"Maaf, Cép. Saya mengganggu sebentar. Ada hal penting yang ingin diobrolkan," ucap Ki Rasta. Raut mukanya serius..
Setelah duduk, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan dua bungkus rokok kretek.
"Nih, rokok kesukaanmu. Lumayan, buat teman ngobrol," ucapnya sambil tersenyum.
Jidatku agak mengkerut. Ki Rasta tidaklah termasuk orang yang suka ngobrol ngalor-ngidul tak karuan. Butuh waktu yang cukup panjang untuk menghabiskan dua bungkus rokok kretek. "Alamak, mesti ada hal serius yang hendak dibicarakannya," batinku.
"Tumben, Ki, ada apa?" tanyaku setelah menghidangkan segelas kopi hangat, "Wah, tau saja Ki Rasta ini kalau rokokku sudah habis, hehe..." Tanganku bergerak dan menyalakan sebatang rokok.
"Begini, Cép," ucapnya memulai percakapan seraya meluruskan pecinya. "Si Keno, anak saya, belakangan ini kerap terlihat murung dan melamun. Saya jadi khawatir, jangan-jangan.."
"Hus, jangan menduga-duga apalagi berpikir negatif. Salah-salah malah jadi kutuk!" Kupotong kalimatnya dengan nada tinggi.
Ki Rasta yang berniat menyulut rokok terkejut. "Astagfirullah... Iya, juga. Terima kasih telah diingatkan, "Itulah masalahnya. Sejak masuk kuliah, saya sering tidak bisa memahami perlikau dan jalan pikiran anak saya."
"Lha, bukankah hal itu sudah sering kita obrolkan, Ki? Terus, si Keno sudah ditanya sabab-musabab sikapnya sekarang?"
"Begini, Cep. Ah, sebaiknya Cep Nandar baca dulu tulisan ini." Ki Rasta menyodorkan lipatan kertas yang diambilnya dari lipatan peci.
"Seperti surat ini mah, Ki?" Tanyaku sambil membuka lipatan kertas. Kubaca tulisan di dalamnya.
Dear..,
Aku tulis surat ini ketika banjir bertandang ke kompleks perumahan. Tanggul di sebelah Timur jebol. Demikian kabar yang kudengar. Tapi aku tak peduli. Biar saja tanggul di sebalah sana jebol, asal tanggul di hatiku tetap kokoh. Ya. Ragam peristiwa nahas yang menimpa saudara-saudara kita di pelbagai pelosok negeri, telah membuat dadaku sesak oleh air mata. Terlebih saat kamu bilang akan memilih menjadi biarawati, agar bisa lebih tulus menyebarkan kasih ke sesama dan melayani umat..
Kamu tahu, dalam hal ini aku memang sangat egois karena ingin memilikimu seutuhnya. Aku masih bisa melampaui perbedaan dasar keyakinan kita. Tapi untuk pilihanmu yang satu ini, sungguh aku tak kuasa. Pada titik inilah jwaku serasa terbelah. Di satu sisi, aku harus mendukungmu untuk setia kepada keyakinanmu, kepada imanmu, kepada Tuhanmu. Tapi di sisi lain, aku ingin berontak, mengapa harus kamu yang memilih jalan itu?
Tapi apa hendak dikata. Itu pilihan kamu, dan didasarkan atas iman kamu. Dan, nyatanya, rasa pedihku atas pilihan hidupmu memang lebih karena keegoisanku. Ah, tapi mesiki demikian, tetap saja sisi lain diriku ingin berontak. Bukankah orang lain pun sama egoisnya denganku terhadap pasangannya?
Kamu hanya tersenyum mendengar protesku. Ya, hanya senyum itulah yang kemudian kekal dalam ingatanku hingga kini..
Hari ini, saat kutulis surat ini, adalah hari yang ke-1902 sejak kamu meninggalkan senyum itu. Aku sengaja menghitung kalender hari demi hari agar tetap bisa terhubung dengan setiap kenangan kita. Ya, memang konyol. Kawan-kawan juga menyebutku sebagai orang berurat batu.. Dan sampai kemarin, aku hanya menanggapinya dengan senyum kecut...
Tapi hari ini aku tidak dapat mengulang senyum kecut lagi...
Tadi pagi, seorang kawan terbaik kita datang. Ia langsung memarahiku habis-habisan. "Kamu benar-benar contoh manusia paling goblok dan egois di seantero semesta!" teriaknya tiba-tiba, "Gunakan akal warasmu. Mengikhlaskan segala keputusannya adalah bentuk pembuktian cinta yang sebenarnya. Bukti bahwa kamu memang benar-benar mencintainya, dan bukan ingin memiliki tubuhnya apalagi jiwanya..!"
Begitulah. Ia nyerocos sambil marah-marah. Persis seperti para pengkhotbah yang sedang mencaci para pendosa. Tapi aku tahu persis, kemarahannya bukanlah tanpa alasan atau didasarkan pada emosi belaka. Dan harus kuakui, semua omongannya benar belaka. Terlebih saat dia tengah berbusa-busa dengan omongan, bayangan dirimu berkelebat dan meninggalkan senyum yang sama saat kita --atau lebih tepatnya kamu, memutuskan untuk tidak saling bertemu atau bertelepon. Saat itulah aku jadi tersadar. Aku harus membuktikan ketulusan cintaku dengan tidak mengharapkanmu kembali. Ah, sebuah pembuktian yang ganjil jika dilihat dari sudut logika. Tapi aku juga percaya, cinta terkadang memiliki logika tersendiri..
Kini, surat ini akan aku alirkan bersama banjir yang tinggal sejengkal dari lantai kamar. Aku percaya, banjir akan melumatkan kertas surat ini dan mengirimkan spiritnya ke alamatmu yang entah dimana..
Greetings and peace..