Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Menyesal Berebut Tablet, Yah

20 September 2024   19:22 Diperbarui: 20 September 2024   19:26 53 0
Aku menyesal berebut tablet pada hari itu, yah !

Hari itu adalah hari Minggu yang cerah. Seperti biasa  Aku dan adikku, Azra selalu berebut satu hal yang sama---tablet kesayangan kami. Padahal tablet itu adalah milik bersama, tapi rasanya aku yang lebih berhak menggunakannya.

"Kak! Ini giliran aku, kan?" Najwa berteriak dari kamar. Ia tampak kesal karena aku sudah menggunakan tablet sejak pagi.

"Nanti saja. Aku lagi main game ini, tanggung kalau nggak selesai," jawabku tanpa menoleh.

Azra cemberut dan menunggu di sampingku. Aku tahu dia sudah tidak sabar, tapi aku juga belum puas bermain. Seperti biasanya, setiap kali giliran menggunakan tablet tiba, kami tidak pernah bisa berbagi dengan baik.

Saat kami mulai saling menarik tablet itu dari tangan satu sama lain, pertengkaran semakin memanas. Azra berusaha merebut tablet dari tanganku, dan aku mempertahankannya dengan kuat. Suara gaduh dan keributan kami terdengar jelas di seluruh rumah.

Tiba-tiba, Ayah muncul di ambang pintu dengan ekspresi marah yang jarang kulihat. Matanya tajam menatap kami berdua yang sedang sibuk berebut tablet.

"Apa yang kalian lakukan?!" Ayah berseru keras, suaranya memotong keributan kami. Tanpa pikir panjang, Ayah dengan cepat merebut tablet dari tangan kami berdua.

Kami terkejut dan melepaskan tablet itu dengan cepat, takut Ayah semakin marah. "Ini gara-gara kalian berdua tidak bisa mengalah!" katanya dengan suara tegas, penuh amarah.

Ayah menatap tablet di tangannya sejenak, lalu dengan langkah cepat ia pergi menuju kamarnya. Aku dan Azra hanya bisa memandangnya tanpa berani mengatakan apapun.

Di kamar, terdengar suara keras. **BRAKK!** Tablet yang kami perebutkan barusan hancur berkeping-keping.

Aku hanya bisa terpaku, napasku tercekat. Azra mulai menangis keras di sebelahku, wajahnya merah menahan emosi.

"Semua ini gara-gara kamu, Kak!" serunya di antara isak tangisnya. "Kalau kamu kasih giliran ke aku, tablet itu nggak akan hancur!"

Aku tak mampu menjawab. Rasa bersalah menyergapku, tapi aku juga tahu kami sama-sama salah. Tablet itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan yang tersisa hanyalah perasaan bersalah di antara kami.

Tak lama, Ayah keluar dari kamar dengan wajah yang masih tegang. "Kalian dengar baik-baik," katanya pelan namun tajam, "tablet itu sudah hancur. Dan Ayah tidak akan membeli yang baru. Ini pelajaran untuk kalian berdua---barang tidak ada artinya kalau kalian tidak bisa saling menghargai. Kalian lebih memilih bertengkar daripada berbagi. Sekarang, kalian tidak punya tablet lagi. Belajarlah dari sini."

Aku dan Azra tidak berani menjawab. Ayah pergi meninggalkan kami yang masih terpaku di depan pintu. Di dalam hati, aku merasa sangat bersalah. Tablet itu, benda yang kami perebutkan setiap hari, kini sudah tidak ada lagi.

Hari-hari setelah kejadian itu terasa kosong tanpa tablet. Awalnya kami bingung harus mengisi waktu dengan apa. Kami biasa sibuk dengan tablet, tapi kini kami harus menemukan cara lain untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, perlahan-lahan kami mulai terbiasa. Kami bermain di halaman, menonton tv dan bahkan mulai berbicara lebih sering.

Hubungan kami mulai berubah. Tidak ada lagi pertengkaran soal giliran tablet, tidak ada lagi adu mulut tentang siapa yang lebih berhak. Aku dan Azra mulai menghargai waktu yang kami habiskan bersama, tanpa gangguan benda elektronik.

Suatu sore, ketika kami sedang bermain  di halaman, Ayah mendekati kami. Wajahnya lebih lembut sekarang, jauh dari amarah yang kulihat waktu itu.

"Kalian lebih senang sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya, Yah. Kami tidak ingin bertengkar lagi. Tablet tidak sepenting ini," jawabku dengan jujur sambil melirik ke arah Najwa yang juga tersenyum kecil.

Ayah tersenyum tipis, lalu mengingatkan, "Ingatlah ini baik-baik. Barang bisa hancur, tapi hubungan kalian sebagai saudara harus selalu dijaga. Jangan sampai kalian lebih mementingkan benda daripada kebersamaan kalian."

Sejak saat itu, aku dan Azra tak pernah lagi berebut hal-hal kecil. Kami belajar bahwa meskipun kehilangan sesuatu yang berharga, hubungan kami sebagai saudara jauh lebih penting. Kami menjadi lebih dekat dan menikmati kebersamaan tanpa harus bertengkar soal benda yang sebenarnya tidak terlalu penting.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun