Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Pilihan

Menafsir Tipologi "Esensi bukan Sensasi!" [Kompasiana & Kompasiana TV]

31 Januari 2015   14:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:03 236 13
Berhubung ini akhir pekan, saya mengajak kita sedikit berefleksi tentang pentingnya pengenalan akan diri sebagai Kompasianers di Kompasiana.

Beberapa kali saya menonton rekaman Kompasiana TV di youtube dengan mengusung slogan: esensi bukan sensasi! Slogan yang sangat menarik. Intonasi serta determinasinya adalah sesuatu yang substansial, isi, dan inti. Bukan luapan euforia nan emosional. Bukan fenomena melainkan noumena jika menggunakan kategori Kant. Bukan hura-hura. Bukan kulit luar saja. Dan seterusnya!

Dari segi keindahan rima pun, rasa bahasanya sangat selaras yang terparalel antara kata esensi dan sensasi!

Terbentur konten

Untuk sejenak saya ingin menyimpan kekaguman saya akan slogan di atas karena kerutan dahi saya menandakan ada sesuatu yang "hilang" di situ. Untuk media seperti ini, mungkinkah unsur sensasi itu dapat ditiadakan sama sekali? Rasanya sulit menjawab positif di sini.

Slogan di atas terbentur oleh konten Kompasiana sendiri. Diversitas serta kekayaan konten tulisan di Kompasiana, termasuk di dalamnya tulisan-tulisan hiburan (yang imply-nya mengandung juga unsur sensasi) sulit untuk dianggap tidak menolak slogan di atas jika dipahami bahwa esensi bukan sensasi berarti hanya esensi dan tak ada sensasi!

Pasti bukan itu! Lalu apa? Akan saya jawab nanti, tapi saya masih ingin menyorot satu isu penting lain di Kompasiana. Masih terkait erat tentunya.

Hanya hiburan

Tipologi hanya hiburan tampaknya terkandung di dalamnya unsur sensasi yang merupakan kebalikan dari intonasi slogan di atas. Sayangnya, justru tipologi "terbalik" inilah yang sering secara salah kaprah (kesalahan yang dilakukan berulang hingga terdengar benar) dibunyikan baik dalam bentuk tulisan maupun komentar dari para Kompasianers tertentu.

Mereka sering menyatakan, "Wong di Kompasiana ini cuman cari hiburan koq, ngapain yang sulit-sulit." Tak jarang pula, mereka menelorkan protes terbuka dalam bentuk tulisan untuk menolak tulisan-tulisan yang dianggap sulit. Nama Einstein pun terseret di situ karena Einstein pernah menyatakan bahwa seorang ilmuwan harus dapat menyederhanakan ilmunya. Sayangnya mereka lupa bahwa teori Einstein sendiri bukan teori yang gampang dipahami!

Ketika yang gampang dipakai sebagai acuan menolak yang sulit atas nama mencari hiburan, sebenarnya mereka sedang menjadikan sesuatu yang sifatnya selera atau pilihan (preference) menjadi sesuatu yang normatif (normative). Padahal untuk area ini, berlaku pepatah Latin yang telah beberapa kali saya kutip: de gustibus non est disputandum. Soal selera, mestinya tak perlu ada perbantahan!

Misalnya, saya tidak suka tulisan-tulisan yang tak jauh-jauh dari bagian selangkangan dan dada seakan-akan seks itu direndahkan nilainya (value) lalu dijadikan komoditas untuk menarik minat banyak pembaca; juga saya tak suka membaca tulisan-tulisan dengan kata-kata bersayap (bukan puisi karena saya suka puisi). Tetapi who cares dengan ketidaksukaan saya? Saya tak perlu nyinyir apalagi protes ke Admins. Sejauh itu dianggap Admins tidak melanggar ToC. Silakan saja!

Anda juga bisa menyatakan bahwa Anda tidak suka tulisan-tulisan Nararya yang mayoritas sulit dengan kandungan istilah-istilah teknis. Saya tidak memaksa Anda untuk menyukai tulisan-tulisan saya. Saya tidak pernah menyeret Anda untuk mampir di tulisan-tulisan saya. Dan saya juga tidak akan protes hanya karena Anda tidak menyukai tulisan-tulisan saya. Tetapi, saya pasti akan mendebat Anda jika Anda menjadikan selera Anda patokan agar saya menulis sesuai selera Anda.

Sederhananya begini. Kalau Anda tak suka atau tak berselera membaca tulisan-tulisan tipikal tertentu, abaikan saja. Kalau itu terasa mengganggu bagi Anda secara pribadi karena muncul melulu di dashboard, ya unfriend saja. Anda tidak perlu menciptakan rasa bersalah palsu jika itu mengganggu kenyamanan Anda bukan.  Hal inilah yang saya lakukan. Apakah ini tidak sejalan dengan sharing and conecting? Sederhana saja. Anda bukan kolektor pertemanan dan Anda juga tidak wajib sharing and conecting dengan tulisan-tulisan atau Kompasianers yang membuat Anda sengsara kan?! Kita tidak perlu berpura-pura saling menyukai. We are not going to married!

Saya kira salah kaprah di atas, harus dihentikan di Kompasiana. Soal selera, sekali lagi, tak ada perbantahan!

Tafsir diri

Kembali ke slogan di atas. Jika unsur esensi tak dapat dielakkan sama sekali, maka akan lebih representatif jika kita memahaminya dalam kategori bukan hanya - melainkan juga! Bukan hanya esensi, melainkan juga sensasi. Tanpa sensasi, mungkin akan kurang daya tarik dan cita rasanya. Tetapi tanpa esensi, kita hanya menikmati penyedapnya saja tanpa kandungan gizi yang sesungguhnya.

Saya menyebut ini sebuah tafsir diri. "Diri" yang saya maksudkan di sini adalah "Kompasiana" yang di dalamnya kita ada dengan sebutan sebagai "Kompasianer". Sebutan ini adalah sebuah identifikasi dan asosiasi. Kita diidentifikasi sebagai bagian integral dari Kompasiana. Dan sebagai bagian integral dari Kompasiana, kita terasosiasi dengannya. Maka berhati-hatilah menulis, karena sebagai Kompasianers, nama Kompasiana bisa terbawa-bawa jika ada ekses negatif di dalam tulisan-tulisan kita.

Saya percaya tafsir diri seperti ini penting. Penting karena ia merupakan bagian dari pengenalan akan diri, sebuah proses dan upaya yang sangat sulit sekaligus sangat signifikan dalam hidup ini di mana pun kita berada. Sebegitu pentingnya pengenalan akan diri, sehingga ribuan tahun yang lampau, Sokrates sudah berkeliling ke jalan-jalan kota di Yunani sambil meneriakkan: γνῶθι σεαυτόν (gnothi seautonkenalilah dirimu sendiri). Padahal ia sudah mengetahui lontaran seorang filsuf Yunani sebelumnya bernama Thales: "Hal tersulit dalam hidup ini adalah mengenal diri sendiri".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun