Mohon tunggu...
KOMENTAR
Dongeng Pilihan

Laki-laki yang Mencari Keadilan di Tengah Hutan

23 April 2014   03:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19 34 0
Bapak-bapak dan Ibu-ibu,hadirin sekalian! Berbicara tentang keadilan,khususnya yang berlaku di kampung kita ini, sungguh merupakan suatu topik yang berat bagi saya. Saya katakan berat karena saya sudah terlanjur yakin tidak akan ada diantara para hadirin yang akan terpuaskan oleh ceramah saya kali ini. Selain itu saya juga percaya bahwa bapak-bapak dan ibu-ibu bersedia meluangkan waktu datang di sini hanyalah demi mencari pembenaran atas konsep pribadi anda atas apa yang disebut dengan kebenaran! Maafkan saya.

Tetapi walaupun begitu, janganlah terburu-buru marah dan pergi meninggalkan tempat ini. Apalagi sampai melempari saya dengan sepatu!

Dengarkanlah dulu cerita saya ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

Pada suatu hari,seorang profesional muda,seorang suami dari perempuan muda nan cantik,seorang ayah dari gadis centil usia tujuh tahun, tiba-tiba mendapati dirinya sedang berdiri di sebuah hutan belantara. Meskipun baru saja tersadar,namun ia berusaha untuk tidak terkejut. "Aku adalah manusia yang sudah biasa dalam tekanan," katanya kepada dirinya sendiri.

Mulailah ia berjalan menyusuri hutan dengan keyakinan akan menemukan jalan ke luar. Tiba-tiba telinganya menangkap lontaran sebongkah suara.

"Tolong...! Tolong aku...!

Laki-laki itu segera mencari. Naluri manusiawinya bangkit dari tidur. Namun sejauh ini ia belum menemukan si pemilik suara.

"Hai manusia...,aku di sini...!" terdengar lagi suara itu.

Laki-laki itu menoleh ke sebelahkiri. Tiba-tiba ia melompat mundur! Rupanya kali ini ia tidak dapat menolak untuk terkejut.

Melihat seekor harimau meringkuk di dalam seperangkat perangkap buatan manusia bukan hal aneh kelihatannya. Tetapi kalau harimau itu berbicara kepada manusia dengan bahasa manusia, logika laki-laki profesional itu belum terbiasa mencerna.

Bapak-bapak dan ibu-ibu, para hadirin sekalian! Demikianlah ia akhirnya terpatung di tempatnya berdiri. Namun itu tidak berlangsung lama. Ingat, ia adalah profesional yang sudah terbiasa mengelola stress.

Maka ia kembali mendekati si harimau. Si harimau merintih kembali. Dan laki-laki itu bertindak melepaskannya.

"Terimakasih,manusia! Kamu adalah manusia pertama yang lewat di tempat ini setelah seminggu."

"Jadi sudah selama itu engkau tersiksa di dalam perangkap itu?! Teerlaaluu."

"Tepatnya tujuh hari tujuh malam. Karena itu...,saat ini aku sudah sangat lapar!" jawab harimau.

"Ya, ya, aku mengerti! Aku saja yang baru setengah hari terjebak di sini sudah lapar juga."

"Terimakasih,manusia!" balas harimau dan mulai mendekat.

"Sekarang engkau sudah bebas. Pergilah mencari makan," kata laki-laki itu mempersilahkan harimau mengambil jalannya sendiri.

Untuk pertama kali harimau itu memperdengarkan aumnya.

"Hai, manusia! Mengapa kau mengharuskan aku mencari lagi sedang di hadapanku telah tersaji makanan lezat penuh gizi dengan sendirinya?"

Bapak-bapak dan ibu-ibu, sekali lagi laki-laki itu harus terkejut. "Apa??"

Harimau kembali mengaum. Bahkan auman kali ini jauh lebih keras dari yang terdahulu.

"Hai,harimau! Engkau jangan menjadi kurang ajar! Jangan tidak tahu diuntung!" bentak laki-laki itu kesal.

"Untung dan rugi tergantung trend pasar,manusia!"

Keadaan menjadi genting,bapak-ibu!

Untunglah memori laki-laki itu memunculkan sesuatu. Dan bibirnyapun mengulum senyum. Rupanya ia pernah membaca sejudul dongeng tentang seorang laki-laki yang mengalami nasib persis dirinya. Kini ia berniat memberi pelajaran kepada harimau.

"Baiklah harimau. Engkau boleh memangsaku setelah memdapat pertimbangan dari tiga mahluk!"

"Kukira itu hanya membuang-buang waktu kita saja, manusia...." jawab harimau dengan nada mengejek.

"Tetapi setidaknya aku berhak mendapat pembelaan! Di dunia kami manusia,entah dengan kalian para hewan, setiap orang berhak mendapatkan keadilan."

"Baiklah, baiklah...,kau kuberi waktu mencari keadilanmu."

Mulailah laki-laki itu meminta pertimbangan jalan. "Hai,jalan, apakah budi baik pantas dibalas dengan kejahatan?"

"Ah,manusia.Mengapa kau bertanya? Kuberikan tubuhku seutuhnya demi kemakmuran kalian.Tapi apa yang kudapat? Malang benar nasibku dibanding saudara-saudaraku di negara lain...."

Laki-laki itu tidak kecewa sama sekali. Ia sudah memperkirakan jawaban si jalan. Persih seperti di dalam dongeng.

Kini ia memdekati sebatang pohon tua. Ia sengaja memilih yang tua karena jenis ini sudah banyak makan asam-garam. Banyak pengetahuan,banyak pengalaman,banyak pengertian.

"Hai,pohon. Menurutmu, adilkah perbuatan harimau ini?"

"Keadilan katamu? Kami para pohon telah memberi nafas kepada dunia sejak mulanya. Tanpa kami bumi mati! Tetapi apa balasan yang kami terima? Setiap jam puluhan ribu pohon musnah oleh nafsu rakus manusia!"

Kali pun ia tidak terlihat kecewa. Sama seperti jawaban si jalan, jawaban si pohon pun sudah diprediksi oleh laki-laki profesional itu.

Harimau mengaum lagi.

"Tenang harimau, sebentar lagi kau akan kena batunya!" kata laki-laki itu kepada hatinya sendiri.

Maka berangkatlah mereka menuju sarang sang kancil. Kancil yang masih tertidur segera menyadarkan diri.

Mulailah laki-laki itu bercerita.Lengkap,awal sampai akhir.

Lalu kancil mengajak mereka ke titik awal perkara.

"Aku minta engkau masuk ke dalam perangkap seperti awal peristiwa," kata kancil dengan enteng kepada laki-laki profesional itu.

"Apa katamu??? Bukan aku yang harus masuk ke dalam perangkap itu, tetapi harimau itu!" protes keras laki-laki itu.

"Kau ingin perkara ini segera tuntas, apa tidak?" kancil bertanya.

"Tentu! Tetapi...."

"Kalau begitu segera masuk ke dalam perangkap!" kata kancil lagi sambil memberi sebuah isyarat dengan matanya.

Walau masih ragu, laki-laki itu mulai masuk pelan-pelan. "Ini memang lari dari alur dongeng itu, tetapi kancil adalah hewan 1001 akal yang selalu punya kejutan," kata laki-laki itu kepada dirinya.

"Nah, sobatku harimau, aku ucapkan selamat menikmati!" kata kancil sambil berjalan pergi.

"Hah??! Hai,kancil! Kancil! Apa yang kau lakukan ini! Lepaskan! Lepaskan aku...!"

Namun kancil semakin jauh. Jauh, dan akhirnya menghilang di balik pohon-pohon.

Bapak-bapak dan ibu-ibu, hadirin sekalian! Bagaimana nasib laki-laki itu, bapak-bapak dan ibu-ibu tentu sudah bisa menebak.

Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu masih ingin mendengar pendapat saya tentang keadilan, khususnya yang berlaku di kampung kita ini? ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun