Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Tujuan Hukuman Mati; Tawaran Barter Australia; dan Posisi Indonesia

6 Maret 2015   13:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:05 260 15
Dalam artikel kemarin, saya sudah membahas tentang tiga pandangan mengenai hukuman mati: abolisionisme, eksepsionalisme, dan restriktivisme. Di perlihatkan di situ bahwa meskipun abolisionisme merupakan pandangan mayor saat ini, namun ini berlangsung secara gradual. Menurut sejarahnya, gerakan penghapusan hukuman mati digagas oleh Cesare Beccaria (1764) dalam sebuah risalahnya yang berjudul: Dei delitti e delle pene (Mengenai Kejahatan-kejahatan dan Hukuman-hukuman). Artinya, ini adalah perjuangan yang sudah berlangsung lebih dari 200an tahun. Hukuman mati, selain dianggap bertentangan dengan hak inheren individu untuk hidup, selalu dibombardir dengan kritikan-kritikan tajam terkait tujuan (objectives) pelaksanaannya.

Artikel ini dimaksudkan untuk membahas tiga teori mengenai tujuan pelaksanaan hukuman mati kemudian saya akan mempertimbangkan posisi Indonesia, khususnya polemik yang akhir-akhir ini memanas terkait eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkoba, dalam terang teori-teori ini.

Tiga teori

Di dalam hukum kriminal (criminal law) terdapat sejumlah teori mengenai tujuan hukuman (punishment) yang tiga di antaranya adalah: Teori absolut (teori retributif); teori relatif (teori preventif), dan teori unitarian.

Pertama, menurut teori absolut atau teori retributif, sebuah kejahatan pada dirinya sendiri (a crime itself) mengandung elemen-elemen yang menyaratkan prosekusi dan karenanya menjadi dasar dari penghukuman atas kejahatan tersebut.

Teori ini bisa dibagi lagi menjadi dua variasi, yaitu: a) retribusi subjektif yaitu retribusi yang diarahkan kepada kejahatan karena dianggap sebagai sesuatu yang hina/keji; dan b) retribusi objektif di mana retribusi itu semata-mata diarahkan kepada kejahatan yang sudah dilakukan.

Kedua, teori preventif atau teori relatif percaya bahwa penghukuman diperlukan dalam rangka memelihara keteraturan tatanan publik. Tujuan dari penghukuman adalah untuk mencegah (to prevent) munculnya kejahatan. Secara umum, upaya prefentif ini dimaksudkan agar setiap orang tidak merusak tatanan keteraturan dalam masyarakat, dan secara khusus mencegah para pelaku kejahatan untuk tidak melakukan lagi kejahatan di kemudian hari. Biasanya aspek: korektif, remedial, dan rehabilitasi dibicarakan dalam terang teori ini.

Dalam terang teori prefentif di atas, muncul sebuah teori spesifik yang lain yang disebut dengan the deterrence theory. Kita bisa menyebutnya "teori efek jera" karena menurut teori ini, hukuman dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut yang mencegah orang-orang untuk melakukan kejahatan lagi di kemudian hari.

Dan ketiga, teori unitarian merupakan kombinasi dari kedua teori di atas.  Teori ini percaya bahwa penghukuman dilakukan atas tujuan objektif (teori objektif) sekaligus untuk memelihara tatanan keteraturan dalam masyarakat (teori prefentif).

Posisi Indonesia

Berkait kasus "Bali Nine" eksekusinya mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak hingga kini, umumnya penolakan terhadap eksekusi mati tersebut lebih condong diarahkan kepada "teori efek jera" di atas. Mereka berargumentasi bahwa hukuman mati tidak membawa "efek jera" sebagaimana yang diharapkan. Berbagai studi sudah dilakukan bahwa efek jera tidak pernah menurutnkan prosentasi kejahatan. Spesifiknya di sini, menghukum mati para terpidana mati kasus narkoba tersebut, tidak akan banyak faedahnya jika ditinjau dari teori efek jera. Dan mereka benar!

Teori lain yang sering diacu juga untuk menolak hukuman mati bagi para terpidana mati kasus narkoba itu adalah teori remedial atau teori korektif. Hukuman mati dianggap menutup aspek remedial dan korektif itu sama sekali, khususnya bagi para pelaku kejahatan tersebut. Sekali lagi, mereka benar secara teoritis. Benar karena memang ketika seseorang dihukum mati, aspek korektif dan remedial bagi yang bersangkutan tereliminasi sama sekali!

Secara praktis, teori remedial di atas tidak sepenuhnya menjanjikan. Kenyataan di lapas-lapas di Indonesia, jumlah para kriminal yang "bertobat" (dalam arti sadar akan nilai korektif dan remedial dari hukumannya) tidak memperlihatkan angka yang signifikan. Misalnya, saya sudah menulis sebuah artikel dua hari yang lalu bahwa di berbagai lapas di Indonesia, para kriminal itu justru semakin menjadi-jadi kelakuan tak taat hukumnya. Mereka memiliki: HP, laptop, AC, dan alat-alat elektronik lainnya yang dilarang untuk mereka miliki selama menjalani masa hukuman. Para sipir penjara sendiri ikut bermain dalam bisnis haram tersebut. Bukan hanya itu, menurut laporan Badan Narkotika Nasional di awal tahun 2015, 60% bisnis narkoba dikendalikan dari dalam penjara. (baca di sini).

Itulah sebabnya, dalam interaksi saya akhir-akhir ini dengan para Kompasianers yang mengajak diskusi mengenai hukuman mati, saya menyatakan bahwa jika saya mengajukan pembelaan terhadap hukuman mati, saya tidak akan mengacu semata-mata kepada teori prefentif di atas.

Yang paling mendasar bagi saya adalah bahwa hukuman mati itu harus dilihat dari aspek objektifnya (retributif teori). Hukuman mati diterapkan bagi kejahatan-kejahatan yang pantas untuk dihukum mati yang disebut sebagai the most serious crimes dalam ICCPR.

Saya berharap akan menulis sebuah artikel lanjutan lagi berisi argumen-argumen saya mengenai legitimasi pelaksanaan hukuman mati bagi the most serious crimes dalam konteks Indonesia, karena di sini saya ingin segera meresponsi tawaran "barter"-nya Menlu Australia, Julie Bishop.

Tawaran Bishop

Bishop, seperti yang ditulis di Kompas.com, "...menawarkan untuk merepatriasi tiga warga Indonesia terpidana kasus narkoba dari Australia demi membatalkan pelaksanaan eksekusi terpidana mati Bali Nine. Namun, Pemerintah Indonesia tidak menerima tawaran tersebut." (sumber).

Sebelum melanjutkan, saya ingin Anda membaca reportase di Kompas.com yang linknya saya cantumkan di atas, karena di sini saya akan langsung memberikan argumen persetujuan terhadap penolakan pemerintah Indonesia terkait tawaran di atas.

Pertama, tawaran itu in a way merupakan sesuatu yang ironis. Ironis karena mereka yang menganut abolisionisme berargumentasi dari aspek moral bahwa hukuman mati "...reduced humanity to become a mere tool to reach an objective." Australia sebagai salah satu negara abolisionis, melalui pengajuan barter itu, persis melakukan apa yang menjadi kritikan dari mereka yang menganut abolisionisme terhadap pelaksanaan hukuman mati.

Kedua, mereka mengajukan penyesalan dari kedua terpidana mati itu sebagai bahan pertimbangan agar keduanya tidak dihukum mati. Di samping kita bergembira karena ada pelaku kejahatan yang bertobat, tetapi bertobat itu sendiri tidak meniadakan kejahatan yang sudah mereka lakukan. Mereka dihukum atas apa yang sudah mereka lakukan termasuk juga dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan narkoba yang dalam kata-kata saya: "bukan membunuh individu-individu, melainkan membunuh generasi-generasi di Indonesia!"

Dan ketiga, mereka mengajukan konsep pengampunan dan kasih. Ini juga ironis. Saya percaya, Australia dipengaruhi kuat oleh Kekristenan yang memang sangat menojol penekanannya akan pengampunan dan kasih. Tetapi, sebagai seorang teolog Kristen yang punya kualifikasi akademis dalam bidang ini, saya melihat argumen itu cacat. Mereka lupa bahwa Kekristenan membicarakan kasih dan pengampunan secara seimbang dengan pembicaraan mengenai keadilan. Kasih tidak meniadakan dan/atau mereduksi keadilan; juga sebaliknya keadilan tidak meniadakan dan/atau mereduksi kasih. Mengajukan kasih dan pengampunan demi mereduksi keadilan (dalam konteks ini tidak menghukum mati para pelaku kejahatan narkoba itu), berarti mereka tidak mempertimbangkan antinomi (ada beberapa teolog yang menyebutnya: paradoks) antara kasih dan keadilan!

Catatan kritis untuk Jokowi

Dalam reportase di atas, salah satu hal yang disentil juga adalah masalah safeguards yang memang merupakan customary international law (tradisi hukum internasional). Beberapa di antaranya:


  • Mereka masih sementara mengajukan banding atas putusan PTUN;
  • Jokowi menolak permohonan grasi itu secara massal, bukan case by case bahkan sebelum pengajuan grasi itu dikemukakan, Jokowi sudah melontarkan bahwa ia tidak akan memberikan grasi bagi para terpidana kasus narkoba tersebut.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun