Di tahun 2024, Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi serentak melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Di tengah semangat demokrasi yang kian membara, muncul fenomena yang kerap kali menjadi sorotan: calon tunggal.
Di beberapa daerah, pilkada yang seharusnya menjadi ajang kompetisi gagasan dan visi untuk kemajuan daerah, malah berubah menjadi pertarungan satu arah, di mana hanya ada satu calon yang "bertarung" melawan kotak kosong.
Mengapa ini terjadi? Apa yang salah dalam sistem politik kita?
Fenomena calon tunggal bukanlah hal baru, namun di Pilkada 2024, jumlahnya meningkat secara signifikan. Beberapa daerah yang sebelumnya memiliki banyak kandidat, kini hanya diwarnai satu sosok yang mendominasi. Tentu, ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama tentang kesehatan demokrasi di tingkat lokal.
Politik Dinasti dan Oligarki Lokal
Salah satu penyebab utama meningkatnya calon tunggal adalah maraknya politik dinasti dan oligarki lokal. Di banyak daerah, kekuasaan politik cenderung dikuasai oleh kelompok atau keluarga tertentu yang memiliki pengaruh kuat baik secara ekonomi maupun sosial.
Mereka yang sudah mapan dalam struktur kekuasaan ini sering kali memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya, sehingga lebih mudah untuk mengkonsolidasikan dukungan dari partai politik.
Saat calon yang muncul didukung oleh oligarki lokal yang kuat, lawan politik lainnya cenderung gentar untuk maju. Mereka takut tersingkir sejak awal karena tak memiliki sumber daya yang sama.
Akibatnya, proses seleksi calon dari partai politik pun seolah-olah hanya formalitas belaka, karena hasil akhirnya sudah bisa ditebak.
Partai Politik: Mesin yang Tidak Netral?
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah mekanisme seleksi calon di partai politik. Seharusnya, partai menjadi wadah bagi berbagai calon potensial untuk muncul dan menawarkan solusi bagi masyarakat.
Namun dalam praktiknya, banyak partai cenderung mengutamakan elektabilitas daripada kualitas kandidat. Akibatnya, partai-partai sering kali lebih memilih merapat ke calon yang lebih populer dan memiliki jaringan kuat di daerah, daripada mengusung kandidat baru.
Dukungan besar dari partai-partai besar terhadap satu calon sering kali menutup peluang bagi calon alternatif untuk muncul. Bahkan, calon independen pun sulit bersaing karena terbatasnya sumber daya dan dukungan.
Minimnya Keterlibatan Masyarakat
Selain masalah di ranah partai politik, kurangnya keterlibatan masyarakat juga memainkan peran penting dalam munculnya fenomena calon tunggal. Dalam banyak kasus, masyarakat daerah kurang aktif dalam mendorong perubahan atau mencari pemimpin alternatif.
Mereka mungkin merasa apatis karena sudah lama dihadapkan pada pilihan yang terbatas, atau mungkin merasa bahwa siapapun pemimpinnya, nasib daerah tidak akan banyak berubah.
Apatisme ini menciptakan ruang bagi calon tunggal untuk mendominasi tanpa banyak perlawanan. Dalam demokrasi yang sehat, peran masyarakat sangat vital, tidak hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai penggerak perubahan dan pengawas proses politik.
Apa yang Perlu Dibenahi?
Melihat situasi ini, jelas ada beberapa hal yang harus dibenahi agar demokrasi di tingkat lokal tidak terjebak dalam monopoli politik:
1. Reformasi Internal Partai Politik:
Partai politik harus memperbaiki mekanisme seleksi calon yang lebih transparan dan kompetitif. Jangan lagi ada calon yang diusung hanya karena popularitas atau kekuatan jaringan politik. Partai harus memberikan ruang bagi kader-kader potensial yang mampu membawa perubahan nyata.
2. Penguatan Peran Masyarakat:
Pendidikan politik di masyarakat perlu diperkuat. Masyarakat harus didorong untuk lebih aktif dalam berpartisipasi, baik sebagai pemilih yang kritis maupun sebagai calon pemimpin. Jangan sampai masyarakat terus merasa terjebak dalam pilihan yang terbatas.
3. Pengawasan terhadap Politik Dinasti dan Oligarki:
Harus ada pengawasan ketat terhadap politik dinasti dan dominasi oligarki lokal. KPK, Bawaslu, dan lembaga terkait perlu bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa pilkada tidak digunakan sebagai alat memperkuat kekuasaan segelintir orang.
4. Kemudahan bagi Calon Independen:
Syarat dan mekanisme pencalonan bagi calon independen harus dipermudah. Ini penting agar muncul alternatif pemimpin yang tidak terikat dengan kepentingan partai besar, sehingga pemilih memiliki lebih banyak pilihan.
Arah Demokrasi Lokal: Menyelamatkan Masa Depan Pilkada
Fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2024 harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa demokrasi lokal masih rentan terhadap kontrol oleh elite-elite tertentu. Jika hal ini terus dibiarkan, maka semangat demokrasi yang kita perjuangkan akan semakin tergerus oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Pilkada seharusnya menjadi ruang untuk adu gagasan, tempat rakyat memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan bagi daerah. Namun, ketika hanya ada satu calon, demokrasi berubah menjadi ritual kosong yang hanya sekadar memenuhi syarat formal.
Inilah saatnya kita, sebagai masyarakat, partai politik, dan penyelenggara pemilu, merefleksikan apa yang salah dan segera melakukan perubahan. Jika tidak, demokrasi kita mungkin akan kehilangan makna sejatinya: sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.