Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Hotel Niagara Lawang: Budaya dan Seni yang Harus Dilestarikan

22 November 2011   14:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20 1194 2

Saat itu adalah hari kedua saya sekeluarga menginap di rumah bude dan pakde saya di Lawang, Malang. Saya sekeluarga menginap di sana untuk menghadiri acara syukuran menjelang keberangkatan haji pakde saya, sekaligus bantu-bantu. Usai acara, ayah saya mengajak kami sekeluarga menengok Hotel Niagara yang letaknya tidak jauh dari kediaman bude dan pakde saya. Saya ingat, 3 tahun lalu saya dan keluarga pernah menginap di hotel ini.

[caption id="attachment_144045" align="aligncenter" width="392" caption="Foto : Tatyana Almira Roesdiono"][/caption]

Saya memiliki ketertarikan khusus dengan hotel kecil ini. Kenapa? Yah, dilihat sekilas memang biasa, tetapi jika diperhatikan, apalagi diamati bagian dalamnya, Anda akan tahu alasan di balik kekaguman saya.

Hotel Niagara adalah sebuah hotel, mungkin bisa disebut motel karena kecil dan hanya memiliki 15 kamar yang berfungsi. Hotel ini dibangun pada tahun 1890 oleh seorang arsitek berdarah Brasil bernama Mr. Fritz Joseph Pinedo, awalnya untuk villa pribadi Liem Sian Joe dan keluarga. Pada masa penjajahan Belanda, Malang merupakan tempat peristirahatan yang sangat cocok karena udaranya yang sejuk dan suasana hening sehingga tidak heran banyak villa cantik di sana, salah satunya adalah yang sekarang bernama Niagara ini. Villa ini dibangun selama kurang lebih 15 tahun lamanya, dan diselesaikan pada tahun 1918. Villa ini difungsikan sampai pada sekitar tahun 1920, kemudian Liem Sian Joe sekeluarga hijrah ke Belanda.

[caption id="attachment_144046" align="aligncenter" width="512" caption="Pintu-pintu kayu jati, dan lantai teraso bermotif, karya seni yang mengagumkan (foto : Nadia Seassi Roesdiono)"][/caption]

Setelah ditinggal oleh pemiliknya, villa tersebut lambat laun mulai jarang digunakan dan agak ditelantarkan selama bertahun-tahun. Akhirnya pada tahun 1960 salah seorang ahli waris keluarga Liem Sian Joe menjualnya kepada seorang pengusaha yang berasal dari Surabaya bernama Ong Kie Tjai. Setelah dilakukan sejumlah pembenahan mulai tahun 1964 gedung tersebut difungsikan sebagai hotel dan diberi nama Niagara Hotel. Sampai saat ini telah dilakukan sejumlah renovasi pada bangunan hotel kuno tersebut dengan sangat memperhatikan nilai sejarah yang tertinggal pada bangunan tersebut.

[caption id="attachment_144047" align="aligncenter" width="359" caption="Jendela kaca bergrafir nama pemilik (foto : Nadia Seassi Roesdiono)"][/caption]

Nah, yang membuat saya berdecak kagum adalah interior dan eksterior bangunan ini. Mr. Pinedo memadukan arsitektur bergaya Brazil, Belanda, China dan Victoria dengan cermat dan indah. Eksterior atau bangunan luarnya bergaya Victoria. Begitu masuk ke dalam melalui pintu masuk kembar, hamparan lantai marmer bermotif yang diimpor dari Belgia menyambut langkah saya dan keluarga. Di samping kiri dan kanan meja resepsionis, berdiri menjulang pintu menuju ruang makan sederhana.

[caption id="attachment_144049" align="aligncenter" width="378" caption="Kusen kayu yang sudah berumur ratusan tahun dan motif-motif indah di lantai, sungguh menarik (foto : Nana Roesdiono)"][/caption]

Pintu-pintu itu tak berdaun dan masing-masing memiliki hiasan keramik bermotif bunga di atasnya. Kusen pintu terbuat dari kayu Jepara, begitu pula dengan ukiran yang melatari separuh dinding dan area saklar-saklar lampu yang memiliki penutup, yang membuat unsur zaman dahulu semakin kental. Memasuki pintu menawan tersebut, saya melihat motif lain yang tak kalah indah dengan motif yang ada pada lantai marmer di lobi hotel. Semua lantai dan tangga yang ada di Hotel Niagara, kecuali lantai kamar mandi, adalah marmer bermotif indah dan sulit ditandingi oleh gedung mewah sekalipun. Seluruh pintu atau jalan masuknya memiliki hiasan kaca indah bermotif bunga yang sama, yang hanya bisa ditemukan di bangunan-bangunan peninggalan Belanda.

Satu lagi keunikan Hotel Niagara ialah Restoran atau ruang makannya memiliki langit-langit yang menurut saya menakjubkan. Dijelaskan di sebuah artikel koran yang tertempel di papan informasi hotel tersebut, Mr. Pinedo membuat bentuk singa di beberapa tempat teratur di sisi langit-langitnya. Sekali melihat, saya tidak percaya bahwa itu singa, karena ada ukiran mirip sayap di sampingnya. Masa singa punya sayap? Tapi setelah memperhatikan wajahnya lekat-lekat, barulah saya memercayai artikel koran itu. Saat itu pula saya langsung mengagumi karakter arsitektur gaya Brazil yang ditinggalkan Mr. Pinedo untuk hotel ini.

Di sisi lain, Hotel Niagara sering dipandang negatif oleh masyarakat sekitar karena isu gedung berhantu, tempat bunuh diri dan isu berdarah lainnya. “Itu semua hanya isu dan omong kosong," tegas Ongko Budihartanto, pengelola Hotel Niagara yang juga anak dari Ong Kie Tjay. Pernyataan itu dipertegas oleh WS Rendra dan banyak turis yang pernah bermalam di sana yang memberikan komentar sangat positif mengenai Hotel Niagara. Turis asal Belanda mengatakan, “Hotel ini monumen, harus dijaga dengan baik. Perlu renovasi dengan arsitek yang benar-benar ahli.

Hotel ini juga memiliki lift kuno dari lantai satu sampai lantai lima (semacam ruang terbuka di bagian atas). Sayang sekali lift ini sudah lama tidak digunakan.

[caption id="attachment_144051" align="aligncenter" width="411" caption="Bangunan kokoh, menghadap gunung Arjuno (foto : Nadia Seassi Roesdiono)"][/caption]

Kalau itu direnovasi dengana baik, Hotel Niagara jadi bintang hotel butik seperti Hotel Raffles di Singapura” dan saya sangat setuju dengan turis tersebut. Saya rasa, besarnya biaya renovasi tidak akan menjadi masalah besar karena Hotel Niagara memiliki unsur budaya dan seni yang tinggi yang harus dilestarikan, sehingga tidak ada salahnya jika pemerintah mau menyumbang sedikit saja.

Salam Kompasiana. :)

foto-foto lain dan informasi dari: niagaralawang.com Ną∂ı∆ SЯ

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun