Saya akan kembali ke soal "ampas" di atas nanti karena sebelumnya saya ingin menandaskan paradigma berikut.
Secara esensi, kekayaan atau kemapanan material itu tidak memiliki nilai apresiatif pada dirinya sendiri. Kekayaan dan kemapanan itu di dalamnya terkandung nilai-nilai (values). Nilai-nilai semisal: kerja keras, kejujuran, ketekunan, belas kasihan, kebenaran (dalam arti bersesesuaian dengan hukum yang ada), dsb., yang memberikan nilai apresiatif terhadap kekayaan dan kemapanan material.
Itulah sebabnya, orang biasanya meliput misalnya dalam bentuk wawancara terhadap orang-orang kaya untuk mengorek nilai-nilai apa yang dapat ia teladankan kepada publik. Ia tidak diapresiasi semata-mata karena ia kaya. Ia diapresiasi karena kandungan nilai-nilai itu di dalam kekayaannya!
Sebaliknya, ketiadaan nilai-nilai tersebut dalam kekayaan seseorang, akan mendatangkan cemoohan. Sama seperti di atas, ia dicemooh bukan karena ia kaya. Ia dicemooh karena ketiadaan nilai-nilai di dalam kekayaannya. Misalkan saya foto US dollar segepok atau setumpuk emas batangan yang saya klaim sebagai milik saya lalu saya masukan dalam tulisan saya. Tetapi kalau itu hasil judi, korupsi, penipuan, perampokan, dsb., saya sangat yakin anda akan mencemooh saya, terlepas dari mungkin di belakang anda bisikin, "Jangan lupa bagian ane." Hahahaha.
Dari aspek pedagogis dan keteladanan sosial, publik tidak sekadar memerlukan informasi bahwa, misalnya, saya kaya raya. Yang diperlukan publik adalah bagaimana saya menjadi kaya dan bahkan bagaimana saya menggunakan kekayaan saya. Tanpa itu, saya hanya menyodorkan ampas hambar yang tidak dapat menimbulkan decak kagum di lidah publik.
Tunggu dulu. Yang saya tulis di atas adalah paradigma yang seharusnya. Faktanya, ada yang memang berdecak kagum semata-mata ketika berhadapan dengan presentasi kekayaan. Mereka, dari sudut pandang di atas, semisal orang-orang yang mendecak lezat ketika yang dicicipinya adalah ampas hambar. Sebuah absurditas yang dinikmati bersama dengan para penyuap ampas hambar itu.
Para penyodor ampas hambar itu, pada saat yang sama, dalam kasus tertentu, bisa jadi sedang hidup dalam legenda di kepala mereka sendiri. Bisa jadi ia membuat akun pseudonim untuk menyembunyikan karakter aslinya, misalnya ia sedang mendekam di penjara akibat korupsi atau jenis kejahatan lainnya. Ini menjadi menarik karena kalau anda buru-buru mendecak kagum semata-mata untuk presentasi kaya rayanya seseorang yang tidak anda kenal, bisa jadi anda bukan saja ibarat mencicipi ampas hambar yang cocok dinikmati babi, melainkan juga anda ibarat mencicipi ampas sambil diberitahu bahwa anda sedang makan keju dan coklat fondue. Dan lebih memprihatinkan lagi, anda percaya itu.
Maka, andaikan saja besok saya mempublikasikan tulisan yang isinya pengungkapan secara eksplisit bahwa saya kaya raya, anda tidak perlu kehilangan kesempatan untuk menggelitik diri anda dengan pertanyaan: "Then what? Apakah anda pikir kami ini sekelas babi yang cocoknya mengunyah ampas-ampas kelapa?" Tidak terlalu mengejutkan karena untuk menyodorkan ampas itu, saya mungkin saja sudah menjadi penikmat ampas terlebih dahulu. Maka either saya mau membuat anda menjadi penikmat ampas atau saya menganggap anda suka menikmati ampas hambar.
Sekarang saya berharap anda mulai menyadari bahwa in a way, saya "melecehkan" anda kalau saya pamer kemapanan tanpa how to nya di sini!