Mohon tunggu...
KOMENTAR
Edukasi

When My Baby Cry

3 Desember 2010   08:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:04 74 0
Headline news beberapa stasiun televisi belakangan ini, membuatku sakit kepala. Seorang balita luka bakar parah, gara-gara tercebur panci bakso. Bocah laki-laki berusia 4 tahun, mati lemas dalam mobil APV. Masalahnya sepele. Pulang dari bepergian, sang ortu lupa kalau anaknya masih berada dalam mobil. Mereka baru nyadar, setelah bapak bocah ini ingin mengambil barangnya yang tertinggal. Belum lagi, kabar dari seorang ibu muda yang terpaksa merelakan balitanya cacad seumur hidup. Buah hatinya itu tercebur dalam panci bubur. Rupanya, sang ibu memasak sambil menggendong bocah malang ini. Satu kasus lagi, seorang balita yang baru saja belajar berjalan, tewas terpanggang bersama sampah. Kabarnya, balita ini berjalan ke luar rumah, lantas jatuh di tempat pembakaran sampah. Astaga...

Saya tidak bisa menyalahkan, orangtua mereka. Pasti, mereka tidak pernah membayangkan buah hatinya mengalami penderitaan separah itu. Yakin, mereka ingin menyaksikan anak kebanggaannya dewasa. Ceroboh dan masalah ekonomi, salah satu penyebabnya. Ketika masyarakat metropolis kehidupannya sangat bergantung pada gadjet, sebagian orang tua, khususnya "ibu" yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, termasuk memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri, tidak bisa seratus prosen mengawasi perkembangan anak-anaknya.

Lingkungan yang tidak steril dari bahaya, akrab sekali dengan anak-anak. Mereka bisa saja mengambil atau bermain dengan benda di sekitarnya. Tak jarang, rasa ingin tahu, membuat bocah-bocah ini menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan mereka. Belajar dari apa yang saya lihat di televisi dan media cetak, saya mencoba share ide dengan mereka yang ingin anak-anaknya dalam kondisi aman, atau bahkan...mereka yang punya kekhawatiran berlebihan terhadap buah hatinya.

Pertama, kenali kebiasaan putra dan putri kita sendiri. Perhatikan apa saja yang menarik perhatiannya. Bagaimana dia merespons apa yang dia lihat... Misalkan: Danar, nama bocah ini. Dia suka memegang benda berwarna-warni, lantas dimasukkan ke mulut. Otomatis, hindari meletakkan barang-barang yang bisa memancing dia mengambil dan memakannya. Lihat saja, kasus bocah yang harus dilarikan ke rumah sakit karena menelan penghapus.

Kasus Mika, contohnya. Bocah ini cepat sekali mencontek apa pun yang dia lihat, termasuk adegan perkelahian dari action figure. Ya, jangan memancing bahaya dengan membiarkan diri bermain "silat" dengan teman sebayanya. Dia bisa menggunakan tongkat, penggaris, apa pun yang dia temukan untuk dijadikan "pedang" atau senjata-senjataannya. Kasus pistol mainan yang membuat seorang bocah kehilangan penglihatannya, juga karena "kita" sebagai orangtua kurang peka terhadap bahaya yang mengancam anak kita sendiri.

Kedua, komunikasi. Semakin sering kita mencoba berinteraksi dengan anak kita, anak-anak itu akan tahu, kira-kira apa yang membahayakan dirinya. Mereka akan "belajar" mengenal, apa saja yang tidak boleh dilakukan. Tidak perlu harus membaca buku psikologi, 1001 tips menjaga anak, dll...secara tidak langsung, semuanya bisa lewat proses...lewat bagaimana keseharian kita dengan anak-anak.

Ketiga, fokus...Kehidupan masyarakat perkotaan, tidak bisa dilepaskan dari kesibukan. Wanita pun kini, terbentur dengan berbagai pekerjaan rumah, hingga karier. Seorang ibu yang lengah, hingga anaknya tercebur sumur atau tergelincir dalam bakaran sampah, karena dia tidak fokus memperhatikan anak-anaknya. Bolehlah, kita mengerjakan satu pekerjaan, sementara bocah kita bermain-main di sekitar kita. Namun kita juga musti fokus, tahu betul posisi anak ada di mana, serta apa saja di sekitarnya yang mungkin bisa mengancam keselamatannya.

Maaf, bila tulisan yang sebenarnya mirip curhatan saya ini terkesan sok tahu soal anak-anak. Padahal, saya bukan psikolog, sosiolog, atau guru...Saya hanya seorang penulis yang memiliki keponakan balita. Sungguh sedih hati saya, ketika melihat balita sebaya keponakan saya yang mustinya lagi lucu-lucunya harus mengalami nasib tragis. Saya percaya, semua wanita, khususnya "ibu" sangat concern terhadap anak-anaknya. Karena senyum sang bocah, sungguh sangat mahal nilainya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun