Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Mathetes/Mathetai: Profesor Wilkins, Profesor Ehrman, dan Profesor Evans

16 Desember 2014   10:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:13 661 5
Sebagian besar dari Anda mungkin tidak familiar dengan kata mathetes. Tidak perlu risau karena sebenarnya ini hanyalah sebuah kata bahasa asing yang makna serta fenomenanya telah Anda ketahui dan lihat sehari-hari. Tetapi, yang mungkin belum Anda sadari adalah signifikansi penting dari konsep mathetes. Itulah sebabnya saya menuliskannya di sini.

Tulisan ini akan diawali dengan hasil riset Profesor Michael J. Wilkins mengenai makna kata mathetes dalam sejarah Hellenisme (lih. Catatan referensi di akhir tulisan ini). Lalu, saya akan menggarisbawahi signifikansi dari nilai pedagogis dari kata mathetes. Siginifikansi ini secara khusus akan dibahas dalam konteks argumen pembelaan terhadap reliabilitas (kehandalan) potret Perjanjian Baru, secara khusus Kitab-kitab Injil mengenai Yesus sejarah (the historical Jesus). Kemudian, saya akan mengakhirinya dengan menegaskan beberapa poin penting mengenai menjadi mathetes yang baik.

Saya tahu bahwa Anda bisa saja memiliki sejumlah alasan, atas dasar presuposisi-presuposisi keagamaan Anda, untuk tidak setuju dengan signifikansi kata mathetes yang saya garisbawahi di sini. Itu tidak masalah. Tetapi saya mendorong Anda untuk terus membacanya hingga selesai karena Anda sangat mungkin akan setuju dengan sejumlah poin penting yang saya tarik dari pembahasan ini mengenai menjadi mathetes yang baik. Namun, karena poin yang terakhir ini akan menjadikan tulisan ini sangat panjang, maka saya meminta kesabaran Anda untuk menantikan ulasannya pada sebuah tulisan tersendiri di kesempatan berikutnya.

Riset Wilkins

Wilkins menggarisbawahi bahwa kata mathetes (bentuk jamaknya: mathetai) adalah kata bahasa Yunani yang dalam sejarah Hellenisme, digunakan kurang lebih dalam tiga makna yang saling terkait namun memiliki cakupan yang sedikit berbeda satu sama lain. Pertama, kata ini digunakan dalam arti umum yaitu "pembelajar" atau "orang yang belajar [dari sesuatu atau seseorang]" (learner). Kedua, kata ini digunakan dalam arti yang lebih spesifik yakni “penganut” atau “pengikut” (adherent) suatu ajaran tertentu atau seorang filsuf/filsafat tertentu. Dan ketiga, lebih spesifik lagi, kata ini digunakan dalam arti “murid dari sebuah institusi pendidikan” semisal Akademos, universitas pertama di dunia yang didirikan di Athena.

Selanjutnya, Wilkins memperlihatkan bahwa ketika Kekristenan muncul pada abad pertama Masehi, kata mathetes dan atau bentuk jamaknya mathetai digunakan dalam arti yang lebih teknis dengan rujukan kepada mereka yang percaya kepada Kristus. Itulah sebabnya mereka disebut murid-murid (mathetai) Kristus. Tetapi, di dalam kandungan terminus technicus ini, terkandung asumsi mengenai relasi pedagogis pada masa itu. Mengenai hal ini, akan menjadi jelas ketika saya menjelaskan ulang argumen dari Profesor Evans di bawah.

Craig A. Evans vs Bart D. Ehrman

Sekadar memperlihatkan konteksnya. Evans mengemukakan hasil risetnya mengenai mathetes dalam konteks perdebatannya dengan Profesor Bart D. Ehrman dalam tajuk: Does the New Testament present a reliable potrait of the historical Jesus? Perdebatan ini berlangsung di St. Mary’s University tanggal 19-20 Januari 2012.

Ehrman menjawab pertanyaan di atas secara negatif, Tidak! Ia memperlihatkan dengan gamblang mengenai sejumlah diskrepansi dan kontradiksi historis yang ia temukan dalam Kitab-kitab Injil mengenai tutur kata dan perbuatan-perbuatan Yesus yang dikisahkan di sana. Ia menyimpulkan bahwa Kitab-kitab Injil mengandung informasi historis yang bermanfaat untuk studi mengenai Yesus sejarah, namun secara umum, karena adanya diskrepansi dan kontradiksi tersebut, kitab-kitab Injil tidak dapat dianggap sebagai sumber historis yang handal mengenai Yesus sejarah.

