Istriku telah melahirkan. Anakku telah lahir...Senang, dan masih belum sepenuhnya percaya. Semuanya terasa begitu cepat. Menikah dengan perempuan yang membuatku ada dan berarti sebagai seorang lelaki, hari-hari dalam bulan-bulan awal pernikahan, kehamilannya dan kini kelahiran putriku...
Ah rasanya memang belum lama. Atau aku yang tak sadar dengan berjalannya waktu, karena aku tak sedang menunggu? Benar memang belum lama. Bukankah baru kemarin aku mengantarnya ke dokter (hanya mengantar..., tidak menemani) karena semalaman perempuanku mengeluh sakit.
Yah, kami sama-sama amatir. Bagi kami berdua : pernikahan, kehamilan dan kelahiran ini yang pertama kali. Meski banyak hal yang membuat kami bisa lebih banyak belajar tentangnya, tetap saja kami tak bisa menentukan waktu yang telah dijadwalkan-Nya. Sehingga hanya kekagetan demi kekagetan yang bisa aku lakukan.
Apa yang harus kulakukan sebagai ayah???
Aku memang tak pernah belajar menjadi ayah. Rasanya memang senang ketika anakku lahir, tapi menjadi ayah??? Dengan perempuan yang kunikahi ini saja aku belum dapat menyesuaikan diri. Aku masih membawa kebiasaan masa bujangku. Aku ingin melakukan sesuatu karena itu yang akan kulakukan. BUkan karena hal lain atau orang lain..Apalagi dengan makhluk tak berdaya itu...
Lupakan keegoisan ini. Karena putriku telah menunggu kami menjadi orangtuanya yang sesungguhnya. Menungguku sebagai ayah tentunya.
Oh, putriku sayang...
Maafkan ayahmu yang kelewat melankolis mengetahui kelahiranmu. Maafkan ayah juga yang tak bisa menungguimu dengan menemani ibu di kala persalinannya. Ayah tetap ayahmu. Ayah yang tak sempurna dan selalu belajar untuk tetap menjadi ayah bagimu, kini dan nanti. Sampai engkau tak membutuhkan ayah lagi...
Ah, tidak...
Tidak mungkin dirimu akan seperti itu. Kamu harus membutuhkan ayah, agar ayah tetap menjadi ayah. Karena ayah tetaplah ayah...