Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Antara Pak Tif, Jatah, dan Uang

12 Januari 2011   11:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40 127 0
Salahkah kita memintah 'jatah' untuk Indonesia seperti tenaga kerja, konten lokal, menghormati dan mematuhi ketentuan hukum dan undang-undang di Indonesia yang berdaulat ini. Ini pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring di akun twitternya @tifsembiring, Selasa, 11 Januari 2011 terkait ultimatumnya atas Research in Motion (RIM).

Saya tak sedang membahas soal RIM, BlackBerry, juga blokir yang digagas Pak Menteri. Yang mau disoal adalah penggunaan kata “jatah” pada kicauan atau twit tersebut yang mengunndang banyak pro dan kontra berbagai kalangan.

“Jatah” tentu terasosiasi dengan uang. UUD. Ujung-ujunganya Duit. Begitulah negeri ini. Mari kita berbicara soal uang, soal duit.

Kita tentu sepakat bahwa, uang ( money ), tentu saja tidak sekadar alat pembayaran yang sah atau sebagai alat tukar resmi di suatu negeri. Uang bagi masyarakat urban dan metropolitan merupakan simbol status sosial dan kesewenang-wenangan. Mungkin juga pertanda keserakahan dan kebinalan bermanipulasi. Ada yang berpendapat bahwa uang itu pendusta sejati! Dia pun pandai menipu, bahkan kepada dirinya sendiri. Dan, Tuhan sekalipun, tega diperdayainya. Saat ini, kita sepakat baha uang begitu berkuasa di Bumi ini.

Mar kita lihat pandangan para filsuf atas uang. Aristoteles (384-322 SM), sang filsuf Yunani Kuno yang pernah mengatakan “ It is better to pay a creditor than to give to a friend ”, dalam karyanya Nichomachean Ethics , menulis: “ Money has become by convention ‘money'—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless ”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan oleh hukum yang dibuat sendiri oleh manusia.

Fakta ini tentunya tak dapat dibantah. Dan, Aristoteles benar. Kita tentu masih ingat sejarah gejolak moneter yang pernah terjadi di Indonesia, bagaimana nilai rupiah berfluktuasi (naik turun) terhadap mata uang US$ (dolar Amerika Serikat). Peristiwa moneter ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, baik dalam sanering (1959 dan 1966) maupun kebijakan devaluasi (1983 dan 1986). Dan nilai mata uang rupiah pun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya. Hukum pemerintah ( nomos ) memberi nama ( nomina ) kepada uang ( nomisma). Di sini, nomos memberi nomina kepada nomisma .

Georg Simmel (1858-1918), generasi pertama Sosiolag Jerman yang menghabiskan masa hidupnya di Berlin, adalah satu-satunya yang membahas uang (dari perspektif filsafat) dan menuliskan dalam buku monumental, Philosophie des Geldes ( The Philosophy of Money ; Filsafat Uang, 1900. Ia mengatakan bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat. Dan itu berarti uang memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang impersonal, dan karenanya berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial. Kita dapat mengatakan bahwa dengan kepemilikan uang akan terjadi apa yang disebut sebagai “ leisure time ”, yang sebenarnya dapat mengaktualkan diri. Misalnya, tugas ronda malam—terutama menjelang Pemilu—yang merupakan salah satu “kewajiban sosial, kini dapat dihindari hanya dengan membayar sejumlah uang.

Terkait uang, ada adagium “ Time is money ” (waktu adalah uang), bagi mereka yang dapat memanfaatkan uang—bukan dimanfaatkan oleh uang; mungkin terjadi kebalikannya. “ Money is time ”, uang adalah waktu. “ Money is time and energy ”. Kita tentu sepakat dengan apa yang dikatakan essayist Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), “ Money and time are the heaviest burdens of life, and... the unhappiest of all mortals are those who have more of either than they know how to use ”.
Kita ingat bahwa “Vita est Militia” hidup adalah perjuangan. Demikian kata sebuah adagium Latin. Itulah hidup. Perjuangan dalam hidup adalah satu hal yang semestinya agar hidup ini layak untuk dihidupi. Perjuangan hidup selalu berkiblat dan berorientasi pada tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Orientasi hidup manusia adalah kebahagiaan seutuhnya, jasmani-rohani, lahir batin. Karena itulah, manusia mengenakan dalam dirinya identitas makluk pekerja (homo faber). Kebahagiaan hidup diperjuangkan melalui kerja keras, membanting tulang, mencari nafkah dan berbagai aktus kultivasi manusia lainnya. Jadi, untuk mendapatkan kebahagiaan di bumi, kita perlu berjuang. Berjuang dalam pengertian sebenarnya, bukan berjuang mencari ”jatah” tanpa bekerja.

Salam,
Ferdinandus Setu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun