Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Nonton Joget Bareng Suku Laut

3 Juni 2012   10:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 429 1

“Nuk, oh Nuk, nanti kita nonton joget, Nuk,” ajak Pak Akob padaku. Jam di handphoneku masih menunjukkan pukul 19 lebih. Bapak, demikian kupanggil ketua kelompok Suku Laut di Pulau Air Bingkai, Dusun Tajur Biru, Desa Temiang, Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau ini, kupikir hanya bergurau.

“Nanti sebentar lagi kita berangkat. Tak usah lama-lama nanti kita di sana. Sudah 10 menit kita langsung balik,” ujar mamak yang sudah menyandang tas tangan warna hitam. Tas perempuan yang biasa dipakai orang untuk berkantor, atau setidaknya berurusan dengan kantor. Aku hanya membatin, itu tas terbaiknya. Walau menyandang tas ‘kantoran’, mamak memakai baju tidur setelan dengan celana panjang, berbahan kaos, berwarna pink. Kucium bau yang berbeda saat mamak melintasiku dari kamarnya. Parfum!

Ssssseeeettttt, sseeettttt, sseetttttt, lebih lima kali kudengar suara mendesis. Ternyata Bapak juga menggunakan parfum saat duduk di kursi makan. Wanginya! Kulihat, bajunya basah oleh parfum merk Inuoi warna pink. Belum lima menit sebelumnya, aku goda Acin (27) di ruang dapur yang sekaligus jadi ‘kamar tidurnya’. “Eiy, Ninuk niy. Wangi apa lah.” Mungkin jika kulit laki-laki pendiam itu sedikit terang, aku bisa membedakan ruam merah di wajahnya yang malu-malu. Trendi juga anak Mak Jamas yang ikut keluarga Pak Akob ini. Kaos you can see ketat warna kuning cerah kontras dengan kulitnya yang hitam. Kalung logam selebar 1,5 cm melingkar mencolok di lehernya. Celana panjang jeans model masa kini dikenakan. Yap, malam ini semua wangi parfum, kecuali aku sendiri.

Iyus (14) salah satu cucu Pak Akob dari pasangan Ta-Rani mendekat pada Tuk, demikian Pak Akob dipanggil cucu-cucunya. “Boleh ikut Tuk?” Iyus yang sejak September 2011 lalu masuk kelas 1 SDN 004 Senayang itu girang. Ia langsung pulang ke rumah saat Tuk memperkenankan dia ikut. Lebih 5 menit kemudian, sulung empat (4) bersaudara ini telah berganti kostum. Kaos warna merah cerah, celana panjang, dan sepatu warna hitam. Rambutnya yang minggu lalu dipotong, klimis naik ke atas di bagian ubun-ubunnya. Aku mencium wanginya saat sudah turun dari pompong di Teban.

Bertabur bintang

Kuhitung, sekitar 20 orang berada di perahu bermesin berukuran panjang sekitar 8 meter, lebar lebih dari 1 meter milik Pak Akob. Selain mamak dan Pak Akob, aku, Dhanik, anak, dan menantu, sebagian cucu Pak Akob juga diajak. Hanya Ta, Rani, dan dua adik Iyus, Win (8) dan Arina (6) yang tidak ikut. Mereka ditugasi menjaga rumah. Tapi aku juga tidak melihat Idi, salah satu anak Pak Akob. Hanya Lili istri Idi dan Lina (6) anak Idi-Lili yang kulihat di pompong.

Air laut teduh. Sepanjang perjalanan yang sekitar 20 menit ke Pulau Teban, kami diantar ratusan kerlip bintang dan satu bulan yang belum penuh. Di sini, kurasakan bintang benar-benar menjadi bintang di gelapnya malam. Kerlip cantiknya tak kan terkalahkan oleh sinar lampu buatan manusia!

Bintang yang paling kuhafal adalah bintang pari penanda arah selatan. Namun, baru kutahu sejak aku berada bersama Suku Laut bahwa bintang berbentuk layang-layang itu ada dua dan jaraknya berdekatan. Satu berukuran layang-layang besar, satu berukuran lebih kecil. Aku masih belum tahu bintang ukuran mana yang digunakan sebagai penanda arah selatan.

Ngaji dulu, baru goyang

Pulau-pulau kecil di kanan kiri hanya tampak hitam. Sesekali pompong kami bertemu orang yang mencari ikan dengan sampan. Rokok di mulut tampak dari kejauhan. “Kita lah sampai,” kata Mamak.

Pelantar atau jalan yang terbuat dari kayu di atas air laut di Teban lebih panjang dibanding di Tajur Biru. Panjangnya sekitar 200 meter. Persis di bawah kayu, di bagian pinggir terdapat selang air berdiameter 5 cm. Kata Mamak, air diambil dari pulau seberang tanpa menyebut nama pulaunya. “Enak orang sini, tak perlu sibuk cari air kan,” tukas Mamak.

Kurasa rombongan kami adalah rombongan penonton dari luar Teban yang pertama sampai. Panggung yang sebelumnya kukira tempat pentas joget masih kosong. Satu jam lebih kemudian kutahu panggung itu tempat ibu-ibu menyiapkan makanan, baik meracik, sampai memasak. Kami hanya duduk-duduk, sedikit bertanya pada warga setempat pemilik warung mengenai acara tersebut. Bosan duduk di pelantar, kuambil gambar Pak Akob yang akrab mengobrol dengan laki-laki Melayu. Sangat berkharisma juga ketua kelompok suku laut ini, batinku.

Usai tepung tawar, acara dilanjutkan mengaji. Kali ini sungguh lama. Lebih dari satu setengah jam kami menunggu. Iseng-iseng kubilang pada Dhanik, “Ini acara orang nikahan apa tadarusan ya?” Dhanik yang Protestan tertawa.

Sementara suara orang mengaji yang dipimping satu orang belum selesai, satu dua gadis muda berdatangan. Tumpukan kursi tanpa sandaran yang diletakkan dekat alat musik mereka tata. Jumlahnya delapan. Lalu ketika doa bagi pengantin ditutup dengan pembacaan Surat Al Fatihah, gadis-gadis lainnya datang. Mereka menampati kursi masing-masing.

Na mendekat ke pemain ‘organ tunggal’, istilah yang kerap kudengar di beberapa daerah. Sejumlah uang diberikan. “Bayarnya Rp. 140 ribu. Ada lah 10 lagu,” ujar Mamat, Suku Laut dari kelompok Tanjug Balai, Kampung Baru. Di lain waktu Na mengatakan, per orang membayar Rp 20 ribu untuk bisa ngibing bersama lima penari asal Medan dan tiga asal Kalimantan tersebut. Tujuh (7) lagu yang tidak pernah selesai. “Sekali ngibing semalam itu bayar 180, Nuk,” kata istri Kanda itu.

Sesi pertama, delapan orang laki-laki Suku Laut ngibing berhadap-hadapan dengan para gadis. Pak Akob ditemani Nodi anak lelakinya, Kanda dan An menantu Pak Akob, Acin, Yus dan dua laki-laki dari Tanjung Balai. Gerakan jogetnya masih tetap monoton, baik penari maupun para lelaki yang berjoget. Sering erotis, mengejar, bahkan tidak pas dengan musiknya. Di sudut gelap di belakang pengeras suara, anak-anak Melayu ikut ngibing. Posisinya sama, berhadapan.

“Oh, aku baru tahu, mengapa selama ini anak laut ngibing selalu berhadapan,” kataku pada Dhanik. Ngibing berhadap-hadapan sering kusaksikan saat anak laut ngibing. Biasanya malam hari saat genset dihidupkan, lalu tv diputar dvd lagu Minang atau Jambi yang rancak lagunya.

Hiburan para istri

Mimik muka mamak serius menyaksikan suami, anak, menantu, dan saudara-saudaranya ngibing bersama gadis-gadis muda. Kadang mulutnya terbuka lebar kala menyaksikan joget yang menurutnya lucu. Begitu juga Na, Nian adik Na yang istri An, dan perempuan-perempuan lain. Tawa lebar kadang disertai telunjuk tangan pada seseorang yang tengah asyik bergoyang.

Sesi pertama selesai, para lelaki Suku Laut mundur. Sesaat setelah istirahat, delapan gadis yang semuanya berambut panjang itu kembali bergoyang. Gayanya acak, satu sama lain tak sama. Kadang mereka sengaja ngibing sambil menghindari asap tungku kayu yang berada persis di belakang tempat mereka menari. Yap, ‘dapur’ tempat ibu-ibu memasak untuk pesta menjadi gambar lain saat menyaksikan joget.

Kali kedua Kak Na, demikian Na biasa kupanggil, maju untuk menyerahkan uang. Jumlahnya masih tetap sama, Rp 180 ribu untuk ngibing delapan laki-laki, termasuk suaminya, dengan tujuh lagu. Anak kedua Akob ini sangat percaya diri. Ia tampak lebih tinggi dari ukuran tinggi tubuh sebenarnya. Sandal yang ia pakai berhak lebih dari 5 cm kurasa.

Pada sesi kedua, formasi sedikit berubah. Pak Akob sudah tak ikut lagi, sedangkan Acin, Nodi, Kanda masih ikut. Pejoget baru adalah Nadim suami Imah, serta Mamad, Sukar yang masih belasan tahun, dan Yus. Saat para lelaki bergoyang berhadap-hadapan dengan para gadis, mimik muka para perempuan kembali tertawa. “Aneh yo, kok ora (tidak) cemburu?!” aku dan Dhanik saling bertanya, tertawa, sambil geleng kepala.

Tanyaku terjawab, “tidak” saat kutanya Kak Na delapan jam kemudian. “Lucu Nuk, ngibingnya lucu orang tu. Kita dapat hiburan. Jogetnya aneh-aneh kan?” tutur Na seraya tertawa. Mungkin masih tergambar ‘kelucuan’ semalam.

Kata Na, perempuan pun ada yang ikut ngibing. “Orang Melayu, yang cewek-cewek dulu sering ikut ngibing, Nuk. Kalau Kak Na kurang suka. Malu. Ninuk suka joget?” lanjut Na.

Tinggal di kepulauan, joget menjadi hiburan sangat menarik. Terlebih bagi orang-orang yang hidup tanpa fasilitas listrik, bahkan rumah tinggal yang jauh dari layak.

Pulau Air Bingkai, 30 April 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun