Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ketika Rumah Megah Kalah oleh Gubuk Kecil

16 Mei 2013   11:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:29 311 1
Ada hal-hal kecil yang justru dipilih ketimbang hal-hal besar yang tanpa hak kepemilikan. Dengan dalih kenyamanan, kita akan memilih menghuni rumah kecil yang jauh dari kemewahan (asal itu rumah sendiri) dibanding tinggal di perumahan megah namun status masih kontrakan. Yang kecil namun milik sendiri lebih memberi kenyamanan daripada yang besar namun masih hak milik seseorang, itu prinsipnya. Kenyamanan terbeli lewat sebuah kebebasan. Mungkin karena dalih ini juga, pilihan rumah kecil namun milik sendiri menjadi prioritas dibanding ngontrak di perumahan besar namun lagi-lagi, masih status ‘kontrak’. Kemegahan yang kita rasakan, ternyata tidak diikuti perasaan bebas untuk menghuninya. Bayangan pembayaran tiap bulan, serta rasa was-was akan dimarahi pemiliknya jika kita memasang pigura dengan asal memaku di tembok saja, tetap menjadi hantu-hantu kecil yang menghalangi kenyamanan hidup. Saya sebenarnya sedang menghuni rumah kecil dua minggu ini. Bukan rumah dalam arti sebenarnya. Melainkan analogi kondisi saya yang lagi-lagi memutuskan resign dari kantor lama. Sebelumnya saya bekerja di Geniofam, software development yang sekaligus merangkap agensi naskah. Khusus untuk agensi naskah ini saya ditugasi menginvestasikan perjuangan untuk mengembalikan Geniofam (selaku agnesi naskah) kepada raihan yang lebih baik, seperti dua tahun sebelumnya. Namun ternyata, saya tidak bisa mengemban tanggung jawab itu. Saya sering ‘gatal’ dengan sendirinya lantaran niat besar saya untuk memulai usaha sendiri. Mengingat usia yang sudah menginjak 25 tahun dan asupan ide yang semakin hari seperti bola salju saja. Ketika saya resign, saya teringat kalimat lama saya. Dulu saya sering memaksakan diri saya untuk ngantor karena berbagai macam alasan. Pertama, dengan ngantor saya punya kehidupan sosial yang lebih banyak. Di hadapan Arisetya Yogaswara, suatu sore, saya pernah bertutur, “Saya sedih, Mas, kalau saya meninggal kelak. Jika saya tidak ngantor, lantas lingkungan masif saya di Jogja ini di mana lagi? Saya tidak punya teman kuliah. Teman nongkrong pun cuma satu-dua. Yang menziarahi saya nanti siapa?” Alasan pertama tersebut memang cukup masuk akal. Dengan ngantor, saya memperoleh lingkungan sosial yang tentu, akan berdampak positif bagi khazanah otak saya. Bertemu dengan banyak orang, baik dilanjutkan dengan ngobrol atau cukup melihat habit sehari-hari mereka, itu sudah membuat saya mampu meng-upgrade hidup saya. Dengan ngantor, seseorang juga sedang menjalankan prinsip bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. JIka hidup ini adalah lautan lepas, maka ngantor membuat kita berada di sebuah kapal. Kalau pun ada badai dan gelombang besar, setidaknya kita mempunyai teman dan awak-awak kapal yang siap berunding untuk mencari jalan keluar. Hal-hal demikian yang tidak kita dapatkan ketika menjadi freelancer. Saya memegang teguh prinsip di atas. Saya berusaha untuk ngantor selamanya. Namun kenyataannya, prinsip tersebut menemukan kekeroposannya seiring bertambahnya usia. Di tahun ini, lagi-lagi saya begitu terpanggil untuk merintis usaha sendiri, sekecil apa pun itu. Pilihan untuk merintis usaha sendiri ini, membuat saya teringat rumah kecil yang jauh dari kemewahan. Ya, saya saat ini menjadi penulis lepas, juga berusaha mendirikan agensi naskah sendiri. Benih-benih kemandirian ini saya tabur di Aquarich, agensi naskah saya. Bila membandingkan kemewahan, maka Aquarich baru seukuran gubuk, berbeda dengan Geniofam yang sudah mengawali karir agensi-nya sejak 2008. Namanya pun sudah cukup dekat dengan lini penerbitan Gramedia, Elexmedia Komputindo. Akan tetapi, lagi-lagi menghuni rumah sendiri jauh lebih membuat kita hidup ketimbang berteduh di rumah orang—walau dengan konsekuensi kehilangan kemewahan. Karena kondisi saya saat ini, saya jadi begitu terbayang-bayang sosok Andre Villas-Boas. Pelatih asal Portugal ini benar-benar menjiwai hidup saya selama beberapa minggu belakangan. Sebelum ia menjabat sebagai pelatih, ia menghabiskan waktu lima tahun lebih sebagai asisten pelatih Jose Mourinho. Dari masa si Mou menangani FC Porto (2002-2004), Chelsea (2004-2007), hingga saat Mou hijrah ke Negeri Pizza bersama Inter Milan (2008-2010). Villas-Boas pada periode keasistenannya, seperti menghuni rumah yang megah. Kenikmatan pun sering ia raih. Sebut saja kenikmatan dalam bentuk sajian trofi Liga Champions saat Porto dan Jose Mourinho meraihnya di tahun 2003/2004, trofi Liga Inggris, Serie A, dan lagi-lagi Liga Champion saat Inter Milan mengalahkan Bayern Munchen di final 2009/2010. Namun apakah Villas-Boas bisa sepenuhnya menikmati sajian itu? Barangkali ia akan lebih bangga membawa klub kecil Academica masuk ke semifinal Taça de Portugal 2009/2010 daripada mengangkat trofi Champion namun sebagai asisten pelatih. Sebab di Academica inilah, ia seperti menghuni rumah sendiri, walau dengan konsekuensi kehilangan kemegahan klub besar. Jika hidup adalah mengarungi lautan, biarlah saya menghuni sekoci kecil. Saya mengarungi lautan dengan kendali yang sepenuhnya ada di tangan saya. Ketika badai menerjang atau gelombang pasang, saya akan menguji akal saya seberapa cerdik saya bisa melewatinya. Lalu setiap petualangan menjadi pengalaman berharga yang luar biasa. Pengalaman, yang mungkin tidak saya peroleh ketika saya menghuni kapal besar. Yogyakarta, 14 Mei 2013 Saya membesarkan Aquarich bersama sahabat senior saya, Mutaroh Akmal. Ke depannya, semoga ini sarana untuk berkreasi lebih baik. Twitter: @naqib_najah Artikel dan jurnal lain bisa disimak di http://paraqibma.blogspot.com/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun