Hari ini dua tulisan yang mendapat posisi terhormat di Kompasiana (HL) masing-masing ditulis oleh Kompasianers Ryan M dan Muhammad Armand. Saya pada dasarnya setuju dengan pesan umum dari tulisan Ryan mengenai kehati-hatian untuk menjaga tutur kata. Juga setuju dengan pesan umum dari tulisan Mohammad Armand soal teori psikologi yang digarisbawahinya. Tetapi, saya mendapati sejumlah pokok kritis yang perlu saya tanggapi pada bagian-bagian di bawah ini.
Tanggapan untuk Ryan M
Saya setuju separoh dengan Ryan M bahwa kata "anjing" yang digunakan dalam konteks makian untuk Ahok pada rapat mediasi berujung kisruh kemarin, adalah tidak etis. Bukan hanya itu, umpatan bergaung rasis juga terdengar dari mulut para anggota DPRD DKI Jakarta pada saat itu. Dan karena umpatan-umpatan ini terkait langsung dengan etika, maka harus ditolak pada kesempatan pertama!
Tetapi, saya tidak setuju dengan Ryan M yang menaruh ungkapan "nenek lu" dari Ahok pada level ketidaketisan yang setara dengan ungkapan "anjing" dari mulut oknum anggota DPRD di atas. Ryan M, tampaknya menggunakan jurus "pukul rata" di sini tanpa memperhatikan konteks penggunaan kata-kata itu. Dalam penelusuran saya, ada dua lapisan konteks yang mesti dipertimbangkan (baca di sini):
- Ahok menggunakan sebutan itu dalam sebuah catatan atau sebut saja coretan pribadi di atas kertas usulan dana sejumlah Rp. 8,8 triliun dari DPRD untuk sosialisasi pemahaman kepada masyarakat terkait SK-SK Gubernur.
- Entah apa pun maksud spesifiknya, lontaran itu adalah luapan kekesalan yang sangat beralasan. Beralasan karena dana sebesar itu masa' hanya mau digunakan untuk sosialisasi pemahaman terkait SK-SK? Sesuatu yang sangat absurd. Dan kekesalan itu juga memperlihatkan nurani yang tidak ingin dana sebesar itu terhambur untuk keperluan yang tidak substansial.