Di samping beberapa bidang yang lain semisal: teologi, filsafat secara umum, bahasa, sejarah, dan pendidikan, bisa dikatakan seluruh tulisan saya ditulis dengan menggunakan logika sebagai dasarnya. Logika yang saya maksudkan di sini adalah hukum-hukum penalaran atau prinsip-prinsip penarikan kesimpulan yang sah dan benar. Logika itu universal. Ia berlaku dalam semua bidang kepakaran termasuk dalam keputusan-keputusan praktis dan perilaku sehari-hari.
Tidak heran, saya bisa masuk ke kanal mana pun dengan menggunakan logika!
Hal yang membanggakan bagi saya secara pribadi adalah saya melihat bahwa kontribusi saya ternyata menembus lapisan-lapisan konteks yang tidak saya sadari sebelumnya.
Pertama, bagi para Kompasianers yang sering membaca tulisan-tulisan saya, mereka mengaku mendapatkan panduan bermanfaat dalam hal berpikir rasional dan merumuskan gagasan tulisan yang bebas fallacies.
Kedua, bagi Kompasiana sebagai wadahnya sendiri. Saya tidak mengatakan belum ada sama sekali sebelum kehadiran saya hingga kini. Namun, setahu saya sejak kehadiran saya di Kompasiana, nuansa logika menjadi intonasi penting di sini. Sebutan semisal, "sesat pikir" mulai sering digunakan baik di dalam tulisan maupun di judul-judul tulisan, entah dengan tujuan candaan, afirmatif, maupun resistensif. Dalam tujuan seperti apa pun, ini mengindikasikan bahwa "pesan" saya telah nyantol di benak banyak Kompasianers terlepas dari apakah mereka sependapat atau tidak dengan saya.
Ketiga, saya ingat persis bahwa saya lebih sering nangkring di kanal Humaniora. Ini adalah kanal kesukaan saya walau di kanal ini bisa dikatakan sepi pembaca karena memang Kompasiana sendiri harus diakui tidak terlalu sering menonjolkan kanal ini di Headline maupun Trending Article. Tidak mengapa. Jumlah pembaca, bukan kriteria penting bagi saya secara pribadi.
Yang ingin saya katakan, dua momen besar sejak kehadiran saya di Kompasiana yang menarik saya "meninggalkan" kanal Humaniora dan hijrah sementara ke kanal politik.
Momem yang pertama adalah momen Pilpres tahun lalu (2014). Saya berkali-kali memosting tulisan dengan integrasi antara logika dan politik di kanal yang terkenal "ganas" itu. Saya membela Jokowi-JK, termasuk mengkritik keabsahan pencapresan Prabowo saat itu. Saya senang Jokowi-JK menang di Pilpres tersebut.
Setelah itu saya kembali ke kanal Humaniora. Saya menikmati memosting tulisan-tulisan di sub-kanal: filsafat, bahasa, pendidikan, dan sesekali Sosbud.
Pada awal tahun 2015, ketika mulai kisruh soal pencalonan BG, saya pun hijrah lagi ke kanal politik. Juga dengan integrasi logika dan politik. Kali ini, situasinya sangat rumit dan saya juga memasuki sebuah area spesifik yang baru yang mau tidak mau saya harus familiar dengannya yaitu sub-kanal hukum.
Saya ingat persis, saya sempat mengontak profesor John Lennox di Cambridge University yang tulisannya beberapa waktu lalu saya bahas untuk membabat The Grand Design-nya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow. Saya memintanya untuk merekomendasikan seorang pakar yang mengerti baik soal legal argumenation (argumentasi hukum). Lennox pun merekomendasikan Douglas Walton, seorang pakar argumentasi hukum di Windsor University, Kanada.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran Walton, saya pun memosting sejumlah tulisan di kanal hukum dengan intonasi utamanya adalah logika yang teraplikasi secara khusus dalam bentuk argumentasi hukum.
Sebelum mengontak Lennox, saya sudah sempat mengontak profesor Richard Bauckham yang pernah menulis buku: Jesus and the Eyewitnesses Testimony. Dari beliau saya diarahkan kepada tulisan-tulisan Paul Riceour, seorang filsuf asal Prancis yang banyak berkontribusi dalam bidang teologi, politik, sosbud, dan edukasi. Dari Riceour, lahirlah sejumlah tulisan saya mengenai filsafat testimoni, khususnya dalam hubungan dengan kisruh Sawito-AS-Hasto, termasuk juga mengenai para saksi di sidang praperadilan BG.
Hijrah saya yang kedua kali ke kanal politik ini memberikan kesan tersendiri bagi saya. Berkali-kali bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari dalam satu bulan terakhir ini, tulisan-tulisan saya di-HL oleh Admins. Tetapi bukan itu yang paling menyenangkan. Yang paling menyenangkan sekaligus membanggakan adalah pada akhirnya Jokowi membatalkan pelantikan BG.
Saya sempat agak pesimis ketika putusan praperadilan itu memenangkan BG yang dalam komparasi logisnya, seharusnya dimenangkan oleh KPK. Banyak pakar hukum yang senada dengan komparasi logis tersebut. Semoga KPK menempuh Peninjauan Kembali ke MA. Dalam kondisi psikologis yang hampir pesimis itu, saya sempat menulis sebuah seruan getir kepada Jokowi. Dan nyatanya, hari ini Jokowi membuktikan dirinya sebagai "Pemimpin Bertaring"!
Saya tidak menyatakan bahwa saya adalah orang yang satu-satunya berkontribusi di sini. Mayoritas tulisan-tulisan di kanal politik sudah pasti berkontribusi besar. Yang ingin saya katakan adalah saya ikut memberikan kontribusi di sini dengan integrasi antara logika dan politik!
Masih ada satu isu lagi yang saya ingin terlibat di dalamnya di kanal politik, yaitu desakan PM Australia terhadap pemerintah Indonesia berkait dua warga mereka yang akan dieksekusi mati. Berharap, mulai besok saya akan fokus ke isu ini. Mungkin setelah itu, saya akan kembali ke kanal hening saya, Humaniora!
Senang rasanya bisa menggoreskan luapan sukacita ini dengan mengenang kembali kiprah serta kontribusi pengawalan saya secara logis terhadap Presiden yang sayang dukung siang dan malam, Joko Widodo. Lebih dari itu, ini adalah bukti kecintaan saya terhadap Indonesia, Negeri tercinta yang di dalamnya Tuhan telah menitipkan kita.
Salut buat Jokowi; Jayalah Indonesia Raya. Sampai di sini Tuhan sudah menolong. Ebenhaezer!