Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Fenomena Centang Biru di Media Sosial, Penyebab dan Krisis Pengakuan Sosial di Era Digital

3 Oktober 2024   14:37 Diperbarui: 3 Oktober 2024   15:01 133 18

Di era media sosial yang serba digital, simbol-simbol seperti "centang biru" telah berubah menjadi penanda status yang signifikan. Awalnya, centang biru hanya menjadi verifikasi resmi akun tokoh publik, selebriti, atau merek ternama. Namun, kini, centang biru telah menjadi simbol kekuasaan sosial di dunia maya. Mengapa fenomena ini begitu menguat, dan apakah ini pertanda krisis pengakuan sosial yang lebih dalam?

Fenomena centang biru tidak hanya mencerminkan status online, tetapi juga menyoroti bagaimana media sosial membentuk persepsi kita tentang identitas, pengakuan, dan validasi. Simbol ini tampak sederhana, namun di baliknya tersembunyi berbagai dinamika psikologis dan sosial yang memengaruhi perilaku kita di internet.

Mengapa Centang Biru Begitu Penting?

Fenomena centang biru mulai menarik perhatian karena penggunaannya yang eksklusif. Pada awalnya, platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook memberikannya untuk memverifikasi keaslian akun publik figur atau lembaga penting agar publik tahu bahwa informasi yang dibagikan memang dari sumber resmi. Namun, lambat laun, centang biru mulai diinginkan oleh pengguna lain sebagai bentuk pengakuan atau validasi eksistensi mereka di dunia digital.

Menurut riset yang dilakukan oleh Sprout Social pada 2022, lebih dari 40% pengguna media sosial mengaku bahwa akun yang memiliki centang biru lebih mereka percayai, bahkan jika mereka tidak mengenal pemilik akun secara pribadi.

Angka ini menunjukkan bahwa pengguna media sosial mengaitkan simbol ini dengan otoritas dan kepercayaan, meski verifikasi akun tidak selalu berhubungan dengan kualitas atau kejujuran konten yang dibagikan.

Lebih menarik lagi, survei dari Hootsuite menemukan bahwa lebih dari 30% pengguna di bawah usia 30 tahun merasa lebih terpacu untuk memverifikasi akun mereka karena melihatnya sebagai simbol status sosial.

Fenomena ini artinya menunjukkan adanya tekanan sosial di dunia maya yang mendorong seseorang untuk mendapatkan pengakuan.

Centang Biru dan Krisis Pengakuan Sosial

Centang biru dapat dianggap sebagai respons terhadap kebutuhan manusia akan pengakuan. Dalam psikologi sosial, kita belajar bahwa manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk diakui dan dihargai oleh orang lain.

Sebelumnya, pengakuan ini diberikan di dunia nyata melalui interaksi tatap muka, pencapaian, atau status sosial. Namun, di era media sosial, pengakuan ini semakin bergeser ke platform online, di mana validasi seringkali diukur dari "like", "followers", dan tentunya, "centang biru".

Menurut teori Self-Determination dari Deci dan Ryan (2000), individu mencari pengakuan dari lingkungan sosial untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya akan kompetensi, keterhubungan, dan otonomi.

Centang biru menjadi representasi nyata dari pengakuan ini. Sayangnya, jika terlalu berfokus pada pengakuan online, individu bisa kehilangan keseimbangan antara validasi yang datang dari interaksi nyata dengan yang mereka cari secara digital.

Fenomena ini memperlihatkan adanya krisis pengakuan sosial di era digital. Banyak orang merasa bahwa tanpa verifikasi simbolis seperti centang biru, mereka kurang berarti atau tidak cukup valid di mata publik dunia maya.

Pada akhirnya, hal ini menciptakan semacam kecemasan sosial digital, di mana seseorang merasa perlu diakui di platform online agar dapat diakui secara nyata.

Data dan Fakta: Pengaruh Centang Biru di Media Sosial

Fakta menarik lainnya tentang centang biru di media sosial adalah bagaimana platform tersebut mulai "memonetisasi" verifikasi. Pada awal tahun 2023, platform seperti Twitter memperkenalkan fitur berlangganan untuk mendapatkan centang biru, yang dikenal sebagai Twitter Blue.

Melalui fitur ini, siapa pun yang bersedia membayar dapat memperoleh centang biru, tanpa harus menjadi tokoh publik atau akun penting. Langkah ini memicu kontroversi karena dianggap merusak makna asli dari centang biru sebagai tanda verifikasi dan keaslian.

Menurut data dari Statista (2023), sejak peluncuran Twitter Blue, ada peningkatan pengguna berlangganan sebesar 35% dalam waktu tiga bulan pertama, menunjukkan bahwa banyak pengguna bersedia membayar untuk simbol status ini.

Hal Ini menunjukkan bahwa meskipun centang biru mungkin tidak lagi memiliki makna verifikasi yang eksklusif, penggunanya tetap melihat nilai simbolis dalam memilikinya.

Namun, monetisasi simbol status seperti ini juga memicu diskusi tentang bagaimana media sosial memperkuat ketidaksetaraan sosial. Orang yang mampu membayar memiliki akses lebih besar untuk mendapatkan pengakuan, sedangkan mereka yang tidak mampu, meski mungkin memiliki pengaruh atau keterlibatan sosial yang kuat, tidak mendapat pengakuan serupa.

Hal ini mempertegas peran media sosial dalam menciptakan stratifikasi baru di dunia maya, di mana status dan pengakuan bisa dibeli.

Krisis Identitas di Era Digital

Fenomena centang biru juga mengarahkan kita pada isu yang lebih besar, yaitu krisis identitas di era digital. Banyak pengguna media sosial yang merasa identitas mereka sangat bergantung pada bagaimana mereka diterima dan diakui di platform-platform tersebut.

Ketika simbol-simbol status seperti centang biru menjadi penentu nilai seseorang, banyak individu terjebak dalam kecemasan akan pengakuan yang hanya bersifat digital.

Hal ini bisa menjadi bumerang bagi kesehatan mental pengguna media sosial. Penelitian dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa keterlibatan yang berlebihan di media sosial dan kebutuhan untuk mendapatkan validasi online bisa memicu kecemasan sosial, depresi, dan perasaan tidak berharga.

Solusi untuk Mengatasi Krisis Pengakuan Sosial

Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak:

1. Pendidikan Literasi Digital

Pengguna media sosial perlu diajarkan tentang pentingnya tidak mengukur nilai diri hanya berdasarkan pengakuan digital. Edukasi mengenai literasi media harus diperkuat, terutama di kalangan anak muda yang paling rentan terhadap tekanan sosial online.

2. Membangun Keseimbangan antara Kehidupan Nyata dan Digital

Penting bagi individu untuk mengembangkan keseimbangan antara kehidupan online dan kehidupan nyata. Pengakuan dari interaksi dunia nyata harus diprioritaskan agar tidak sepenuhnya bergantung pada validasi digital.

3. Kebijakan Platform Sosial  

Platform seperti Instagram, Twitter, dan Facebook sebaiknya tidak menjadikan simbol status seperti centang biru sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Mereka harus memastikan bahwa simbol-simbol ini tetap konsisten dengan tujuan awalnya sebagai tanda verifikasi, bukan status sosial.

Mengembalikan Makna Pengakuan di Era Digital

Centang biru hanyalah salah satu contoh dari bagaimana media sosial telah mengubah cara kita memahami pengakuan dan validasi sosial. Namun, jika kita terlalu terjebak dalam simbol-simbol tersebut, kita mungkin kehilangan esensi dari interaksi yang sebenarnya.

Di era digital ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa nilai diri kita lebih dari sekadar simbol di media sosial. Pengakuan sejati datang dari bagaimana kita membentuk hubungan yang otentik, baik online maupun offline. Semoga bermanfaat...


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun