Pepih Nugraha, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012. xv + 192 hlm. Harga Rp. 38.000.
Ini adalah tinjauan buku Pepih Nugraha (selanjutnya disingkat: PN) yang ketiga yang saya beli pada tanggal 31 Desember 2013. Dari segi kronologi waktu penerbitannya, “Citizen Journalism” terbit satu tahun lebih awal ketimbang “Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang” dan “Menulis Sosok” yang sudah saya publikasikan tinjauannya. Namun, “Citizen Journalisme”-lah yang paling akhir saya ulas tinjauannya karena buku ini pula yang paling akhir saya baca ketimbang dua buku tersebut.
Seperti dua buku sebelumnya, setelah membaca habis “Citizen Journalism”, saya pun berselancar di Kompasiana mencari tinjauan-tinjauan mengenai buku ini yang sudah pernah diposting. Sudah cukup banyak Kompasianers yang mengulas isi buku ini. Salah satunya yang menarik perhatian saya – PN sendiri juga “hadir” memberi apresiasi mengenai ketepatan representasi isinya – adalah tinjauan dari Saudari Dearmarintan yang berjudul: “Pewarta Warga Wajib Punya Buku Ini” (baca di sini).
Membaca tinjauan Saudari Dearmarintan dan membandingkannya dengan “tangkapan” saya sendiri saat membaca buku ini, saya kira ia layak mendapat apresiasi PN berkait representasi isinya. Dan saya tidak perlu mengulanginya lagi di sini, kecuali ada hal-hal tertentu yang menurut saya tidak disinggung oleh Saudari Dearmarintan namun penting untuk digarisbawahi.
Berikut ini saya akan fokus pada relevansi isi buku ini bagi Kompasianers walau sebenarnya isi buku ini relevan juga bagi pewarta warga di media yang lain.
Ada dua hal pokok yang merupakan ringkasan saya terhadap isi buku ini. Pertama, buku ini berisi apa itu pewarta warta dan bagaimana melakoninya. Kedua, menyambung hal pertama, kebagaimanan itu bukan hanya soal pengetahuan akan apa yang harus dilakukan demi menjadi pewarta warga yang menghasilkan tulisan yang baik (sudah diulas Saudari Dearmintan), etika pengelolaan dan penyajian tulisan (juga sudah diulas Saudari Dearmintan), maupun etika berinteraksi antar sesama pewarta warga.
Ada satu hal menarik yang saya cermati saat membaca tentang netiket (bab 8) juga trolling dan flaming (bab 9) dalam buku ini. Saya merasakan ada semacam eskalasi emosi (bukan dalam pengertian negatifnya) yang terekspresi lewat tuangan kalimat-kalimatnya. Nada PN agak tajam di sini seakan hendak menekankan sesuatu yang penting namun belum terealisasi secara memuaskan, ketimbang bagian-bagian sebelum maupun sesudahnya, juga bila dibandingkan dengan nada “teduh” dalam kedua buku yang sudah saya ulas sebelumnya.
Saya sendiri baru tiga bulan lebih bergabung di Kompasiana. Namun, saya sudah beberapa kali didatangi dengan komentar-komentar sarkastik, gak nyambung, tendensius, bahkan abusive. Sebagai manusia yang utuh, tentu komentar-komentar semacam ini langsung menyentuh dimensi emosional saya. Anda pun begitu, saya yakin, terlepas dari bagaimana setiap kita mengelola dimensi emosional itu untuk bereaksi. Maka saya bisa memahami mengapa atmosfir yang agak tajam itu terasa dalam kedua bab tersebut.
Sampai di sini, saya melihat ada semacam pesan implisit maupun pesan eksplisit dari PN sebagai pendiri Kompasiana bagi para Kompasianers. Pesan eksplisitnya adalah setiap Kompasianers bukan hanya perlu tahu tentang apa itu pewarta warga; bagaimana mendapatkan, mengelola, dan menyajikan tulisan yang baik, melainkan juga perlu mengembangkan dan memelihara interaksi yang sehat antar sesama Kompasianers. Dan pesan implisitnya adalah bahwa hal yang terakhir ini belum memuaskan, bahkan seperti yang kita ketahui bersama terus menerus muncul kecenderungan yang demikian yang menyentil emosi. Seakan-akan, PN ingin berkata: “Jangan rusak visi dan misi Kompasiana dengan interaksi destruktif semacam itu”.
Memang, mungkin akan selalu ada Kompasenars yang berperilaku destruktif saat berinteraksi dengan Kompasianers lain. Tetapi, seperti halnya PN dalam buku ini (hlm. 129-131), saya pun percaya bahwa di Kompasiana, ada lebih banyak Kompasianers yang bernetiket ketimbang yang tidak. Bukan hanya itu, ada lebih banyak Kompasianers yang memiliki niat untuk menjaga Kompasiana dari bahaya pengabaian netiket.
Saya rasa, bagi para Kompasianers sekalian yang bernetiket, dan berniat mempertahankan kelangsungan Kompasiana bahkan bersama PN membawanya menjadi sebuah wadah pewarta warga yang berprestasi dan berprestise, seruan untuk memiliki buku ini bukan lagi sebuah seruan yang perlu diperdebatkan, melainkan diresponsi secara positif.