Musim hujan datang, semut-semut bersiap mengungsi. Semut-semut itu mengerti, hujan akan menenggelamkan rumah mereka, membawa harta mereka, menenggelamkan semua yang mereka miliki. mereka tahu, karena tahu lalu itu juga yang berlaku. Hari itu, sebelum hujan tiba, semut-semut bergotong-royong mengusi ke tempat yang lebih tinggi. Semua yang telah dikumpulkan selama musim kemarau, dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi, atau di rasa lebih aman. sepotong nasi basi, sekerat tulang ikan, eekor nyamuk nakan, secuil buah nenas yang membusuk, sebiji ngka hitam. Semua diungsikan. Semut itu berjalan beriring berbaris di pinggir dinding. Dari rumahnya di tanah menuju loteng yang tinggi. barisan perjalannya membentuk sebuah garis yang tidak lurus, namun dilalui dengan jalan yang tepat. Setiap keluar dari rumahnya ia membawa sepotong harta. Terkadang sendiri, lebih banyak bersama. Sepotong benda yang lebih besar dari tubuhnya harus dibawa bersama. Setiap bersua mereka bersaman. Mengatakan apa yang masih harus dilakukan, apa yang sudah selesai. Yang lain menjawab oke, lalu segera menuju gudang. Di sana banyak tugas menanti. Segera! Musim hujan akan segera tiba. Setiap semut tahu apa yang harus dilakukannya, dan ia melakukan. Tidak ada komentator, karena komentator juga semut yang perlu makan, ia harus bekerja seperti semut lain. Tidak perlu bantuan orang lain, karena semut punya tenaga yang diberikan Tuhan untuk mempertahankan hidupnya. Semut-semut bekerja keras mengantisipasi banjir tiba. Dan hujan tiba. Air mulai naik. Sedikit-demi sedikit masuk ke kandang semut. Kandang itu sudah kosong. Makanan sudah diselamatkan ke tempat aman. Dari atas loteng semut-semut menontong saja rumahnya dibawa banjir. Ratunya mengatakan, santai saja, setelah hujan berhenti makanan akan datang lebih banyak, kita akan bangun rumah lagi. Semut tahu hujan akan tiba, karena itu ia menyelamatkan diri sebelum banjir datang sebagai petaka.
KEMBALI KE ARTIKEL