Pagi ini kau tampak gelisah. Jarum jam masih menunjukkan jam lima kurang sepuluh. Di tempat kita tinggal sang fajar memang mengintip lebih awal. Kau sudah terjaga diantara sautan desah nafas dan berdiri disamping jendela kayu. Selalu seperti itu. Aku memang kerap memperhatikanmu, tanpa kau sadari. Aku selalu bertanya-tanya apa yang kau pandangi dari balik jendela kusam itu. Bukan matahari terbit yang kau cari. Bukan. Jendela kamar ini menghadap ke barat. Tidak akan kau temui semburat indah jingga di pandangan mata di jam seperti ini. Jika memang ya, seharusnya kau berdiri di jendela lainnya yang menghadap ke timur, dengan segelas teh hangat atau susu jahe ditanganmu. Aku tau persis bukan itu yang kau cari. Lalu apa?
Suatu malam aku menemukanmu gundah. Memeluk erat tubuhmu dengan kedua lenganmu sendiri. Sesekali menggigit jarimu. Lihatlah, bulan sedang tersenyum. Jejangkrik sedang bercumbu. Sepertiga malam ini kita bercengkrama. Bukankah seharusnya kita gembira menikmatinya? “Karena itulah, aku gelisah. Karena kita terlalu menikmatinya”. Hanya itu jawabmu. Menyisakan kerutan di dahiku. Di akhir malam ini kau tidak melewatinya bersamaku. Kau dan jendela itu. Lalu tersenyum.