Sebagai generasi muda, hal yang paling sering saya takutkan adalah masa depan. Baru di tahun pertama kuliah saja isu yang sedang gencar hampir semuanya membuat pesimis mengenai masa depan. Kenaikan UKT, pengadaan Tapera, isu kenaikan iuran BPJS, RUU Penyiaran, pembabatan hutan habis-habisan di Papua, isu bagi-bagi izin tambang oleh ormas, dan pemerintah yang sibuk menyelesaikan masalah tanpa mencabut akar masalah cukup menjadi alasan mengapa saya tidak bisa memandang masa depan, terutama di Indonesia, tanpa menghela napas suram. Belakangan, sadar atau tidak sadar, harga-harga barang naik dalam jangkauan yang cukup mengganggu. Kue pukis langganan saya, yang semula dijual dengan harga Rp. 2000 kini naik menjadi Rp. 2.500. Terlihat sepele memang, tetapi akan terasa mengganggu bila hal yang sama turut terjadi pada barang-barang lainnya. Kenaikan harga yang terlihat sedikit akan menguras dompet jika semua barang dari semua sektor juga mengalami kenaikan harga. Padahal, seharusnya kenaikan harga barang diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Namun, lagi-lagi yang terjadi tidak seperti itu. Sementara harga barang dan kebutuhan naik, pendapatan masyarakat kita tetap sama, jumlah pengangguran masih terus meningkat, dan jumlah warga yang terjerat pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) masih terus-terusan berada di angka fantastis. Tingkat kriminalitas bertambah seiring dengan banyaknya krisis sosial yang bermunculan tanpa adanya solusi yang konkrit dari pemerintah. Pemerintah misalnya, lebih gemar mengutuk istri yang membunuh suaminya akibat frustrasi dengan keadaan suaminya yang kecanduan judol daripada mencari cara untuk memberantas judol itu sendiri. Komentar-komentar seksis malah dilemparkan oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian tersebut.Â
KEMBALI KE ARTIKEL