Meskipun merasa sedih tidak lulus, banyak siswa yang dapat menerima ketidak lulusannya, tetapi banyak juga yang tidak bisa menerima kenyataan kalau dirinya tidak lulus UAN. Hingga tak jarang banyak siswa yang histeris dan stress karena tidak lulus. Kadang sampai melakukan jalan pintas bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak lulus. Seharusnya bagi siswa yang lulus juga jangan terlalu berlebihan merayakan kelulusannya, harus bisa jaga perasaan teman-teman lain yang tidak lulus ujian. Dan untuk yang tidak lulus ujian juga jangan langsung putus asa atau sampai bunuh diri, karena masih ada kesempatan untuk dapat lulus ujian yaitu dengan ujian susulan. Tetapi kadang itu semua juga menimbulkan kepuasan tersendiri bisa langsung lulus UAN ketimbang lulus dengan lulus ujian susulan. Jika dipikir lagi memang sungguh sangat tidak adil bagi para siswa. Betapa tidak, mereka menempuh pendidikan selama 6 tahun, atau 3 tahun hanya ditentukan dalam hitungan hari, bahkan dengan hitungan jam. Apakah semua itu sebanding dengan dengan perjuangan mereka selama 6 atau 3 tahun menempuh pendidikan di bangku sekolah? Toh, bagi siswa-siswa yang lulus juga belum tentu semuanya sebagai siswa yang pandai atau mengerjakan sendiri dalam UAN kemarin, dan yang tidak lulus belum tentu juga semuanya siswa yang bodoh atau tidak bisa mengerjakan soal-soal UAN, atau bahkan siswa yang tidak lulus tadi malah lebih pandai daripada siswa yang lulus. Hanya saja keberuntungan belum menaungi siswa yang pandai. Kalau menurut saya, bahwa hasil UAN itu hanya sebatas peruntungan atau hanya sebatas keberuntungan bagi mereka yang ikut UAN. Seperti orang jawa bilang " wong pinter kalah karo wong bejo" . Mungkin itulah yang terjadi bagi siswa yang tidak lulus ujian. Terlebih lagi mereka tidak lulus ujian hanya karena kesalahan system penilaiannya saja yang dengan menggunakan pengecekan jawaban dengan komputer. Meskipun penilaian dengan alat canggih tetapi masih tetap saja ada kelemahan dari alat canggih tersebut. Seharusnya jawaban benar jika diteliti dengan system manual tetapi melalui komputer jawaban itu salah hanya karena siswa kurang tebal menghitamkan lingkaran dalam lembar jawaban ujian sehingga tidak dapat masuk dalam komputer. Justru hal semacam itulah yang dapat merugikan siswa-siswanya. Ada baiknya dalam pengecekan jawaban hasil ujian tidak lagi menggunakan sitem komputer tetapi dengan system pengecekan jawaban dengan manual. Meskipun terkesan lama akan tetapi bisa memberikan keakuratan dalam pengecekan jawaban hasil ujian. Terlebih lagi dalam perihal menentukan lulus atau tidaknya siswa yang mengikuti ujian, menurut saya yang menentukan kelulusan atau tidaknya itu bukan lagi Negara.
Seharusnya yang lebih berhak untuk menentukan lulus tidaknya siswa adalah seorang guru. Mengapa demikian? Karena gurulah yang lebih mengetahui karakter dan kemampuan siswa-siswanya dibandingkan pemerintah atau Negara. Pemerintah atau Negara hanya melihat dari segi kebenaran jawaban hasil komputer yang jelas-jelas belum tentu 100% akurat. Akan tetapi berbeda dengan guru, mereka melihat dari berbagai kriteria siswa dan kemampuan siswanya untuk menentukan apakah siswa ini benar- benar layak untuk lulus. Tetapi yang jelas seorang gurulah yang lebih berhak menentukan kelulusan atau tidaknya pada siswa-siswanya sama ketika mereka memutuskan siswanya apakah siswa ini naik kelas atau tinggal kelas. Jika melihat dari itu semua, tidak hanya siswa yang tidak lulus saja yang menjadi korban dari UAN, tetapi mereka-mereka yang tidak dapat mengikuti UAN. Entah karena orang tua yang tidak sanggup lagi membayar mahalnya biaya sekolah anaknya sehingga tidak bisa ujian, atau karena mereka dikeluarkan dari sekolah, atau bahkan banyak siswi-siswi dari berbagai jenjang pendidikan yang sudah hamil di luar nikah atau sudah menikah sebelum lulus sekolah sehingga mereka tidak boleh mengikuti ujian oleh pihak sekolahnya. Seharusnya pemerintah dalam hal ini adalah Kemendiknas memberikan kejelasan dan ketegasan kepada masyarakat, orang tua, terlebih lagi kepada para siswa yang mengalami masalah yang demikian, apakah masih bisa mengikuti ujian atau tidak sehingga tidak hanya begitu saja pihak sekolah memutuskan bahwa siswa tersebut tidak boleh mengikuti ujian. Sekolah yang seharusnya memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan para siswanya malah justru tidak membolehkan siswanya untuk mengikuti UAN. Mendiknas sendiri harusnya tidak tinggal diam begitu saja. Mendiknas harus bisa memberikan kejelasan dan ketegasan bagi siswa yang bermasalah tersebut. Andaikata Mendiknas juga tidak membolehkan siswa yang bermasalah tersebut untuk mengikuti UAN berarti ini sangat berbanding terbalik dengan tujuan dan kewajiban pemerintah atau Mendiknas yang untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang pada pembukaan UUD 1945 alinea IV. Dan seharusnya pemerintah dan sekolah tidak secara serta merta begitu saja untuk memutuskan tidak membolehkan siswa yang bermasalah tersebut untuk mengikuti UAN, karena bagaimanapun mereka tetap mempunyai hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan pemerintah dan pihak sekolah yang tidak membolehkan mereka untuk mengikuti UAN berarti pemerintah dan pihak sekolah telah merampas dan menghancurkan harapan mereka untuk meraih cita-citanya demi masa depan mereka. Inilah yang menjadi PR bagi pemerintah dalam hal ini Mendiknas untuk segera memberikan kejelasan dan ketegasan apakah siswi-siswi yang hamil di luar nikah dan siswi yang sudah menikah boleh atau tidak untuk mengikuti UAN. Dan yang pasti jangan sampai keputusan tersebut dapat membuat siswa siswa yang seharusnya mengikuti UAN malah menjadi KORBAN DARI UJIAN AKHIR NASIONAL.