Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mengajarkan Korupsi pada Anak Sejak Dini?

28 Juli 2011   22:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:17 489 0
Belum lagi satu masalah tuntas, muncul yang lain. Perang urat syaraf dan urat-urat lain pun tak terelakkan di "tanah tumpah darah" ini. Linglung, Aneh, Lucu, Apatis, Prihatin, Antusias, Naif adalah segelintir kata sifat, yang saya singkat sebagai "LALAPAN", yang secara bervariasi mendera tidak sedikit waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya para penghuni negeri tercinta ini. Letih, Lesu, Loyo, Lemah, Lunglai, yang disingkat 5L oleh salah satu produk multivitamin ini menjadi gambaran dari apa yang saya alami, melihat persoalan di negeri ini terus bergulir. Saya tidak tahu persis apa yang dialami oleh masyarakat Indonesia lainnya. Tiap orang memiliki kisah dan pendapat berbeda. Namun, -suka atau tidak suka- sebagai salah satu warga negara biasa, saya prihatin terhadap peristiwa demi peristiwa yang terjadi, mulai dari tingkat terendah sampai tertinggi di negeri ini. Pun, mulai dari daerah terpelosok sampai ibu kota negara. Menyimak dan mengikuti polemik seputar tulisan berjudul "Sketsa: Behind the Scene Skype Nazaruddin (1)" vs "Iwan Piliang dan Kebohongan Publik" sungguh menarik, sekaligus membingungkan. Saya memang bukan seorang pengamat politik atau pengamat lainnya. Namun, saya tidak "buta", bahwa banyak hal tidak beres di republik ini. Bahkan, anak saya yang masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar kemarin sore bertanya, usai membaca harian Kompas, "Papa..., apa itu korupsi? Terus, ditangkapkah itu, kalau orang korupsi?" Ala kadarnya,"Iya, Nak. Sudahlah, kerjakan saja PR dari sekolah!" jawab saya, meski ia masih membutuhkan jawaban lebih. Saya mau bercerita banyak padanya tentang korupsi di negeri ini. Namun, saya khawatir hal itu akan berakibat buruk padanya. Saya belum mau mengajarkan tentang korupsi, yang bermuatan sejarah, apa, siapa, bagaimana, dan lain-lain, seperti yang ditanyakannya. Saya membiarkannya tertawa lepas saat bertanya tentang korupsi, yang mungkin ia kira sebagai salah satu nama tokoh dalam film kartun. Saya mungkin bukan satu-satunya orang, yang sudah sangat muak mendengar satu kata ini, korupsi. Hal ini diperkuat ketika seorang teman pernah berpendapat di akun saya, "Bila ingin menghilangkan korupsi di negeri ini, itu sama artinya dengan melenyapkan seluruh penduduk di negeri ini..!" Sebegitu parahkah? Saya juga tidak ingin menulis korupsi itu sendiri, apalagi mencetuskan ide brilyan tentang penuntasannya. Jangan minta saya membereskannya, sebab saya bukan orang berkompeten. Saya hanya berpikir soal anak-anak di negeri ini, agar tidak menjadi seperti saya dan sebarisan, yang sudah sangat terbiasa mendengar kata keramat itu. Daeng Samad, 49 tahun, warga yang kesehariannya diisi dengan menggarap lahan majikannya bertutur, bahwa seandainya uang hasil korupsi itu dipakai oleh rakyat, ia tidak sesusah seperti sekarang. Ia, yang harus mati-matian mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah ketiga anaknya, yang entah sampai kapan mampu ia lakoni, hanya bisa berharap, sambil tetap mengayuhkan cangkulnya. Ia hanya sebuah potret dari jutaan sosok rakyat Indonesia, yang berharap agar korupsi bisa lenyap. Kembali ke soal tulisan dari 2 orang kompasianer, yang menimbulkan polemik hebat di atas, saya pun tidak mencoba berpihak kepada salah satu penulisnya. Bahkan, sependapat dengan salah seorang kompasianer lain, saya juga mencoba tidak peduli lagi pada data, fakta, naskah, dan entah apapun istilah lainnya. Saya khawatir, semua anyaman kata itu hanya akan membuat saya sebagai orang tidak peduli, namun peduli. Apa maksudnya? Itulah dilema, yang masih saya hadapi. Kepedulian saya, dan yang sebaris tentunya, agar negeri yang kaya raya ini, hasilnya bisa dinikmati secara bersama, bukan hanya oleh segelintir orang maupun kelompok, yang berada dalam lingkar kekuasaan. Sejalan dengan harapan Dg. Samad, saya juga melihat, bahwa rakyat tidak dikenyangkan oleh keahlian beretorika dan kepiawaian menciptakan jargon, serta kemahiran menganyam kata. Rakyat tidak membayar biaya sekolah anak-anaknya dengan angka-angka statistik negeri ini. Kebanyakan rakyat juga tidak peduli terhadap persoalan benar dan salah di antara para petinggi negeri. Rakyat hanya peduli terhadap sebuah hal sederhana, yakni agar perutnya bersama keluarga bisa terjaga tetap hangat. Makassar, 29 Juli 2011 Subuh yang dingin, 05:30 WITA Arti kata pada gambar: mangula (Toba) = bertani Sumber Gambar: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://tobakartun.files.wordpress.com/2009/01/indro.jpg%3Fw%3D540%26h%3D439&imgrefurl=http://tobakartun.wordpress.com/kisah-insinyur-taronggal/&usg=__5vx9UUf92MAPNm_uC0VH6m53YcQ=&h=439&w=540&sz=48&hl=id&start=63&zoom=1&um=1&itbs=1&tbnid=KxNCHE5BsteUmM:&tbnh=107&tbnw=132&prev=/search%3Fq%3Dpetani%2Bkartun%26start%3D60%26um%3D1%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26sa%3DN%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26biw%3D1024%26bih%3D548%26ndsp%3D20%26tbs%3Disz:m%26tbm%3Disch&ei=rcYxTo-dFILIrQfxzIjZCw

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun