Kamu hanya tersenyum. Berjalan melangkah ke arahku, dan menyandarkan kepalamu ke bahuku.
Kamu tahu? Aku selalu suka momen-momen seperti ini. Kamu bersandar di bahuku. Siapa tahu, kamu bisa mendengar suara di dalam jantungku yang terus menyebut namamu. Ah, aku bercanda. Tapi kamu bisa mendengar degubnya, bukan? Meski bersandarnya tidak tepat di dadaku. Well, sebenarnya, setiap degubnya selalu bersamaan dengan menyebut namamu di hatiku.
Pernah suatu ketika aku mengatakannya kepadamu, tentang bagaimana setiap degub jantungku menyebut namamu. Dan kamu hanya tersenyum malu.
“Dasar tukang rayu,” katamu. Untuk kali ini, kamu salah. Aku tidak sedang merayu. Aku menceritakan yang sebenarnya. Biarlah kamu beranggapan bahwa aku memang tukang rayu. Bagiku, senyummu yang malu-malu itu, lebih berarti dari sebutan apa pun yang ditujukan kepadaku.
“Kamu mau bercerita tentang apa?” katamu setelah menyadarkan kepalamu. Sepertinya kamu memang hapal sekali dengan kebiasaanku. Jika aku memanggilmu kemari, pasti ada yang aku ceritakan.
“Tentang kehilangan,” kataku.
Keningmu berkerut. Nyaris saja kamu berdiri dari sandaranmu. Cepat aku menyambar, “Tidak apa, dengarkan dulu.”
Kamu tersenyum, aku tersenyum.
“Dulu …, dulu sekali. Aku pernah mencintai. Sangat. Sampai ingatanku tentang dia begitu lekat. Aku menulis, selalu tentangnya. Melihat apa pun selalu teringat dia. Dia membuatku nyaman dan tenang. Aku belum pernah merasakan seperti itu sebelumnya.”
Kamu cemberut, “Sepertinya aku tahu siapa dia.”
Aku tersenyum, “Iya, tepat. Dia orangnya. Tidak perlu aku menyebut sebuah nama, bukan? Aku lanjutkan ceritaku dulu, ya?”
Kamu mengangguk. Masih cemberut.
“Iya, benar. Tepat seperti dugaanmu, orangnya adalah dia. Cantik, iya. Putih, iya. Pintar, iya. Singkatnya, dia hampir memenuhi semua kriteria gadis idamanku.”
Kamu terbangun. Menunduk. Masih dengan muka cemberut.
Aku tersenyum.
“Dan aku kehilangannya ketika itu. Sempat jatuh. Dadaku ngilu. Aku dibakar cemburu ketika dia pergi bersama lelaki itu. Entah kenapa, bahkan film paling lucu menurut teman-temanku pun tidak ada yang bisa membuatku tertawa ketika itu. Yang jelas, saat itu aku merasa duniaku benar-benar kelabu.”
Kamu masih cemberut.
“Lalu datang kamu. Masih ingat kata-katamu waktu itu?”
Luka hari ini, bisa jadi senyum esok hari. Tidak ada yang tahu.