Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Cuci Mata-Uangmu di Manahan Minggu pagi!

19 Februari 2011   09:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:28 784 3

Jika saja mbak Tatik tidak menanyaiku begini, “Katanya setiap hari Minggu pagi, Stadion Manahan rame ya Nuk? Tapi kudengar nggak hanya orang olahraga aja ya yang kesana?”

Aku yang ditanya hanya mengiyakan. Ragu-ragu menjawab benar bahwa di tiap Minggu pagi di sekeliling Stadion Manahan ramai oleh pedagang, sekaligus pengunjungnya. Aku takut jika mbak Tatik bertanya lebih lanjut, ”Pedagang apa aja?”

Lalu, jauh hari sebelum aku pulang ke Solo, Vian ponakanku kuminta berjanji. ”Tenan lho aku dijak neng Manahan pas Minggu esuk (Beneran lho aku diajak ke Manahan pas Minggu pagi)!” Malu lah aku jika ada teman menanyaiku lagi tentang Manahan Minggu pagi, aku hanya geleng kepala tak tahu apa-apa.

Vian manut dan memenuhi janjinya. Cindy adiknya juga ikut bersamaku. Mataku mengembara di hampir semua sudut. ”Kok jek sepi Nduk?” tanyaku pada mereka berdua. Yap, kata Vian aku terlalu bersemangat. Terlalu pagi sehingga para pedagang belum menggelar dagangannya. Meski demikian, pedagang latengan (makanan) sudah siap menjajakan dagangannya.

Bagaimanapun caranya jika sudah sampai Solo, cabuk rambak dan sego liwet harus bertemu lidahku. Tapi bangun tidur tadi perutku sudah terisi srabi solo dan teh panas buatan ibu. Apa boleh buat, sego liwet harus kunikmati tidak sekarang. Vian dan Cindy memilih cabuk rambak. Karak yang terbuat dari nasi yang diberi garam bleng, dipadatkan, diiris tipis-tipis, dijemur, setelah kering baru digoreng, kunikmati kriuknya. Satu kantong plastik berisi lima lembar hanya Rp 500!

Dari telo godog sampai laminating

Bunga Kurnia Bintang –kata simbah pedagangnya- kubawa pulang dengan harga sepuluh ribu. Awalnya simbah yang katanya berasal dari Tawangmangu, Karanganyar, itu mematok harga sampai Rp. 15 ribu. ”Sedoso mawon nggih, Mbah (sepuluh –ribu- saja ya).” Simbah tersenyum, lalu bilang, ”Yowes gawanen (Ya sudah bawa saja).”

Cindy yang kelas 5 SD hanya mau Arum Manis. Bukan sejenis mangga, tapi gula yang diwarnai, lalu diolah menjadi benang-benang dan digulung-gulung menjadi bulatan lonjong dengan gagang kayu tipis.

Oh, ternyata tidak hanya Arum Manis, jajanan anak-anak khas Sekaten yang dijajakan di Manahan. Kapal perang berbahan bakar minyak goreng mengingatkanku pada adikku. Dulu setiap Sekaten tiba, ia selalu minta pada Bapak untuk dibelikan kapal othok-othok ini. ”Othok othok othok othok,” begitu memang bunyinya.

Seorang pedagang yang kukira penjual jamu sibuk melayani pembelinya. Ada benda kecil warna-warni mencolok tergeletak di bawah kakinya. ”Kalih ewu mawon. Monggo. Mboten susah-susah melih nglebetke benang kangge dondom. Monggo monggo....(Dua ribu saja. Mari. Nggak perlu susah-susah lagi memasukkan benang ke jarum untuk menjahit –tangan).” Beberapa pembeli mempraktekkan lalu membayar benda seperti gagang silet itu.

Dalam keramaian orang lalu lalang, juga membeli, entah di arah mana karena aku sudah tak tahu lagi arah mata angin, dua perempuan berpakaian seksi berlenggak-lenggok di lantai bersemen. Suaranya yang pas-pasan toh cukup menghibur banyak orang. ”Ben minggu yet ono, Bulik (Tiap hari Minggu memang ada –hiburan seperti ini),” tukas Cindy.

Ah, andai aku tahu ada juga tukang laminating, KTP adikku akan kubawa. ”Oalah, aku yo lagi ngerti lho Bulik,” seru Vian seraya tertawa. ”Ya Allah, ono to yoan....(ternyata ada juga to),” katanya lagi. Lapaknya di belakang panggung hiburan. Beberapa saat kemudian aku juga menemukan lapak laminating lagi.

Duduk di atas karung beras bekas, seorang nenek hanya terpaku melihat setiap orang yang lewat di hadapannya. Sesekali menatap dagangannya yang sepi pembeli. Ya, di jaman sekarang yang banyak orang berlomba membuat makanan silat lidah, siapa sudi sekalipun hanya melirik telo godog (ubi rebus), kacang godog. Toh demi sesuap nasi, simbah setiap hari Minggu berjualan di Manahan. ”Yen ora payu yo diiderke, Nduk (Jika tidak laku ya jualan keliling),” matanya sayu.

Dari arah simbah menatap kejauhan, beberapa laki-laki tampak duduk santai bersandar bangunan putih muram. Koran lokal Solopos dibaca miring-miring agar mendapat cahaya yang cukup di antara dedaunan yang lebat. Ketika kumendekat, kaki putih orang bersandar sedang dipijit-pijit lelaki lainnya. Oh, toiletpun menjadi tempat pijit refleksi dan kebugaran! Ah, rasa pipisku malah sirna.

Meski matahari mulai meninggalkan bumi, pengunjung semakin banyak saja. Jam 10 nanti, Vian akan membawaku ke ngGawok. Ada pasar pon-an di sana. Kata mbak Yus iparku, jadah wajik di sana enak-enak. Bibit tanaman juga tinggal milih. Yolah, ayo pulang Pi....”Aduh!” Kaki Cindy kesandung kursi rotan yang ditata di pinggir jalan menuju pintu keluar masuk.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun