak normal. Aku nggak bisa mencintai seorang wanita dan aku dari dulu jatuh hati sama kamu,"kata Adit lagi dan kali ini dengan wajah tertunduk.
"Gila kamu Dit! Nggak kayak gini caranya!" Gertak Reza.
"Iya aku tahu Za, makanya aku minta maaf sama kamu," ucap Adit.
"Maaf aja tuh nggak cukup bro! Kamu juga melibatkan orang nggak bersalah harus dipenjara, padahal dia punya keluarga di rumah," tutur Reza sambil berbalik arah seperti sudah muak melihat wajah Adit.
"Apapun akan aku lakuin Za, yang penting kamu mau maafin aku," kata Adit memohon.
"Oh ya harus itu. Sekarang kamu ikut aku ke kantor polisi dan bertanggung jawablah dengan apa yang sudah kamu lakukan," kata Reza sambil berjalan ke arah mobil.
Adit mengikuti Reza dari belakang. Akhirnya Adit pun menyerahkan diri pada polisi.
***