Bahaya dari politik identitas ini adalah bahwa ia dapat memecah belah masyarakat dan memicu konflik antar kelompok sosial. Politik identitas juga dapat mengalihkan fokus dari isu substansi dan program politik, dan memperlemah nilai-nilai demokrasi, seperti pluralisme dan toleransi.
Untuk mengatasi bahaya politik identitas dalam pemilu, diperlukan upaya bersama dari semua pihak. Pertama, partai politik harus berupaya untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme, serta membangun platform politik yang bersifat inklusif dan dapat diterima oleh semua kelompok sosial. Kedua, masyarakat perlu membangun kesadaran akan bahaya politik identitas dan berupaya untuk tidak memilih calon yang memperkuat pemisahan antar kelompok sosial.
Ketiga, media massa perlu berperan aktif dalam menyajikan informasi yang objektif dan akurat tentang calon dan program politik, serta menghindari menyebarkan berita yang mengandung isu SARA. Keempat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat penegak hukum harus memiliki peran penting dalam memastikan pelaksanaan pemilu yang bebas dari praktik politik identitas.
Politik identitas memang merupakan isu yang sangat kompleks dan terkait erat dengan situasi sosio-kultural Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kita dapat melihat bagaimana praktik politik identitas telah merusak jalannya pemilu dan memicu konflik antar kelompok sosial.
Salah satu contoh praktik politik identitas yang sangat mencolok adalah kampanye hitam yang menyerang calon lawan dengan isu-isu SARA. Kampanye hitam ini sering dilakukan oleh buzzer atau akun media sosial palsu yang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, terdapat 5.745 akun media sosial yang diduga terlibat dalam kampanye hitam.
Selain kampanye hitam, praktik politik identitas juga terjadi dalam bentuk pandangan politik yang eksklusif dan intoleran terhadap kelompok sosial tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus kekerasan yang dipicu oleh perbedaan agama atau suku, seperti konflik di Papua dan konflik antara kelompok agama di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut data dari Laporan Tahunan HAM 2020 yang dirilis oleh Komnas HAM, terdapat 61 kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terkait dengan isu SARA. Dari 61 kasus tersebut, sebanyak 46 kasus terkait dengan konflik keagamaan dan 15 kasus terkait dengan konflik suku.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan pemilu yang bebas dari praktik politik identitas. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memperkuat peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat penegak hukum dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan meminimalkan praktik politik identitas dalam pemilu.
Selain itu, partai politik dan calon juga perlu membangun platform politik yang bersifat inklusif dan dapat diterima oleh semua kelompok sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses politik dan mendengarkan aspirasi dari berbagai kelompok sosial.
Dalam rangka membangun pemilu yang bebas dari praktik politik identitas, masyarakat perlu memiliki kesadaran yang tinggi akan bahaya politik identitas dan berupaya untuk tidak memilih calon yang memperkuat pemisahan antar kelompok sosial. Media massa juga harus berperan aktif dalam menyajikan informasi yang objektif dan akurat tentang calon dan program politik, serta menghindari menyebarkan berita yang mengandung isu SARA.
Selain itu, penting untuk mengingat bahwa politik identitas bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pemilu. Masalah seperti politik uang, manipulasi opini publik, dan ketidaksetaraan akses terhadap media massa juga mempengaruhi jalannya pemilu.
Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Pemilu 2019, sekitar 67% responden mengakui adanya praktik politik uang dalam pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa praktik politik uang menjadi masalah yang sangat serius dalam jalannya pemilu.
Selain itu, manipulasi opini publik melalui media sosial juga menjadi masalah yang semakin meresahkan. Banyak akun media sosial palsu yang dibuat untuk mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap calon tertentu, dengan tujuan untuk memenangkan calon tersebut. Hal ini sangat merugikan demokrasi, karena pemilih tidak dapat memilih calon berdasarkan platform politik dan visi misi yang jelas, melainkan berdasarkan opini publik yang termanipulasi.
Terakhir, ketidaksetaraan akses terhadap media massa juga menjadi masalah yang serius dalam pemilu. Kandidat yang memiliki akses yang lebih besar ke media massa cenderung lebih mudah untuk mempromosikan diri dan ide-ide mereka, sehingga mengurangi kesempatan kandidat lain yang kurang dikenal untuk meraih suara. Hal ini mempengaruhi keadilan dan merugikan demokrasi.
Dalam rangka mengatasi masalah-masalah tersebut, diperlukan upaya dari semua pihak untuk membangun pemilu yang bebas dari praktik-praktik yang merugikan demokrasi. Partisipasi aktif dari masyarakat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas seperti Bawaslu sangat diperlukan untuk memastikan pemilu yang bersih dan adil.
Kita sebagai masyarakat juga perlu membangun kesadaran dan kritis dalam memilih calon dalam pemilu, memeriksa program politik mereka, dan memilih calon yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta dapat memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, atau budaya.
Oleh karena itu, bahaya politik identitas dan praktik-praktik yang merugikan demokrasi harus diatasi secara bersama-sama. Hanya dengan membangun pemilu yang bebas dari SARA, politik uang, manipulasi opini publik, dan ketidaksetaraan akses terhadap media massa, kita dapat membangun demokrasi yang sehat dan adil untuk Indonesia yang lebih baik.