Pulang liburan ke Jawa, serasa ada yang kurang jika tidak kusempatkan barang satu dua jam melenggang ke luar kota menggunakan kereta api. Maka, ketika mbak Sana mengajakku bertemu di Malioboro, Yogyakarta, dari Solo kotaku, aku memilih melangkahkan kaki menuju Stasiun Purwosari.
Kereta api selain lebih murah, hanya Rp 9 ribu sekali jalan, juga lebih cepat. Satu jam puas kunikmati deretan sawah diantara pabrik dan perumahan yang makin hari makin menyesakkan di atas sepor Prambanan Ekspres.
Sudah lewat stasiun Delanggu ketika kusadar bahwa aku berada di gerbong khusus wanita! Rupanya aku tidak mengetahui kabar bahwa PT Kereta Api Daop VI Yogyakarta membuat gerbong khusus wanita di Prameks. Lalu kudengar keesokan harinya kutanya tetanggaku mbak Sri, sejak kapan gerbong khusus wanita berlaku.
Ia bilang, "4 September tahun wingi, Nuk." Kata Mbak Sri yang hampir tiap sore mengajak cucunya naik Prameks yang tiba di Purwosari, Balapan lalu stasiun Jebres ini, tanggal itu bertepatan dengan ulang tahun cucunya. Oh, pantaslah dia ingat.
Sayangnya, gerbong khusus yang menurut Kepala Daop VI Yogyakarta, Noor Hamidi S itu untuk menghargai wanita, tidak digubris penumpang laki-laki. Di depan saya persis dua pasang manusia, yang kuyakin mereka mahasiswa di Yogyakarta, menghadap ke gambar peringatan tersebut. Pasangan yang sepertinya sedang dimabuk cinta itu tak peduli tengah di tempat 'yang salah'. Sedangkan arah belakang, beberapa lelaki juga menghadap tulisan serupa tapi tetap cuek-cuek saja.
Anehnya, petugas yang berkali-kali melintas juga tak ambil pusing. Ia hanya mengatakan, "Egh, yo nek gelem melu peraturan apik mbak. Nek ragelem piye meneh.... Sing numpak ki yo jane ketok'e wong pendidikan mbak, kuliahan, neng yo do ramanut aturan (Kalau mau mengikuti peraturan ya bagus, tapi kalau nggak mau ya mau bagaimana. Yang naik sepertinya juga orang-orang berpendidikan, anak kuliahan. Tapi ya nggak mau mengikuti peraturan).
Bisa jadi iya, anak-anak negeriku mungkin sudah bosan dengan aturan....