Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerita Pemilih Pilihan

Pilpres 2019 dalam Teropong Sinematografi

25 April 2019   07:23 Diperbarui: 25 April 2019   07:36 20 0
Berbagai spekulasi berkembang ketika pertama kali layar televisi swasta ditaburi angka-angka hasil perhitungan QC lembaga survei. Publik seperti tengah menonton telenovela kejar tayang, komentar, kritik, protes, makian, terus berkumandang saling bersahutan.

Siapapun master mind, sutradara, penulis script, pengarah gaya dan semua kru di belakang layar yang merancang design rekayasa opini publik pasca Pilpres 2019 jelas jelas sangat ceroboh bahkan terkesan amatiran.

Seperti menonton film action melayu saja, alur cerita bukan saja mudah ditebak, namun adegan demi adegan yang dimainkan oleh masing-masing pemeran sangat monoton.

'Conflict creation' sangat terlihat dibuat sangat kasar dan 'story telling' juga terkesan linier sehingga kecurang-kecurangan yang dilakukan terlihat sangat vulgar dan nyata.

Tak ada seni dan ekspertise skil yang profesional dalam upaya konspirasi merancang sebuah data yang manipulatif dan kecurangan. Bahkan suku pedalaman yang tak pernah nonton sinetron pun rasa-rasanya dengan kasat mata bisa menebak bahwa kecurangan tengah berlangsung.

Dan perasaan itu ternyata terbukti benar, karena suku di pedalaman Puncak Jaya, Papua akhirnya melakukan aksi bakar dokumen dan kotak suara pemilu juga sebagai pelampiasan ekspresi kejengkelan melihat tayangan kecurangan yang vulgar.

Ditengah masyarakat yang terlanjur melek teknologi dan informasi, memahami kecurangan pemilu yang berlangsung 17 april kemarin bagaikan seorang jagoan motor cross disuruh mengendarai sekuter matic. Semua pasti bisa dan mudah melakukannya.

Jika di teropong dalam kacamata sinematografi, Pilpres 2019 itu bagaikan sebuah film kolosal yang seharusnya ber-genre Dokumenter. Namun dalam tayangan tiap-tiap episodenya terjadi pergeseran genre.

Episode babak pertama pasca usainya pencoblosan suara berlangsung diawali dengan adegan saling klaim, saling tuduh dan saling deklarasi. Adegan-adegan yang menggeser genre dokumenter menjadi genre Komedi.

Hanya saja sayangnya menjadi komedi politik paling tak lucu dalam sejarah politik kekuasaan di Indonesia pada episode pertama ini.

Lalu bagaimana babak episode tengah dan babak akhirnya ? Rakyat sebagai publik pemirsa masih setia menunggu tayangan selanjutnya, karena memang sinopsis telenovela Pilpres 2019 tidak pernah dirilis dan tidak pernah ada yang tau.

Nah, karena itulah spekulasi kembali terjadi. Publik pemirsa kembali menerka-nerka dan membuat analisa-analisa tentang bagaimana akhir dari kisah cerita ini.

Para pemilik lembaga survei pun ikut ramai-ramai mengganti kostum dan berperan menjadi pengamat dan konsultan 'sinema politik' dan membagikan penerawangannya tentang akhir cerita. Peran ganda, honorpun ganda -- colek Denny JA dan Yunarto Wijaya.

Hanya saja, dalam episode-episode berikut genrenya hampir dipastikan tak lagi 'comedy', akan tetapi bisa bergeser menjadi genre Adventure, Drama, Drama Misteri, Action, Thriller, Horor atau bahkan War.

Sulit rasanya membayangkan ending storynya akan bergeser pada genre Drama Percintaan, mengingat pelakon antagonisnya banyak yang memiliki karakter jahat sampai mati.

Tapi tak ada cerita yang tak pernah usai. Apapun cerita yang berlangsung dalam Pilpres 2019 ini kelak, publik pemirsa tetap berharap bisa menikmati layaknya sebuah sinetron, telenovela atau film yang menghibur dan menyenangkan.

Ketika cerita berakhir, lampu kembali menyala terang dan orang-orang tetap bisa melangkah keluar ruang dengan riang melaksanakan aktifitas seperti biasa.

Selamat menyaksikan ..!!

.........
Dalam sinematografi selalu ada fiksi, jadi jangan dikomentari ulasan ini seperti diskusi di ILC.

Baca saja sambil ngunyah popcorn ajah, tak perlu serius-serius ..

#salam_sehat

- Nadya Valose -

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun