Tanpa bermaksud mengkerdilkan upaya pemerintah untuk memacu kualitas lulusan sekolah di Indonesia, saya hendak berbagi sudut pandang mengenai entitas penting bagi siswa yang semestinya tumbuh dengan segala potensinya, akan tetapi terhambat oleh egoisme kebijakan yang memaksa mereka harus mengikuti Ujian Nasional.
Dengan adanya Ujian Nasional, tingkat stress siswa dan orang-orang di sekitarnya jadi meningkat drastis. Kenapa saya menamakannya stress? Karena UN berperan sebagai suatu stressor bagi para siswa dan siswa bereaksi terhadapnya dengan berbagai cara yang melibatkan ketegangan system syaraf simpatik dan berdampak pada terganggunya kesehatan fisik atapun mental. Untuk lebih mendalaminya mungkin kita perlu melakukan pengukuran secara sistematis, namun dengan menyimak berbagai fakta yang terjadi kita bisa memahami apa yang dirasakan oleh para siswa, orang tua, dan orang-orang terkait.
Berbagai cara dilakukan oleh para siswa untuk bisa lulus UN. Dari cara-cara tersebut ada yang dapat diterima secara norma dan ada yang tidak. Cara yang dapat diterima misalnya mempersiapkan diri dengan bahan pelajaran yang sudah ada untuk menghadapi UN. Namun demikian, dengan adanya banyak siswa yang semenjak awal sekolah memiliki record nilai yang selalu diatas rata-rata namun gagal, tidak elak menjadikan semua siswa berfikir bahwa ia juga berpeluang untuk tidak lulus Ujian Nasional. Kekhawatiran yang tinggi untuk tidak lulus menjadikan siswa atau pihak terkait berantisipasi, memacu diri, dan mengatur strategi bahkan strategi yang tidak dapat diterima secara social seperti mencontek, guru memberi contekan, bocoran soal, higga orang tua pergi ke dukun. Ada pula yang memberi jampi-jampi pada pensil, pergi ke makam untuk minta petuah, mandi tengah malam, dan masih banyak lagi. Saya setuju dengan Bapak Tilaar bahwa Ujian Nasional lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya.
Jika dinalar, tindakan para murid didasari atas pemikiran yang rasional sebab mereka ingin lulus ujian. Demikian pula orang tua yang tidak ingin anaknya gagal, guru yang ingin muridnya lulus, serta sekolah yang tidak ingin menanggung malu serta didera kekhawatiran kalau setahun berikutnya, sekolah itu akan ditinggalkan siswa karena tingkat kelulusannya rendah.
Dari kasus-kasus di atas, kita bisa bersama-sama melihat betapa dampak dari kebijakan ujian nasional tersebut bukan saja mengakibatkan gangguan kesehatan mental yang luar biasa bagi para siswa, melainkan semua orang yang bersinggungan dengan siswa tersebut. Dapatkah ini dikatakan stress nasional?
Jikalau jumlah pelajar di Indonesia mencapai sekitar 58 juta pelajar yang terdiri dari 8 juta pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 50 juta siswa sekolah dasar (SD) serta Sekolah Menengah Pertama (SMP), maka jumlah orang tua yang ikut stress kurang lebih sebesar angka itu. Jumlah ini bisa bertambah jika ada orang tua yang memiliki dua anak atau lebih yang bersekolah di tempat berbeda serta kedua anak itu sama-sama menghadapi ujian.
Dengan simulasi sederhana ini, apabila jumlah penduduk total Indonesia sebanyak 250 juta jiwa berarti hampir separuh penduduk Indonesia mengalami kecemasan dikarenakan ujian nasional. Perhitungan ini belum termasuk guru yang berjumlah sekitar 2,7 juta orang, pejabat pendidikan yang entah berapa jumlahnya, serta pihak-pihak terkait lainnya yang sulit ditengarai.
Jika bencana gunung merapi bisa dikatakan bencana nasional karena dampaknya yang luas, maka ujian nasional ini bisa dikatakan sebagai stress nasional karena dampaknya juga sangat luas hingga ke pelosok negeri.
Namun demikian, nampaknya pihak pemegang kebijakan tidak begitu memperhatikan hal hal ini. Sudah bertahun-tahun kebijakan ini tetap dipaksakan untuk dilanjutkan. Sejak pertama kebijakan ini diterapkan, berbagai kasus bermunculan mulai dari contek mencontek, guru mengganti jawaban siswa, orang tua rela anaknya ditiduri dukun, bahkan sampai bunuh diri. Namun, apa respon pemerintah untuk ini? Bela sungkawa? Turut prihatin? Atau apa lagi?
Kasus-kasus tersebut seharusnya dijadikan indikasi bahwa kebijakan ini berdampak pada anomali perilaku yang sifatnya melanggar hukum, aturan norma di masyarakat, dan kesehatan mental bagi siswa dan orang-orang disekitarnya. Jikalau orientasi kebijakan ujian nasional hanya melulu pada hasil lulusan dengan standar nilai tertentu, maka kebijakan ini justru membatasi potensi siswa yang sangat beragam jumlahnya. Akibatnya, sekolah yang semestinya merupakan tempat yang mensejahterakan siswa secara psikologis, tempat yang menyenangkan untuk belajar akan banyak hal, dan wadah dimana siswa dapat terfasilitasi untuk tumbuh dan matang, menjadi tempat yang sarat dengan pengejaran standar kelulusan saja dan mengabaikan pembelajaran lain. Bagaimana tidak? Semua sekolah mencurahkan semua waktunya untuk mencekoki mata palajaran yang di UN kan, semua waktu luang dan jam kosong digunakan untuk mata pelajaran-mata pelajaran UN. Hal ini kemudian menjadikan siswa yang kesulitan memahami Bahasa Inggris, tiba-tiba dipaksa untuk bisa lulus ujian Bahasa Inggris. Siswa yang kesulitan berhitung, tiba-tiba dipaksa untuk lulus ujian matematika. Akhirnya, para siswa tidak bisa mengembangkan potensi sesuai benih-benih yang sudah tertanam dalam dirinya demi untuk memenuhi kebijakan pemerintah. Bagi mereka yang terpaksa tidak siap, potensi untuk mencari jalan pintas akan semakin besar karena berbagai pertimbangan akibat jikalau tidak lulus seperti malu dan semacamnya. Maka dari itu, kecuranganlah yang menjadi ujungnya. Kita semua bisa membayangkan kalau pencapaian kelulusan diperoleh dengan kecurangan maka dalam skenario ini sistem akan diposisikan sebagai musuh yang harus dikalahkan oleh siswa dan sangat mungkin ini menjadi hal yang biasa di masa kehidupannya mendatang sehingga lestarilah yang namanya kong kalikong, korupsi, dan semacamnya kelak.
Merujuk pada sebuah hasil wawancara dengan Teuku Ramli yang dimuat pada nasional.news.viva.co.id 20 April 2013 lalu, bahwa ujian nasional ini dimaksudkan untuk memenuhi keinginan pemerintah supaya peserta didik mampu mencapai kompetensi minimal pada bidang tertentu dengan menyamarakan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam berita itu dimisalkan anak SMP ditetapkan bisa meloncat 75cm, maka semua daerah harus bisa meloncat setinggi itu. Selanjutnya UN juga dimaksudkan untuk mengetahui daerah mana yang memiliki tingkat kualitas pendidikan yang tinggi dan rendah sehingga pemerintah bisa memberikan bantuan yang terbaik untuk daerah tersebut. Dua poin alasan diadakannya UN ini menunjukkan bahwa seolah-olah kemampuan meloncat yang baik hanya kalau mencapai 75cm saja, padahal tidak semua siswa pandai melompat namun pandai melewati halang rintang dengan cara yang lain. Kemudian, untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan di daerah-daerah sebenarnya pemerintah tinggal melihat secara langsung keadaan sekolah, mendata fasilitas, dan sumberdaya yang ada. Saya kira UN tidak bisa dijadikan tolok ukur tingkat kualitas pendidikan pada suatu daerah atau sekolah, cara pengukuran ini bisa dikatakan tidak valid karena berbagai factor yang lain juga perlu diketahui dan kalaupun alasan itu adalah benar kenyatannya masih banyak sekolah dipinggiran atau bahkan di tengah kota yang reot dan tidak terfasilitasi dengan baik.
Bagaimanapun, mengenal Indonesia harus bersamaan dengan mengenal kebijakan pemerintah. Sedahsyat apapun kemampuan guru, sejauh apapun ia belajar, serta dengan fasilitas seperti apapun, jika tidak didukung kebijakan yang baik maka akan menghasilkan kesia-siaan. Maka wacana tetang pendidikan yang membebaskan hanya menjadi retorika yang penuh omong-kosong. Maka dari itu, kebijakan pendidikan mesti dibenahi demi kemajuan sumber daya manusia serta tercapainya tujuan pendidikan di masa depan.
Tak hanya Indonesia, Amerika Serikat pun saat ini sedang membenahi sistem pendidikan dasar hingga menengah. Kebijakan No Child Left Behind dari pemerintah George W Bush dinilai akan sangat sulit dicapai pada tahun 2014 mendatang. Saat ini, Amerika pun belajar dari keberhasilan Finlandia dalam bidang pendidikan.
Tak ada salahnya belajar pada Finlandia, meskipun menerapkan sistem pendidikan yang ada di Finlandia ke Indonesia akan mengabaikan keunikan yang kita miliki. Namun, ada beberapa prinsip dasar yang menjadi alasan bagi berbagai negara maju untuk belajar pada Finlandia. Sistem pendidikan Finlandia dikenal mendorong pemberdayaan siswa, serta menghindari sistem ujian secara nasional. Dengan demikian, sekolah-sekolah serta para siswa akan terhindar dari kompetisi yang berorientasi pada tinggi rendahnya angka pencapaian sebagai tolok ukur standar yang sangat mencemaskan.
Dalam buku Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? Terdapat pernyataan menarik bahwa karakteristik sistem pendidikan di Finlandia mencakup otonomi atau profesionalitas guru, sekolah yang didesain seperti komunitas belajar yang professional, fokus pada kegiatan belajar yang kooperatif dan mendorong kreativitas siswa, pengukuran secara lokal terutama oleh guru, dan sistem sampling agar sekolah-sekolah sejalan dengan arah pembangunan negara. Dari strategi ini, sekolah di Finlandia juga menerapkan kebijakan inklusi, di mana sekolah tidak memilih-milih siswa melainkan menerima semua siswa sesuai dengan kapasistas sekolahnya.
Mungkin, kita bisa belajar dari Finlandia dalam hal evaluasi pembelajaran di masa akhir sekolah. Guru memiliki wewenang untuk melakukan pengukuran berdasarkan pada bidang yang disukai oleh siswa. Sementara siswa diberikan kebebasan untuk menentukan bidang apa yang akan dinilai. Dengan cara ini, guru atau sekolah akan sangat menghargai perbedaan potensi siswa dan tidak latah untuk mengikuti evaluasi yang berorientasi pada besarnya angka seperti negara-negara yang lain.
Saya beranggapan bahwa keunikan Indonesia ini bisa terlihat pada penyelenggaraan pendidikan di negerinya sehingga para siswa bisa mencapai titik aktualisasi yang ditumbuhkan melalui kehidupan sekolah. Masyarakat dan para guru akan difasilitasi oleh kebijakan yang tidak berorientasi pada persaingan demi meraih angka tertinggi jika dibandingkan negara lain, melainkan kebijakan yang mewadahi siswa agar tumbuh dengan keunikannya masing-masing, sebagaimana halnya bunga bakung yang tumbuh sebagai bunga bakung yang berbaris di pagar, atau rumput yang tumbuh menjadi rumput. Kebijakan ini tidak memberi patokan yang sama bagi semua orang yang tumbuh dengan potensi berbeda.(*)
Nanang Erma Gunawan
Clinical Mental Health and Rehabilitation Counseling
Ohio University, USA