Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ternyata Dia Masih Pengecut

16 Juni 2024   06:15 Diperbarui: 16 Juni 2024   06:24 58 2
Ternyata Dia Masih Pengecut


Akhir-akhir ini sering hujan. Pagi saat berangkat sekolah tadi, sampai sepulang sekolah pukul 4 sore, langit masih menunjukkan wajah yang sama. Langit kelabu hanya awan mendung tanpa sinar matahari. Ibu mengeluh perihal cuaca akhir-akhir ini. Kata Ibu, ia jadi tidak bisa menjemur kerupuk karena tidak direstui cuaca. Alhasil, kerupuk yang ia goreng tidak renyah dan malah terkesan alot. Kasihan Ibu. Perihal itu, Bapak adalah korban dari rupgal (kerupuk gagal) tersebut. Bapak mengeluh sakit gigi karena rupgal. Karena Ibu masih punya rasa malu dan perfeksionis, ia tidak cukup percaya diri untuk menjual kerupuk seperti biasanya menitipkan di warung-warung dekat rumah. Tidak apa, meskipun sedang sakit gigi, Bapak masih bisa memberi Ibu cukup bekal untuk membeli bahan masakan. Lagi pula, ada Kak Tama yang bisa membantu menstabilkan keuangan keluarga kami. Tiga bulan yang lalu, Kak Tama diterima bekerja di suatu perusahaan penerbit sebagai pegawai magang.  Gaji pertamanya ia gunakan untuk mengajak kami makan malam di restoran yang dia kata cukup mewah untuk merayakan hal tersebut. Aku senang saja ditraktir oleh kakakku yang terkenal cukup kikir itu. Meskipun kikir, hatinya sangat lembut dan pembawaannya hangat. Jarang sekali ada lelaki seperti itu. Kak Tama memang ada di barisan terdepan jika dalam skala pria-pria penyayang. Tetapi, dia tetap saja bisa jadi kakak laki-laki paling menyebalkan yang ada di muka bumi. Melebih-lebihkan kesalahan yang kubuat dan mengadu ke Ibu. Menyebalkan memang.

Keesokan harinya, cuaca masih sama. Mendung disertai hujan gerimis. Aku mengaduh pelan dalam hati. Bisa saja kejadian kemarin terulang kembali. Berangkat sekolah menggunakan payung lalu terciprat genangan air yang dilalui mobil dengan laju kencang hingga rok yang kukenakan kotor terkena lumpur. Namun, apa daya? aku harus sekolah. Apalagi, salah satu mata pelajaran hari ini adalah mata pelajaran favoritku Bahasa Indonesia. Kebanyakan orang menyebutku aneh karena kata mereka pelajaran itu membosankan dan membuat mengantuk. Namun tidak bagiku. Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang menarik dan indah. Sudah pukul 07.05 aku harus segera berangkat sebelum gerbang sekolah ditutup oleh satpam.





“Nala, mau berangkat bareng tidak?”

“Mobilmu sudah diperbaiki Ra?”

“Sudah dong, makanya bisa jemput kamu ke sini. Ayo naik sebelum telat ke sekolah.”

“Sebentar, mau pamit ke Ibu dulu.”

“Segera La!”

“Ibu, Nala berangkat bareng Dura ke sekolah ya!”

“Iya, hati-hati nak.”

Aku berangkat ke sekolah dengan Samudra yang mobilnya sudah diperbaiki. Segera ia melaju kencang ke sekolah agar tidak terlambat. Samudra, biasa dipanggil Dura adalah sahabatku. Gadis berambut ikal dengan perawakan selayaknya atlet renang dan sangat mandiri. Aku selalu kagum melihat gayanya. Hati yang baik adalah salah satu alasan aku bisa bersahabat dengan sosok Dura.

Tidak sampai lima belas menit, kami tiba di sekolah dan syukurnya tidak terlambat. Masih ada waktu beberapa menit lagi menunggu bel masuk dan dimulainya jam pelajaran pertama. Aku menaiki tangga menuju ruang kelasku bersama Dura. Sepanjang itu kami mengobrol perihal hujan akhir-akhir ini yang mulai menjengkelkan. Hingga tiba di kelas, aku merasa ada yang kurang. Pagi ini aku belum melihat dia. Meskipun belum sampai satu jam aku berada di sekolah ini, tapi janggal rasanya jika aku belum melihat dia di pagi hari. Matakku mencari-cari keberadaannya tetapi tidak kulihat batang hidungnya. Pria yang memberiku sepucuk puisi di atas kertas dan menyelipkannya di payung yang biasa aku bawa selama musim hujan ini. Apa hari ini dia tidak sekolah? Entahlah, keberadaannya akan selalu aku nanti. Puisi yang ia tuliskan padaku sangat manis dan rangkaian kata yang ia gunakan indah sekali. Pukul 07. 30, bel masuk berdering kencang di tengah hujan yang cukup lebat. Pelajaran pertama dimulai dengan aku yang membawa perasaan bingung mencari keberadaannya.

Pulang sekolah pukul 15. 30 hujan tidak terlalu deras. Aku memutuskan untuk pulang jalan kaki saja menggunakan payung yang kubawa. Aku memeriksa payungku. Siapa tahu ada sesuatu seperti kemarin-kemarin. Kali ini kosong tidak ada apa-apa. Aku bilang ke Samudra kalau aku ingin pulang berjalan kaki saja. Dan ia mengiyakan hal tersebut tanpa khawatir.

“Nala.”

Suara itu, yang kucari-cari sejak tadi dan sekarang tiba-tiba memanggilku dengan nada bicara yang sangat aku suka. Meneduhkan.

“Kamu pulang sendiri? Tidak dengan Dura seperti pagi tadi?”

“Tidak, hujan tidak sederas tadi pagi. Lagi pula aku membawa payung.”

“Oh begitu.”

Kami berjalan beriringan. Dia juga membawa payung seperti  biasanya. Perawakan tinggi dengan paras yang tak akan bosan untuk aku pandangi itu, hari ini berjalan beriringan denganku. Aku cukup enggan untuk bertanya mengapa dia tidak menyelipkan puisi hari ini di payung yang kupunya.  Jangan-jangan bukan dia orangnya. Tetapi Dura tidak akan berbohong untuk hal seperti itu. Baik, aku harus berani untuk bertanya.

“Tumben tidak membawa sepeda.”

“Sepeda tidak cukup bersahabat untuk dikendarai di kala musim hujan begini.”

Lagi dan lagi pertanyaan yang ingin aku ajukan tidak sesuai dengan skenario di kepalaku. Kami berdua berjalan penuh diam dan sesekali melirik satu sama lain. Hingga tiba di depan pintu gerbang rumahku, pernyataan yang kuharap diajukan oleh dia tidak juga terucap. Aku tahu maksud puisi-puisi itu. Sinyal itu ada pada dirinya dan sinyal itu pasti untukku.



“Sudah sampai di rumahmu. Sekarang saya pulang ya”

“Hanya itu saja? Kamu tidak ingin mengatakan hal yang lain? Tentang puisi itu mungkin?”

Aku tidak tahu keberanian untuk bertanya itu muncul dari mana. Yang jelas, aku harus bertanya segera tentang hal tersebut. Aku sudah tidak cukup antusias lagi jika hal ini tidak dijelaskan segera oleh dia langsung.  Namun apa daya. Dia adalah dia. Lelaki pemalu dengan pembawaan tenang, kalem dan tidak banyak bicara.

Tapi kali ini dia tampak kikuk dan wajahnya bersemu merah. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Responsnya terhadap pertanyaanku tidak sesuai ekspektasi. Ia tidak menjawab. Malah memilih untuk diam saja dan berjalan ke arah jalan pulang tempat tinggalnya. Aku bertanya-tanya dimana nyali sebagai seorang lelaki yang dia punya. Aku hanya menatap dia yang pergi. Ternyata dia masih pengecut. Mengungkapkan hal yang  seharusnya sangat mudah untuk dia lakukan dan responsku  terhadap hal itu pasti sangat baik. Aku bahkan sangat siap untuk “mengiyakan” pernyataan yang jika ia ajukan sekarang juga.

Saat aku hendak membuka pintu gerbang rumah, tiba-tiba dia berlari kecil menuju ke arahku dan berkata.

“Maaf tidak ada puisi untuk hari ini. Dan maaf jika aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan hal ini sekarang. Ungkapan yang kau harapkan diucapkan langsung olehku saat ini, diwakilkan oleh kaset demo yang aku letakkan di dalam tasmu tadi. Semoga kamu suka.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun