Dengan logika yang sederhana sekali, fenomena di atas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan dan mengurusi manusia, dibalik menjadi; manusia mengurusi Tuhan? Jika kita yakin bahwa Tuhan Mahabesar, Mahakuat, Mahamengetahui, Mahamemaksa, Mahakuasa, dan maha-maha yang lain, dengan kesimpulan yang sederhana pula, Tuhan tidak perlu “diurusin”, “diributin”, atau—sabda Gus Dur—Tuhan tidak perlu dibela!
Kita tidak perlu mendifinisikan Tuhan dengan epistemologi yang “njilmet”, sampai kulit dahi berkerut dan berdenyit, atau berdebat, hingga seluruh urat leher menggelembung. Jangan-jangan Dia sekarang terkekeh-kekeh, karena—menurut Malin Kundera—Manusia berpikir Tuhan pun tertawa! Dan jangan-jangan Dia sekarang terkekeh-kekeh ketika ada yang berpendapat, “Tuhan Tidak Beragama”, lantas seseorang berusaha, “Mencari Agama Tuhan” dan yang lain berpendapat cukup menggelikan, “Tuhan telah Mempunyai Agama”. Lantas apa bedanya Tuhan dengan manusia jika masih dilihat memiliki dan tidak memiliki agama? Apakah nanti ada sebutan Tuhan yang atheis (tidak bertuhan), Tuhan theis (bertuhan), Tuhan musyrik (polytheis), Tuhan bertauhid (monotheis) dst? ckckck...