Di sisi lain, untuk pertanyaan sebagai tajuk debat di atas, Evans menjawabnya secara positif, Ya! Evans mengakui bahwa Kitab-kitab Injil mengandung sejumlah kesulitan semisal diskrepansi dan kontradiksi historis jika dipandang dari perspektif historiografi modern. Tetapi Evans menandaskan bahwa ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah ketidakhadalan (unreliability). Evans mengingatkan bahwa Kitab-kitab Injil tidak ditulis dari perspektif historiografi modern, melainkan historiografi kuno. Jadi menuding PB tidak handal secara historis karena “bermasalah” dipandang dari perspektif historiografi modern, merupakan sebuah tudingan yang anakronistik. Tidak sesuai jaman!

Argumen Evans

Untuk menunjang klaim di atas, Evans berargumentasi bahwa para penulis Injil adalah para mathetai (learners). Menurut konteksnya, kata ini menandai relasi pedagogis: guru-murid. Dan dalam konteks pedagogis Hellenistik yang mempengaruhi juga konsep pedagogi Yudaisme abad pertama, para murid memiliki fleksibilitas yang cukup luas untuk, misalnya: mengedit, mengubah urutan, memperluas, mempersingkat, dsb., pengajaran dari seorang guru. Ingat, gelar Yesus yang sangat menonjol dalam potret kitab-kitab Injil, salah satunya, adalah Guru (Yun.: didaskalos). Semua ini dilakukan untuk tujuan pedagogis, yaitu meneruskan atau menurunalihkan pengajaran Sang Guru dalam konteks yang baru atau kepada generasi selanjutnya.

Bagi Evans, Ehrman bersama dengan mereka yang menuding kitab-kitab Injil berkontradiksi secara historis, sebenarnya mengasumsikan asumsi yang salah mengenai para penulis kitab Injil. Mereka yang menuding demikian sering mengklaim, misalnya saja: Injil Matius menyatakan 1-2-3, sementara Markus menyatakan 1-3-2. Logika historisnya adalah keduanya dapat sama-sama salah, tetapi keduanya tidak dapat sama-sama benar. Jika salah satunya benar, maka yang satunya lagi salah. Klaim seperti ini adalah misrepresentasi dari natur relasi pedagogis pada masa itu. Seorang murid pada masa itu, memiliki fleksibilitas (bahkan diharapkan oleh gurunya) untuk menarik implikasi, aplikasi, serta signifikansi dari pengajaran gurunya dalam konteks yang baru. Dan untuk melakukan demikian, sang murid dapat mengedit, mengubah urutan, mempersingkat, memperluas, melakukan parafrase, dsb., terhadap isi pengajaran original dari sang guru! Contoh aktual dari jaman itu yang diperlihatkan Evans adalah sebuah genre penulisan Greco-Roman (Yunani-Romawi) yang disebut khreia. Menariknya, kitab-kitab Injil pun mengandung sub-genre ini dalam banyak bagian!

Dengan kata lain, concern dari historiografi modern mengenai ketepatan kronologis ditransfer sebagai beban kepada para penulis Injil untuk diikuti. Padahal para penulis kitab Injil menggunakan kaidah-kaidah historiografi kuno, lebih spesifik lagi, kaidah relasi pedagogis di atas yang tidak mengharuskan kaidah historiografi modern tersebut!

Itulah sebabnya, hari ini kita memiliki empat kitab Injil. Bukan karena keempatnya menyajikan Injil (kabar baik mengenai Yesus Kristus) yang berbeda, melainkan bahwa keempatnya menarik signfikansi atau penekanan yang berbeda dari Injil yang sama yang diajarkan oleh Yesus Kristus dalm konteks serta penekanan yang berbeda!

“Harapan-harapan” yang Salah

Dalam konteks sejarah pedagogis di atas, tudingan bahwa kitab-kitab Injil mengandung kontradiksi historis maka tidak benar dan karena tidak benar maka tidak handal dan karena tidak handal secara historis, sebenarnya bukan hanya merupakan sebuah misrepresentasi genre, melainkan juga mengandung “harapan-harapan” yang salah mengenai penulisan kitab-kitab Injil.

Kita tidak dapat mengharapkan para mathetai pada masa itu untuk menulis seperti sebuah tape recorder atau empat rekaman dengan isi yang sama persis mengenai pelayanan dan pengajaran Yesus. Kita juga tidak dapat menuntut mereka untuk sekadar berfungsi sebagai transcribers (para penyalin) yang semata-mata mengutip verbatim demi verbatim (mere reciters) pengajaran Yesus. Mereka dapat mengeditnya, memperluas, mempersingkat, mengubah urutan demi penekanan tertentu, dsb., untuk tujuan pedagogis. Dan sebagai informasi, tujuan pedagogis adalah salah satu tujuan mayor dalam penulisan kitab-kitab Injil.

Mungkin, mereka yang mengklaim tudingan di atas mengelak bahwa mereka tidak mengharapkan demikian. Tentu saja mereka harus mengelak dari “harapan-harapan” di atas karena mereka tahu persis bahwa harapan-harapan itu hanya ilusi. Harapan-harapan ini adalah ilusi karena semua pengajar dari jaman ke jaman hingga saat ini dan seterusnya, mengharapkan para muridnya untuk bukan sekadar mengulangi kembali secara persis pengajaran para pengajar, melainkan lebih penting lagi mereka memperluas, mengevaluasi, menarik implikasi dan signfikansinya, serta melakukan parafrase dsb., sesuai dengan konteks baru yang mereka hadapi. Jika kita berharap para penulis Injil menyajikan kisah dalam urutan yang sama persis dengan kata-kata yang sama persis, sebenarnya kita mengharapkan mereka menjadi tape recorder dan bukan para penulis sama sekali!

Tetapi, ketika Ehrman dan mereka yang lain datang kepada kitab-kitab Injil lalu menyematkan tudingan tersebut di atas, secara logis mereka mengasumsikan bahwa seharusnya isi dari kitab-kitab Injil sama persis atau setidaknya identik satu sama lain. Karena tidak sama persis dan atau tidak identik satu sama lain, maka mereka mengklaim adanya diskrepansi dan kontradiksi. Mereka tidak harus mengakui bahwa mereka membawa harapan-harapan yang salah itu kepada kitab-kitab Injil. Fakta bahwa mereka mengklaim demikian adalah saksi tak terbantahkan bahwa mereka memang membawa harapan-harapan tersebut! Dan sekali lagi, sayangnya, harapan-harapan itu adalah ilusi semata.

Kitab-kitab Injil adalah potret, bukan pas foto Yesus!

Referensi:

**** Michael J. Wilkins: The Concept of Disciple in Matthew’s Gospel as Reflected in the Use of the Term Mathetes (Leiden: Brill, 1988). Buku ini dikembangkan dari disertasi Ph.D Wilkins (1986) di bawah bimbingan Profesor Ralph P. Martin, Profesor Donald Hagner, dan Profesor Jack Dean Kingsbury. Wilkins sendiri adalah Professor in the Departement of the New Testament Language and Literatur di Talbot School of Theology.

**** Sebagai informasi, salah satu buku Erhman yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia berjudul: Misquoting Jesus. Buku ini ditulis dari perspektif studi kritik teks Perjanjian Baru (New Testament Textual Criticism). Begitu juga, salah satu buku Evans yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah: Merekayasa Yesus (Fabricating Jesus; penerbit Andi Offset). Evans menulis buku ini untuk menjawab sejumlah serangan para pakar PB yang skeptis terhadap Yesus dan PB. Kedua profesor ini sama-sama memiliki kredibilitas akademis yang sangat diakui luas dalam studi PB. Ehrman adalah seorang pakar PB yang agnostik, sedangkan Evans adalah pakar PB yang menjunjung otoritas Alkitab.

**** Mengenai khreia yang disinggung Evans di atas, jika Anda tertarik memperdalam mengenai genre ini, saya merekomendasikan salah satu tulisan pengantar yang singkat namun sangat informatif yang ditulis oleh: Vernon K. Robins, “The Chreia,” in David E. Aune (ed), Greco-Roman Literature and the New Testament: Selected Forms and Genres (Atlanta, Georgia: Scholars Press, 1988), 1-24.

**** Beberapa referensi penting mengenai keandalan historis (historical reliability) dari Perjanjian Baru, antara lain: Richard R. Bauckham, Jesus and the Eyewitnesses: The Gospels as the Eyewitness Testimony (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2006); Craig L. Blomberg, The Historical Reliability of the Gospels (Downers Grove, Illinois: IVP, 1987); Craig L. Blomberg, Jesus and the Gospels (Leicester: Apolos, 2007); dll.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun