Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Jokowi = Indonesian Dream

4 Juli 2014   10:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:32 242 9

THE INDONESIAN DREAM

Ada yang bertanya mengapa saya, psikolog dan dosen, yang sehari-harinya tidak pernah bicara politik, tiba-tiba sangat aktif ikut “berkampanye” menjelang pilpres ini. Awalnya saya tidak menanggapi serius karena saya tidak ingin berkonflik dengan orang lain yang berbeda pilihan dengan saya. Namun karena pertanyaan itu muncul lagi, serta adanya beberapa orang yang saya kenal memutuskan untuk golput, maka saya ingin menceritakan alasan saya aktif –mungkin bagi sebagian teman, saya dikategorikan sangat super aktif- berkampanye.

Bagi saya, politik itu mengerikan. Menakutkan. Dan jahat. Jargon yang saya kenal : Tidak ada teman abadi dalam politik, yang ada kepentingan abadi. Wuihh.. Seram sekali. Saya senang berteman. Bahkan saya pernah tidak menerima suatu pekerjaan (padahal saya butuh) karena pekerjaan itu membuat saya harus mengorbankan pertemanan saya. Nah, dengan image dan jargon politik itu, tentu saja politik menjadi tidak menarik buat saya.

Apalagi dalam sejarah keluarga saya, tidak ada wacana untuk terlibat dalam kegiatan berbau politik. Kami warga negara biasa yang hidup dan bekerja seperti kebanyakan masyarakat lainnya. Taat pada peraturan. Bekerja sesuai tuntutan perusahaan. Berteman dengan orang biasa. Begitulah.

Namun ketertarikan untuk mencari tahu dan berani bersentuhan dengan politik itu muncul ketika saya, mau tidak mau, dihadapkan pada peristiwa Mei 1998. Pernah saya ceritakan di FB saya bagaimana saya melihat tentara “menghancurkan” para mahasiswa, seolah-olah mahasiswa itu musuh dari negara lain yang kudu ditumpas habis. Kebingungan, kecemasan, kekecewaan, dan kemarahan terhadap peristiwa itu saya rasakan tapi tidak bisa saya lampiaskan. Kepada siapa? Lalu siapakah saya?

Kemudian tibalah masa pemilu ini. Kalau dari dulu saya tidak pernah ambil pusing siapakah presiden RI, karena toh pasti menang tanpa adanya suara saya, sekarang saya memutuskan untuk ikut terlibat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan saya. Ada beberapa alasan :

1.Ketika kita mengatakan bahwa kita adalah warga negara Indonesia (sering banget saya menulis hal itu karena hampir di tiap form pendaftaran ditanyakan kewarganegaraan), pertanyaan berikutnya adalah “Apa yang sudah kita lakukan sebagai WN selain taat bayar pajak?”. Saat pemilihan pemimpin inilah saat yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Saya mengaku sebagai orang Indonesia (tapi selalu ditanya ‘keturunan Cina ya?’) dan ingin memberikan secuil kontribusi. Inilah bentuk konkrit dari rasa diri kebangsaan saya (self nationality identity).

2.Kesadaran bahwa saya tidak sekedar menjalankan kewajiban mencoblos wajah seseorang, tapi saya sedang memilih pemimpin di mana padanyalah saya menitipkan masa depan anak-anak saya. Memang ada orang yang mengatakan, “Ngapain pusing mikirin capres, toh kita juga seperti ini, kita juga yang harus cari makan kita sendiri, kita tetap kerja untuk kita sendiri, dsb”. Bagi saya itu agak aneh ya. Kita memang punya tanggungjawab pribadi ke Tuhan tentang kualitas hidup kita, punya tanggungjawab pada keluarga kita sesuai dengan peran kita masing-masing, jadi ya memang harus kita sendiri yang harus bekerja dan “cari makan”. Memangnya Presiden kita yang menyuapi kita? Atau setor uang ke rekening kita tanpa kita harus kerja? Pemilu ini lebih dari pemilihan presiden, tetapi lebih dalam dari itu, kita ingin perubahan terhadap masa depan kita, masa depan anak-anak kita.

3.Keinginan untuk ikut berkampanye dengan santun, elegan dan bermartabat. Munculnya keinginan ini karena saya amati banyak orang yang berkampanye dengan kasar. Makian, umpatan, fitnah bertebaran di mana-mana. Ilustrasi tidak sopan pun bermunculan. Awalnya saya kaget dengan fenomena ini. Kok bisa ya orang-orang ini jadi kasar dan tidak punya etika seperti ini? Saya merasa mendadak banyak orang berubah wujud. Mirip transformers. Aneh sekali cara mengungkapkan “kegembiraan” perayaan demokrasi ini. Arus ini tidak boleh dibiarkan terus menerus ada. Saya yakin masih banyak teman-teman saya yang sepakat dengan saya untuk berkampanye dengan santun, elegan dan bermartabat. Apa wujud konkritnya? Saya berusaha untuk tidak ikut menyebarkan fitnah (semoga saya berhasil sampai sejauh ini), tidak ikut memaki (meskipun jengkel), tidak menanggapi komentar dari pendukung capres lain, dan tetap menyebut para capres dengan “Pak”. Tidak langsung dengan namanya. Paling tidak saya ingin menunjukkan saya respect dengan beliau berdua. Eh berempat dengan para cawapresnya.

4.Terinspirasi kata-kata pak Anies Baswedan yang diambil dari salah satu ucapan tokoh besar Islam : Kezaliman merajalela bukan karena banyaknya orang jahat, tapi diamnya orang baik. Itu bener banget!

5.Sosok capresnya. Nah, ini bagian paling seru karena pada titik inilah orang mulai berseberangan dengan para sahabatnya.

Mengapa Jokowi?

Ada beberapa alasan :

1.Kalau ditanya apakah pak Jokowi merupakan sosok sempurna untuk menjadi Presiden RI? Jawab saya : Tidak! Kalau beliau sempurna, maka tidak perlu ada kabinet yang akan membantunya. Tidak perlu ada wakil. Khan bisa dikerjakan sendiri semuanya. Kita tidak mencari Superman. Pahlawan yang mampu melawan gravitasi bumi sendirian. Atau Batman. Sosok yang mampu mengatasi semua kejahatan di Gotham City sendirian. Absurd. Tetapi saya mencari sosok pemimpin yang mampu bekerjasama dan mampu mengkoordinasi seluruh elemen yang ada untuk mencapai tujuan nasional. Dari pilihan yang ada, saya berpendapat pak Jokowi mampu melakukannya.

2.Apakah pak Jokowi punya wawasan luas untuk menangani Indonesia ini? Menurut saya, saat ini mungkin belum sepenuhnya. Permasalahan kota mungkin saja beliau sudah mumpuni, tapi untuk skala nasional dan internasional, bisa jadi belum maksimal. Karena itu, saya mencermati siapa saja orang yang bergabung dengan beliau. Harapan saya, meskipun belum ada wacana untuk itu, orang-orang yang berada bersama pak Jokowi akan ikut memimpin negara ini. Dan saya percaya mereka. Dengan adanya pak Anies Baswedan, pak Dahlan Iskan, bu Khofifah, pak Yusuf Kalla, dan tim lainnya, saya yakin mereka mampu saling mendukung dan membawa perubahan. Mereka akan mampu “menarik” pak Jokowi ke tingkatan lebih tinggi. Bersama-sama. Sumbangan keahlian dan pengalaman masing-masing akan luar biasa efeknya bila dipadupadankan.

3.Karakteristik pribadi pak Jokowi yang mau belajar, tidak takut tersaingi oleh timnya, dan semangat untuk meraih yang terbaik. Saya melihat pak Jokowi nyaman saja ketika berduet pak Ahok yang lebih “menyolok”. Publik jelas lebih mudah mengarahkan perhatiannya pada sosok pak Ahok yang keras, galak, dan berani gebrak-gebrak meja. Begitu pula ketika mempersiapkan debat pertama, pak Jokowi mau berlatih. Mau mendengarkan masukan orang lain. Mau belajar dan diajar. Dengan karakteristik itu, saya memperkirakan koordinasi dan kerjasama dengan siapapun akan lebih mudah. Pencapaian tujuan bersama akan menjadi fokus utama. Pada gilirannya, rakyat sendiri yang akan menikmati hasilnya.

4.Rekam jejaknya. Sejauh yang saya ikuti, beliau memiliki prestasi selama masa pemerintahannya. Tidak akan saya tuliskan di sini. Semua orang bisa mencari sendiri. Dengan rekam jejak yang pasti itu, saya merasa nyaman dan aman. Selain itu keberhasilannya dalam bidang bisnis. Memang usahanya belum sebesar pada konglomerat lainnya, tapi upayanya membesarkan bisnis itu tidak merugikan negara.

5.Ini yang paling penting. Latar belakang kehidupannya. Ternyata pak Jokowi itu berasal dari keluarga miskin. Hidup di bantaran kali. Digusur berkali-kali. Akrab dengan kesulitan. Namun berhasil membuat lompatan. Berasal dari kelas masyarakat –yang dianggap- paling bawah dan kini bisa merasakan fasilitas mewah. Namun tetap tidak serakah. Motivasinya berasal dari dalam diri (intrinsik) untuk memberikan yang terbaik pada masyarakat melalui jabatan yang diembannya. Itu beliau ucapkan ketika diundang dalam salah satu acara TV. Saya yakin kalau seorang pemimpin digerakkan oleh motivasi internal, maka orientasi kepemimpinannya adalah rakyat, bukan egoisme diri. Rasa “sakit” karena pernah menjadi kaum marginal menjadikannya mampu berempati dengan penderitaan orang lain.

Fenomena Munculnya “The Indonesian Dream”

Ada American Dream. Melalui film-filmnya, Amerika ingin mewujudkan impiannya menjadi negara adikuasa. Mereka menciptakan pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk keselamatan dunia. Tujuannya untuk membangun persepsi “di pundak Amerikalah, dunia bisa bersandar”. Yaa… saya tidak akan membahas apakah impian itu sudah jadi kenyataan apa belum.

Saya melihat sosok kemunculan pak Jokowi ini adalah fenomena Indonesian Dream. Tema-tema sinetron Indonesia sebagian besar adalah orang miskin, rakyat jelata, nggak punya rumah, eh ternyata bisa jadi orang kaya (entah karena menikah dengan orang kaya, dipercaya mengelola perusahaan atau bahkan dengan bantuan kekuatan supranatural). Intinya : orang miskin bisa jadi orang kaya. Tidak ada yang tidak mungkin. Nah, skenario sinetron itu ada contoh nyatanya.

Pak Jokowi itulah.

Bayangkan, anak miskin dari bantaran kali. Apa istilahnya untuk orang yang hidupnya di bantaran kali? Super miskin? Miskin kuardrat? Kaum terbuang? Sebutlah semua istilah. Tapi yang jelas, anak miskin bantaran kali ini mampu menghidupi dirinya dan keluarganya dari bisnis, mampu mengikuti pameran dagang di luar negeri, lalu dipercaya untuk menjadi pejabat publik. Siapa yang menyangka? Dia mampu membuat loncatan kuantum dalam hidupnya.

Kalau sejak kecil sudah akrab dengan lingkungan istana, terbiasa hidup mewah, tidak asing dengan pergaulan internasional, lalu menjadi pemimpin, itu bukan luar biasa. Sudah sewajarnya.

Tapi kemunculan pemimpin yang berasal dari kelas masyarakat kebanyakan, itu fenomena luar biasa!

Lejitan kemunculannya menginspirasi banyak orang. Masyarakat merasa terwakili. Seolah-olah serempak orang berkata : “Itulah kami! Kami titipkan Istana pada salah satu dari kami!”. Tidak heran kalau kemudian banyak kreasi kreatif hadir memenuhi tiap celah ruang publik. Mulai dari slogan, lagu, goresan pena, surat, puisi, kegiatan gratis, hingga ke sumbangan dana. Aliran dukungan masyarakat mengalir deras. Mulai dari tukang becak, petani, nelayan, pegawai kantoran, kaum perempuan, akademisi, hingga ke pengusaha.

Benar-benar “Jokowi adalah Kita”.

Terjadilah perubahan paradigma. Ketika memandang anak kecil miskin, lusuh, dan tidak berwajah rupawan, orang menjadi berpikir berbeda. “Siapa tahu besok anak ini akan jadi Presiden!”.

Para orangtua jadi punya harapan, siapa tahu anaknya bisa jadi “orang penting” kelak di kemudian hari. Menimbulkan harapan akan masa depan lebih baik. Pesan orangtua pada anaknya, “Belajar yang rajin, Nak. Siapa tahu kamu bisa jadi Presiden seperti pak Jokowi”.

Bagaimana kita bisa tidak ikut terlibat dalam kegembiraan semacam itu?

Bagaimana kita bisa tidak ikut mendukung The Indonesian Dream? Inilah sosok impian hampir sebagian besar rakyat Indonesia. Inilah impian anak-anak Indonesia. Mereka bisa menjadi pemimpin tertinggi negeri ini.

“Di pundak pak Jokowi dan timlah, anak-anak Indonesia bisa menyandarkan harapannya”

Karena Jokowi = Indonesian Dream!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun