Yah, aku positif hamil tak lama setelah menikah. Dari hasil berkonsultasi dengan bidan yang memeriksaku, anak pertamanku diperkirakan lahir tanggal 6 September 2009. Dan setelah aku lihat kalender, itu bertepatan dengan bulan ramadhan. Aku lihat juga, 6 September itu hari minggu, jadi aku putuskan mulai ambil cuti tanggal 7 September saja. Dengan harapan, aku akan punya waktu lebih lama menikmati kebersamaan dengan anakku sebelum masuk kerja lagi.
4 September, bertepatan dengan hari Jumat, hari terakhir aku harus masuk kerja sebelum mengambil cuti panjang. Aku tidak berpuasa, sehingga tidak harus bangun pagi-pagi untuk makan sahur. Terbangun jam 5, aku segera ke kamar mandi. Rutinitas pagi selalu diawali dengan memenuhi panggilan alam, lalu dilanjut memenuhi panggilan Tuhan untuk sholat subuh. Namun pagi itu jadi lain, karena aku temukan noda darah dalam celana dalamku. Sebelumnya aku tak merasa dari dalam tubuhku keluar sesuatu.
Segera aku telpon bidan yang biasa menanganiku. Bidan itu menyarankan aku segera ke poliklinik untuk diperiksa dan memastikan kondisiku.
Aku ajak ibu untuk menemaniku. Kebetulan sudah seminggu ini beliau menginap di rumahku. Menjagaku dan menunggu kelahiran cucunya.
Sesampai di klinik, bidan segera memeriksaku. "Buka 3" demikian hasil pemeriksaannya. Dia menyarankan aku untuk banyak berjalan-jalan di seputar kompleks klinik. Katanya juga sebentar lagi aku akan merasakan mulas di perutku, jangan ditahan sakitnya.
Sekitar jam 10, aku diperiksa lagi. Masih tetap buka 3. Kata bu bidan, bukaannya sampai 10. Kalau dah sampai 10 artinya anakku dah siap lahir. Hah, masih kurang 7 lagi dong kalau begitu.Bu bidan menyarankan aku untuk minum minuman bersoda, dengan harapan akan terjadi kontraksi.
Jam 3, kembali aku diperiksa. Eh, nggak nambah juga. Masih tetap 3. Aduh anakku kenapa kamu nggak maju-maju posisinya. Apa kamu mau nunggu papamu pulang? Saat itu, kebetulan suami masih bertugas di Sumatra. jadi saya hanya ditemani ibu dan bapak. Sepanjang sisa sore itu akhirnya saya habiskan dengan berjalan-jalan. Sekalian mengantar ibu mencari makanan untuk buka puasa. Sebentar-sebentar saya merasakan punggung saya pegal luar biasa dan perut saya sakit. Kata ibu, itu biasa, artinya anakku udah mau nongol.
Jam 7 malam, aku kembali diperiksa. Oh, rupanya janinku tetap nggak mau bergerak maju. Bukaannya masih tetap 3. Bu bidan memanggil ibu dan bapakku serta aku juga untuk diajak berdiskusi. Sudah lebih dari 12 jam, dan bukaannya tidak nambah, kata bu bidan itu berbahaya buat bayi dalam kandunganku. Dia menyarankan untuk di drip saja, diberi semacam obat pemacu supaya anakku segera lahir. Dia juga jelaskan bahwa kalau di drip perutku sebentar-sebentar akan berkontraksi dan aku akan merasakan sakit.
Aku sudah takut duluan. Aku pernah baca-baca dan mendengar dari penuturan seorang teman bahwa kalau di drip itu sakitnya luar biasa. Aku minta pada bidanku untuk dioperasi saja. Tapi bu bidan menyarankan untuk tetap mengusahakan persalinan normal. Dia juga menjelaskan bahwa dengan drip atau tanpa drip itu rasa sakitnya sama. Yang beda hanya frekuensinya saja. Jika di drip, rasa sakitnya akan lebih sering datang.
Akhirnya saya mengalah. Saya siapkan mental dan juga tubuh saya untuk menghadapi rasa sakit. Jam 9, saya diberi cairan, entah apa namanya. Berada dalam kantong seperti kantong infus. Kata bu bidan tunggu cairan itu habis sekitar sejam lagi, baru nanti akan ada reaksinya.
Saya menunggu dengan harap-harap cemas. Ditemani ibu di ruang persalinan. Sebentar-sebentar bidan masuk untuk melihat dan menanyakan kondisi saya. Mengecek kondisi cairan di kantong infus.
Belum sampai cairan itu habis, baru sekitar setengahnya saya mulai merasakan sakit yang luar biasa dipunggung saya. Rasanya mau patah. Saya ambil posisi miring sambil kedua tangan mencengkeram bantal. Saya minta ibu untuk mengelus dan memijit punggung saya. Rasa sakit itu sebentar hilang, lalu datang lagi. Demikian berulang-ulang. Setiap kali rasa sakit itu datang, saya menjerit, mengaduh. Bidan dan asistennya bolak-balik ke ruangan saya. Menyuruh saya untuk tak menjerit kala rasa sakit datang, melainkan mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan.
Saya coba turuti, namun tak sampai dua helaan nafas dalam, nafas saya kembali tersengal-sengal menahan rasa sakit.
Ditengah deraan rasa sakit, saya merasakan ingin kencing. Saya teriak bilang pada ibu kalau saya ingin kencing. Bidan dan asistennya dengan sigap menelentangkan badan saya, memandu saya untuk menarik nafas dalam-dalam, dan kalau pengen kencing disuruh kencing saja disitu. What??? kencing ditengah-tengah mereka? Tak bolehkah aku ke toilet sebentar saja?
Namun tanya itu tak pernah tersampaikan, ditelan rasa sakit yang semakin sering datang. Bidan menyurhku untuk mengejan setiap kali rasa sakit itu datang. Setelah beberapa kali mengejan, akhirnya aku merasa seperti kencing dan banyak lagi, entah apa saja aku rasakan keluar dari kemaluanku. Setelah itu tak ada lagi rasa sakit. Lega rasanya, akupun memejamkan mata. Sayupsayup aku dengar suara tangisan bayi.
Ibu menepuk-nepuk pipiku. Bu bidan memanggil-manggil namaku, melarangku untuk memejamkan mata, aku harus tetap melek. Dia bilang, anakku lelaki. Aku menurut untuk tetap bertahan melek, walau mataku rasanya berat sekali dan ingin segera terpejam.
Alhamdulillah, proses persalinan telah selesai aku jalani. Tinggal memulihkan rasa sakitnya. Kala itu aku berjanji, cukup sekali ini saja melahirkan. Kapok dengan rasa sakitnya.
*****
Kapok lombok. Itu istilah untuk menggambarkan penyesalan yang hanya bersifat sementara. Begitulah keadaanku dalam soal melahirkan. Awal september 2009 melahirkan anak pertama, nyatanya di bulan januari 2010 aku telah mendapati diriku positif hamil lagi.
Hasil konsultasi dengan bidan yang sama dengan yang menangani persalinan pertamaku, anakku diperkirakan lahir 22 Agustus 2010. Waktu aku lihat kalender, itu kembali bertepatan dengan bulan ramadhan, dan hari minggu lagi. Wah kok bisa mirip dengan anak pertama dulu.
Aku lebih santai menjalani kehamilan kedua ini. Kan sudah punya pengalaman. Aku merencanakan mulai mengambil cuti tanggal 16 Agustus.
Akhirnya masuk ramadhan, aku tak berpuasa lagi ramadhan kali ini. Sesuai rencana, aku mengambil cuti mulai 16 Agustus. Kali ini, dari awal ramadhan suami sudah ada di malang. Dia tak mau kelewatan lagi tak menunggui kelahiran anaknya.
22 Agustus terlewat, tak ada tanda-tanda anak keduaku akan lahir. Kami mulai menghibur diri, itu kan hari perkiraan saja, bisa benar dan juga bisa salah. Bisa maju dan juga bisa mundur.
Sabtu pagi, 28 Agustus, pagi-pagi kembali aku menemukan ada flek darah. Belajar dari persalinan pertama dulu, aku segera mengajak suamiku untuk ke poliklinik.
Sesampai di poliklinik dan diperiksa, ternyata belum mbuka. Bidan menyakan apakah aku ada keluhan selama ini, lalu menyarankan untuk USG aja dulu untuk negcek kondisi bayinya. Karena di poliklinik itu tak ada fasilitas untuk USG, dia lalu membuatkan rujukan untuk ke dokter. Dijadwalkan habis maghrib aku bisa ketemu dokternya. Akhirnya aku dan suami pulang lagi, pakaian yang sudah dibawa dari rumah tadi kami tinggalkan dipoliklinik.
Dari pagi sampai sore aku tak merasakan ada yang aneh dengan perutku. Menjelang maghrib aku mulai merasakan pegal di punggung. Rasa yang sama kurasakan menjelang kelahiran anakku yang pertama dulu. Aku mulai menduga-duga, apakah anakku akan segera lahir? Tapi aku belum memberi tahu suami tentang rasa pegal dipunggungku, rasa sakitnya masih bisa ditahan.
Usai maghrib, aku dan suami bersiap untuk ke tempat praktek dokter. Karena memang tak punya kendaraan, kami harus naik angkot. Jalan kaki dari rumah menuju terminal, sesekali aku berhenti karena perut terasa sakit dan punggung terasa pegal. Saya mengajak suami untuk langusng ke poliklinik saja, tapi suami tak mau. Akhirnya kami tetap menuju tempat praktek dokter untuk USG.
Sesampai ditempat praktek, dokternya belum datang. Rasa sakit semakin sering datang. Saya berusaha menenangkan diri dan berharap dokter segera datang. Setiap kali rasa sakit itu datang, saya cengkeram tangan suami dalam genggaman saya, sebagai pertanda bahwa suami harus mengelus-elus pinggang saya. Saya berharap dengan demikian dapat mengurangi rasa sakit yang saya alami.
Menjelang jam 7, akhirnya dokternya datang. Tapi saya dapat antrian nomor 2 jadi tak bisa segera masuk. Rasanya lama sekali menunggu pasien pertama keluar dari ruang prakteknya.
Akhirnya tiba giliran saya. Sesampai di dalam, dokternya nanya apa keperluan kami. Saya sodorkan surat rujukan dari bidan tadi pagi. Lalu saya disuruh berbaring di dipan yang disediakan. Proses usg pun dilakukan. Saya, suami dan dokter melihat tampilan di layar monitor. Tapi saya nggak ngerti, karena memang gambarnya nggak begitu jelas.
Usai proses usg, dokter menjelaskan bahwa anak saya sudah terlambat lahir. Air ketubannya sudah mulai menghitam dan berkurang volumenya. Tapi posisi bayi saya belum mapan. Seharusnya telentang, tapi bayi saya malah tengkurap. Menurutnya, anak saya harus lahir malam ini. paling lambat besok pagi.
Setelah itu dokter malah ngajak suami saya ngobrol tentang pengalamannya menghadapi persalinan anak-anaknya. Saya tak bisa menyela walau rasa sakit lagi-lagi menghampiri saya. Frekuensinya makin sering.
Dokter rupanya tahu dari wajah saya bahwa saya sedang menahan rasa sakit. Dia bilang, mungkin bayi dalam kandungan saya lagi muter, berusaha untuk telentang. Setelah itu kembali para lelaki itu asyik ngobrol. Saya colak colek suami sebagai tanda untuk segera berpamitan. Tapi rupanya dia tak paham, dikiranya saya mencolek minta supaya mengelus-elus pinggang dan punggung saya. Untunglah ada asisten dokter masuk, saya manfaatkan waktu itu untuk berpamitan.
Rasa sakit makin sering datang, saya dan suami memutuskan untuk langsung menuju poliklinik saja. Biar cepat kami putuskan untuk naik taksi. Kami menunggu taksi yang sudah kami pesan di pinggir jalan, depan tempat praktek dokter.
Menunggunya terasa lama sekali, ditengah rasa sakit yang menghampiri saya. Saya cari tempat duduk. Tapi dudukpun terasa sakit. Berdiri juga terasa sakit. Enak kalau tiduran barangkali.
Akhirnya taksi datang. Segera masuk dan duduk menggelosor di kursi belakang. Eh suami malah tertawa melihat itu. Saya pikir anak saya akan segera lahir. Saya berharap, jangan sampai melahirkan di dalam taksi. Biar suami dan sopir taksi tak bingung gimana harus menolong saya.
Alhamdulillah sampai juga di poliklinik. Segera buka pintu dan berlari menuju ruangn bidan. Suami saya malah ketawa lihat saya bisa berlari gesit dengan perut besar, bu bidan pun senyum-senyum lihat saya berlari menuju ruangannya. Saya serahkan surat dari dokter dan saya bilang kalau saya sudah mulai merasakan sakit terus.
Bu bidan membaca surat dari dokter, mengangguk-angguk. Lalu saya pun diperiksa. Rupanya sudah mbuka 4. Ah masih 6 lagi, pikir saya. Sambil menunggu kamar saya disipakan, saya disuruh jalan-jalan dulu di kompleks poliklinik. Tapi saya sudah malas jalan-jalan. Gimana bisa jalan dengan tenang kalau sebentar-sebentar rasa sakitnya datang.
Saya memilih berbaring saja di dipan. Mengelus-elus perut. Sementara suami sibuk telpon teman-temannya, kasih laporan bahwa anaknya sudah mau lahir dan istrinya sedang kesakitan. Saya jengkel, sempat-sempatnya telpon mereka, bukannya mijitin saya. Akhirnya dengan setengah membentak, saya suruh suami mematikan telponnya. Hihi........ maaf ya suamiku, jadi galak karena memang sakitnya nggak ketulungan.
Rasa sakit semakin sering datang, sampai saya harus sering teriak untuk menahan rasa sakitnya. Suami mengelus-elus punggung saya, sambil menyuruh saya mengatur nafas. Yah, nafas saya memang tersengal-sengal.
Lalu saya rasakan bahwa saya mau kencing. Saya ingat penjelasan bidan dulu, bahwa itu tandanya air ketubannya mau keluar. Saya suruh suami panggil bu bidan. Asisten bidan kembali dan menyuruh saya menahan sebentar. tapi mana tahan? Akhirnya air ketuban saya keluar dikamar. Setelah itu saya disuruh pindah ke ruang bersalin. Saya kuatkan diri dan berlari menuju kamar bersalin yang jaraknya sekitar 20 meter. Asisten bidan ketawa, dan bilang "wah mbaknya masih bisa lari".
Sampai ruang persalinan, segera berbaring didipan. Bidan menginstruksikan saya untuk mengejan jika rasa sakitnya datang. Suami saya hendak keluar, tapi oleh bidan dilarang. Disuruh menemani dan membujuk saya untuk bisa mengatur nafas. Dibalik rasa sakit, dalam hati saya ketawa. Rasain, nggak boleh keluar. Suami saya takut lihat darah, dan sekarang harus nungguin di ruang persalinan yang pastinya akan ada darah disitu.
Tiga kali mengejan, akhirnya bayi saya keluar. Perempuan. Saya lihat suami saya wajahnya pucat, kasihan juga melihatnya. Padahal bisa jadi wajah saya pun pucat. Alhamdulillah persalinan kedua telah terlewat.
***
Ramadhan tahun ini, anak pertama saya 2 tahun, anak kedua 1 tahun. Ramadhan tahun ini, saya kembali bisa berpuasa. 2 kali ramadhan, 2 kali melahirkan, kisah yang tak akan pernah saya lupakan
[Telkomsel Ramadhanku]