Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Patung "Berhala" Di Negeri Putri Malu

24 Februari 2015   19:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:35 331 14
Saya tertarik membaca sejumlah reportase di Kompas.com mengenai polemik patung yang didesain oleh seniman rupa Wayan Winten atas sokongan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan pakan ternak PT Sekar Laut Sidoarjo.

Di satu sisi, saya menghargai tafsiran sejumlah ormas Islam di Sidoarjo bahwa patung berbentuk manusia itu pasti merupakan berhala. Itu hak mereka. Setiap pemeluk agama berhak meyakini apa pun yang diajarkan agamanya. Dan di dalam Negara penganut sistem demokrasi ini, setiap warga Negara berhak menyuarakan pendapatnya, tentu dalam koridor yang sepatutnya.

Di sisi lain, berangkat dari prinsip demoktratis di atas pula, mestinya diberi ruang ekspresif yang sama bagi warga Negara lainnya untuk menuangkan karya mereka sepanjang itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan UU yang berlaku di Negara ini.

Fenomena yang terlihat di Sidoardjo adalah keyakinan dari sejumlah ormas itu kemudian melahirkan tekanan bagi pemerintah, dan mirisnya, pemerintah Sidoarjo sendiri "pasrah" membiarkan diri ditekan. Ini bagi saya merupakan sesuatu yang memprihatinkan.

Sebenarnya saya agak heran, karena jika protes ketidaksetujuan itu dilakukan secara normal, rasanya tidak mungkin menghasilkan efek "pasrah" pada pemerintah. Kalau sekadar mengungkapkan ketidaksetujuan, tidak logis bagi pemerintah Sidoarjo untuk tidak berkutik dalam mengambil perannya guna mengingatkan setiap pihak untuk secara proporsional menggunakan hak suara dan hak berkarya mereka. Para seniman itu bahkan mengkhawatirkan akan terjadi konflik horizontal jika tuntutan ormas-ormas itu tidak dituruti. Apakah ada ancaman atau setidaknya rasa keterancaman dan pemerintah Sidoarjo melempem bak daun putri malu tersentuh? Entahlah!

Dari aspek logika, saya tidak melihat alasan yang rasional di balik protes sejumlah ormas tersebut. Sekali lagi, mereka boleh percaya bahwa patung berbentuk manusia sempurna itu inherently berhala. Tetapi mereka tidak dapat memaksakan pemaknaan tersebut untuk setiap karya seni dalam bentuk seperti itu ketika karya seni itu memang tidak dimaksudkan untuk tujuan pemberhalaan.

Logika yang dibangun oleh ormas-ormas itu dapat direkonstruksi sebagai berikut:


  1. Ormas-ormas itu percaya bahwa A = berhala;
  2. Seniman membuat A BUKAN sebagai berhala;
  3. Ormas-ormas bersikeras A yang dibuat oleh seniman HARUS bermakna berhala;
  4. Kesimpulan: A yang dibuat seniman = berhala.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun