Salah satu dampak positif yang sering diharapkan dari perubahan kurikulum adalah adanya penyesuaian materi pembelajaran dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan dunia kerja. Misalnya, kurikulum yang lebih menekankan pada keterampilan abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi, memberikan siswa bekal yang lebih baik untuk menghadapi tantangan di masa depan. Materi pelajaran yang lebih kontekstual juga membuat siswa lebih memahami relevansi dari apa yang mereka pelajari. Sebagai contoh, Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan lebih kepada siswa untuk memilih pelajaran sesuai minat dan bakat mereka, sehingga memungkinkan pembelajaran yang lebih personal dan relevan dengan masa depan mereka (Kemendikbudristek, 2022).
Namun, tidak semua dampak perubahan kurikulum dapat dianggap sebagai hal yang positif. Salah satu kendala utamanya adalah proses penyesuaian. Bagi siswa, perubahan kurikulum sering kali berarti harus menghadapi pendekatan belajar baru, materi yang berbeda, atau sistem evaluasi yang berubah. Kondisi ini dapat semakin rumit jika transisi tidak diiringi dengan pelatihan yang memadai untuk para guru. Sebagai ilustrasi, pergeseran dari pendekatan pembelajaran berbasis materi dalam KTSP ke pendekatan berbasis kompetensi dalam K-13 sempat memunculkan kebingungan di kalangan siswa dan guru (Fathurrohman et al., 2019).
Perubahan ini dapat menjadi tekanan psikologis, khususnya bagi siswa yang telah terbiasa dengan sistem sebelumnya. Jika siswa tidak menerima bimbingan yang cukup untuk memahami dan mengadopsi sistem baru, mereka mungkin merasa stres atau kewalahan. Kondisi ini berpotensi menurunkan semangat belajar mereka, yang pada akhirnya memengaruhi prestasi akademik. Sebagai contoh, penelitian Putri (2021) mengungkapkan bahwa peralihan ke K-13 menimbulkan tekanan tambahan bagi siswa yang mempersiapkan ujian nasional karena mereka harus menyesuaikan diri dengan format pembelajaran yang baru.