Pertama, Lulung menuding Ahok bermotif pencitraan di balik semua gebrakannya terkait kisruh RAPBD yang kelihatannya akan bermuara di "hotel pordeo".
Kedua, Lulung mengklaim bahwa kisruh KPK vs Polri dan Ahok vs DPRD DKI Jakarta merupakan taktik komunis baru. Definisinya senderhana, komunis melakukan adu domba; ada adu domba; maka ini taktik komunis baru.
Ketiga, terkait ketidakberetiketan Lulung yang memotong-motong pembicaraan Ahok dan memprovokasi Ahok sehingga Ahok bersuara keras yang berujung bubarnya rapat mediasi tersebut serta makian-makian rasis serta merendahkan Ahok dari oknum-oknum DPRD, diklaim sebagai editan yang tentunya dimaksudkan memojokkan DPRD DKI Jakarta.
Perhatikan bahwa tiga jurus di atas tidak satu pun, saya yakin, yang bisa dibuktikan oleh Lulung. Bagaimana membuktikan motif pencitraan? Klaim kosong! Bagaimana membuktikan bahwa kisruh akhir-akhir ini adalah taktik komunis baru? Klaim kosong! Bagaimana membuktikan bahwa "omongan-omongan kami diedit sedangkan omongan dia yang comberan tidak diedit"? Klaim kosong lagi!
Jurus-jurus seperti di atas, biasanya digunakan sebagai umpan "ikan merah" untuk mengalihkan pandangan publik dari substansi masalahnya yaitu adanya penggelembungan dana yang tidak rasional di RAPBD DKI Jakarta. Dan sejauh ini, Ahok sudah memperlihatkan berbagai indikasi bersifat evidensial yang memperkuat posisi Ahok.
Bahkan dalam rapat mediasi tersebut, ketika Lulung secara tidak beretiket memprovokasi Ahok dengan memotong-motong giliran berbicaranya Ahok sambil menantang Ahok soal "ini hasil pembahasan", Ahok menjawab tantangan itu dengan meminta Pak Walikota memberikan testimoni soal UPS. Dan akhirnya, Lulung "berhasil" dalam provokasi berujung bubarnya rapat mediasi tersebut, karena kisruh itu membatalkan comberan yang sesungguhnya yang bakal disiram ke muka DPRD di hadapan publik pada waktu itu.
Pak Lulung, tiga jurus di atas adalah jurus-jurus celana tua yang sudah lapuk dan berguguran helai per helai dan akhirnya hanya menelanjangi isi kepala Anda yang sesungguhnya di hadapan publik. Shame on you!