Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Kejutan Makan Siang

25 Juni 2024   15:06 Diperbarui: 25 Juni 2024   15:14 60 3
Kejutan Makan Siang

Jam istirahat di sekolah yang tidak ditandai dengan berbunyinya bel, hanya berdasarkan kesadaran kami sebagai murid yang selalu rutin mengingatkan guru pengajar agar menyudahi pembelajaran akhirnya tiba juga. Setelah jam pelajaran Kimia yang membosankan dan membuat otak panas, perutku jadi lapar. Aku tidak pernah toleransi dengan Kimia. Kimia seolah membawaku kepada ilusi yang tidak menciptakan kebahagiaan. Atom-atom, zat-zat, nama-nama unsur Kimia, entah kenapa selalu tidak bisa aku terima di otakku seolah-olah itu adalah trauma besar yang mengganggu jika aku mengingatnya.

Meskipun Kimia tadi menyebalkan, syukurlah pelajaran berikutnya bisa mengurangi kekesalanku. Bahasa Inggris, pelajaran favorit sekaligus rekreasiku setelah Kimia yang membuat panas.

Berhubung sudah jam istirahat, aku segera membuka kotak makanku. Bekalku untuk hari ini adalah ayam kecap yang aku masak sendiri tadi pagi sebelum berangkat sekolah.

“Kamu bawa apa hari ini Di?”

“Nasi pecel. Aku lagi suka sama makanan ini. Bumbunya aku buat sendiri loh.”

Dian, teman sebangkuku juga suka memasak. Dia tahu cara mendeskripsikan rasa makanan yang dia makan secara detail. Kami sering berdiskusi tentang resep-resep masakan dari internet yang telah kami coba. Selalu menyenangkan makan siang sambil mengobrol dengan Dian. Dian yang mengoceh tentang rasa makanan yang dia makan, sementara aku yang hanya bisa mengangguk angguk saja tentang komentarnya adalah hal yang aku suka di jam istirahat.

“Kalian mau ke mana? Tumben tidak makan siang?” Aku yang menyapa Gracia dan Tata yang hendak keluar kelas. Merasa aneh saja mereka keluar kelas di jam istirahat kedua.

“Aku lupa masukkin kotak bekalku tadi pagi. Jadinya mau beli aja di kantin. Kalian ada menitip dibelikan sesuatu di kantin?”

“Engga. Lagian kita udah bawa bekal.”

Mereka berdua pun menuju kantin meninggalkan aku dan Dian yang sedang makan siang. Bekalku sudah tinggal setengah dari yang semula namun Gracia dan Tata belum juga kembali dari kantin.

“Mereka lama banget ya belanjanya?” Tanya Dian kepadaku.

“Mungkin kantin lagi rame.” Aku jawab seadanya sembari menghabiskan bekal nasi ayam kecapku yang hanya tersisa dua sendok makan lagi.

“Nah itu mereka.”

“Kok engga bawa apa-apa? Kalian ga jadi belanja?”

“Nasinya habis. Padahal udah pergi ke 3 kantin yang beda-beda. Semuanya sama aja ternyata, habis.”

“Jadinya kalian engga makan dong?”

“Aku sih udah makan, yang belum ini si Gracia. Kan dia yang kotak bekalnya ketinggalan.”

“Udah kurus, jadi makin kurus deh kamu Ia karena engga makan.”
 
Gracia yang malang. Dia harus menahan lapar karena kelalaiannya sendiri. Namun yang namanya Gracia, dia selalu penuh kejutan.

Siang itu setelah aku menghabiskan bekal makan siangku, Dian yang memiliki indra penciuman yang begitu sensitif berkata.

“Kalian nyium bau sesuatu ga?”

Sebenarnya tanpa indra penciuman yang sesensitif Dian pun bisa mencium aroma itu. Aroma kotoran anjing yang begitu menyengat. Tadi saat aku makan siang, aroma ini belum ada. Namun, saat Gracia dan Tata datang, barulah aroma ini menyapa seluruh hidung orang-orang yang ada di kelas itu.
“Ini siapa sih yang menginjak tai?”

Salah satu teman kelasku yang laki-laki akhirnya bicara setelah aroma itu menghantui kelas sekitar 5 menit yang terasa seperti 5 jam.

Gracia kemudian terbangun dari duduknya. Dengan segera menarik tangan Tata untuk menemaninya keluar kelas untuk membersihkan alas kakinya, tampak begitu panik dengan keringat dingin mengucur dari dahinya. Aku yang tersadar akan hal itu langsung berbicara menggunakan kode mata dengan Tata yang berjalan menuju keluar kelas dengan tertatih-tatih karena menahan tawa atas kejadian itu.
“Gracia?!”

“Iyalah siapa lagi! Liat dong dia panik begini.”

Aku berbicara bagaikan telepati dengan Tata. Manusia satu itu memang penuh dengan kejutan dan selalu ada saja hal konyol yang tanpa sadar ia lakukan.

Aku bisa melihat Tata menyengir begitu lebar dibalik masker hitam yang dia gunakan. Kala itu adalah masa endemi ketika pandemi yang diakibatkan oleh suatu virus baru saja mereda dan sekolah tatap muka baru diadakan lagi. Maka dari itu, semuanya diwajibkan untuk memakai masker kecuali saat sedang makan atau berolahraga. Bayangkan saja, meskipun dengan masker, aroma itu tetap saja menyengat ke hidung kami seolah masker tidak ada apa-apanya. Salah seorang anak kelas yang menyadari ada bekas jejak kaki di lantai kemudian berkata.

“Woi, siapa yang nginjak tai ni? Ada jejaknya ini.”

Aku dan Dian terbahak-bahak mendengar hal itu. Tidak sabar menceritakannya kembali pada Tata dan Gracia saat mereka kembali ke kelas. Terima kasih atas kejutan makan siang yang kalian berikan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun